Thirty Two

44.1K 2.8K 237
                                    

Alina lebih memilih duduk di pangkuan Ayahnya daripada duduk sendiri di bangku pesawat kerena baginya inilah tempat ternyaman untuknya. Vino sendiri tak masalah, ia malah memeluk anaknya sayang.

Hari ini ia berangkat ke Singapura dan akan di sana selama lima hari atau mungkin saja akan menetap lama di sana. Jujur saja dirinya masih tak terima Alina diperlakukan seperti itu saat di Indonesia, walau hanya masalah antara anak kecil tapi tetap saja dirinya tak rela.

Sesampainya di Singapura, Vino menggendong Alina yang sudah pulas tertidur turun dari pesawat. Ia memang memilih penerbangan malam karena ingin cepat-cepat sampai ke sini.

Di sini Vino dan keluarganya tinggal di sebuah apartemen mewah. Apartemen yang cukup luas dengan fasilitas yang sangat lengkap.

"Assalamu'alaikum, Ma" salam Vino seraya menyalimi tangan mamanya.

"Wa'alaikumussalam. Dia tidur?" jawabnya seraya bertanya dengan nada pelannya.

Vino mengangguk pelan, "Seperti biasa" jawab Vino seraya terkekeh pelan begitu juga dengan mamanya.

"Yaudah, bawa ke kamar" titah mamanya dan diangguki oleh Vino.

Vino melangkahkan kakinya menuju kamarnya diikuti oleh mamanya di belakangnya. Perlahan Vino merebahkan Alina di kasur king size nya. Vino meringis takut melihat pergerakan Alina tapi Alina kembali tertidur membuatnya bernapas lega.

"Gimana keadaan Vania?" tanya Vino seraya menyelimuti Alina pelan.

"Dia baik-baik saja" jawab Mamanya dan diangguki oleh Vino mengerti.

"Yaudah, kamu mandi sana terus tidur. Mama ngantuk" titah Mamanya membuat Vino memutar matanya jengah.

"Aku udah besar, Ma" protes Vino membuat Mamanya terkekeh pelan.

"Terserah kamu aja" jawab Mamanya lalu melangkahkan kakinya keluar dari kamar Vino.

Di lain tempat, Rio terdiam berpikir tentang kejadian akhir-akhir ini yang terus memenuhi pikirannya. Ia belum dapat informasi sama sekali tentang Vania, seperti disengaja untuk disembunyikan.

Rio membuka laci meja kerjanya mengeluarkan kotak yang diberikan Vania. Ia membukanya dan tatapannya tertuju pada kotak perhiasan. Ia mengeluarkannya dan membuka kotak itu.

Perlahan ia mengambil sebuah kalung yang pertama kali ia berikan pada Vania dengan senang hati tanpa ada paksaan. Kalung dengan liontin yang belakangnya tertera namanya.

"Kamu ada di mana, Van?" gumam Rio pelan seraya mengelus liontin itu.

Ia sungguh tak pernah membenci Vania walau Vania telah mengkhianatinya. Tiga tahun yang lalu ia mengurungkan niat untuk menceraikan Vania. Kala itu, dari persidangan ia berencana ingin menemui Vania tapi orangtua Vania lah yang menghalanginya.

Orang-orang di sekelilingnya tampak seperti pura-pura tak mengenali Vania bahkan selama tiga tahun ini mereka tak pernah menyebut nama itu yang mengakibatkan Arka tak pernah tahu mamanya.

Hatinya hancur mendengar igauan Arka yang terus memanggil namanya saat ia demam saat itu. Anak kecil yang terpisah dari orang yang telah melahirkannya.

Pagi ini Rio memutuskan untuk ke rumah Reynan. Satu orang yang bisa ia andalkan dan tentunya akan memberikan keterangan serta solusi yang membuat semua pertanyaan yang bersarang dalam pikirannya terjawab.

"Ngapain Lo ke sini?" ketus Reynan yang membukakan pintu untuk Rio. Bukannya mempersilahkan malah seperti orang yang tak suka dengan kedatangannya.

Reynan yang melihat tatapan tajam sahabatnya langsung mempersilahkannya masuk daripada ia dipecat dengan tidak terhormat.

"Ada apa?" tanya Reynan to the point.

OUR LOVEWhere stories live. Discover now