Thirty Six

41.6K 2.9K 277
                                    

Vania melihat kalender kecil yang berada di atas nakas dengan tatapan nanar. Ia ingat jika Rio akan berulang tahun lusa nanti.

Mama Vino yang baru saja memasuki kamar Vania terdiam melihat Vania yang begitu fokus melihat kalender itu sampai tak menyadari dirinya masuk. Perlahan ia melangkahkan kakinya mendekati Vania yang duduk di kursi roda.

"Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Mama Vino membuat Vania sedikit tersentak.

Vania tersenyum canggung, "Tidak apa-apa, Ma" elak Vania.

Mama Vino meletakkan nampan berisi sayur sop dan nasi di atas meja lalu duduk di kasur samping Vania, "Katakanlah! Jangan dipendam sendiri"

Vania menundukkan pandangannya terdiam beberapa detik, "Kak Rio akan berulang tahun lusa nanti. Tapi Mama tau kalau aku......." jelas Vania menghentikan ucapannya.

"Apa kamu ingin bertemu dengannya?" potong Mama Vino menatap Vania dengan tatapan hangatnya.

Vania menggeleng pelan, "Tidak, aku tak ingin menemuinya. Hanya saja aku sangat merindukan Arka" elak Vania dengan nada sendunya.

"Kalau gitu besok kita pulang" cetus Mama Vino membuat Vania menegakkan kepalanya dan menatap Mama Vino.

Mama Vino tersenyum kecil, "Tak apa. Nanti Mama akan bicara sama Vino" ucap Mama Vino yang mengerti apa yang tengah dipikirkan Vania.

"Tapi terapinya....."

"Itu mudah, nanti Mama yang bakal urus itu" potong cepat Mama Vino.

"Sekarang sarapan dulu biar besok bisa pulang" pinta Mama Vino seraya menyodorkan piring pada Vania.

Vania tersenyum kecil seraya menerima piring itu, "Terima kasih" ucap Vania tulus dan diangguki oleh Mama Vino.

Vania menyuapkan satu sendok ke dalam mulutnya dengan perasaan bahagia. Ia tak sabar menunggu hari esok. Ia akan bisa melihat putranya langsung tanpa ada halangan.

"Tunggu Mama, Arka" batin Vania.

Vania tersenyum bahagia sesampainya dia di Bandara Halim Perdana Kusuma. Ia sudah lama tak datang ke sini dan ia senang karena dapat kembali.

Mama Vino begitu setia mendorong kursi roda Vania sampai ia melihat Vino dan Alina yang sudah menunggu kedatangan mereka.

Vino tersenyum seraya berjalan mendekat ke arah mereka dengan menggendong Alina. Vino memegang tangan kanan mamanya lalu menciumnya. Mama Vino yang begitu rindu dengan Alina, langsung mencium pipi gembul Alina berkali-kali.

"Selamat datang, Vania" ucap Vino membuat Vania terkekeh pelan.

Vino mengernyitkan dahinya bingung, "Kenapa ketawa?" tanya Vino penasaran.

Vania menghentikan tawanya lalu menatap Vino dengan masih menahan tawanya, "Kakak seperti pemandu wisata" canda Vania membuat Vino tergelak tawa.

"Kalau aku jadi pemandu wisata, Wani piro?" canda balik Vino membuat Vania tertawa. (Wani piro = berani berapa?)

"Satu perak" jawab Vania santai membuat Vino melongo dibuatnya.

"Enak aja, gak ada ya guide tour seganteng ini cuma dihargai satu perak. Uang satu perak aja udah nggak dibuat di sini" kesal Vino dengan nada bercandanya membuat Vania tertawa.

"Udah, ayo" ajak Mama Vino menengahi perdebatan mereka. Vino meletakkan Alina di pangkuan Vania lalu menggantikan mamanya mendorong kursi roda Vania ke arah pintu keluar bandara.

Vania tersenyum melihat kota Jakarta dari balik kaca mobil. Ia merasa sudah sangat lama tak kembali ke sini. Alina sendiri malah sudah tidur cantik di pangkuannya.

Vania mengernyitkan dahinya melihat ke arah rumah berlantai dua yang ada di hadapannya, "Kenapa?" tanya Vino yang mengerti keterbingungan Vania.

"Perasaan ini bukan rumah Kakak" jawab Vania.

Vino terkekeh pelan lalu menatap Vania, "Aku sudah menjualnya karena setiap melihat rumah itu, aku teringat saat aku gagal menjagamu" jelas Vino membuat ekspresi Vania seketika berubah.

"Udah, jangan dipikirkan! Ayo masuk" ajak Vino lalu mendorong kursi roda Vania.

Di lain tempat, Arka menatap kesal pada seseorang yang menjemput dirinya tanpa meminta izin padanya terlebih dahulu. Ia lupa namanya siapa tapi ia begitu tak suka dengan perempuan yang ada di hadapannya sekarang.

"Kemana papa?" tanya Arka dengan nada ketusnya.

"Papa kamu lagi ada tugas sampai malam kalau oma dan opa lagi keluar kota untuk menghadiri undangan" jawabnya santai.

Arka menarik tangannya yang tiba-tiba digenggam oleh perempuan yang akan dijodohkan untuk papanya, "Kenapa mereka tak bilang padaku?" tanya Arka menuntut.

Perempuan itu merendahkan tubuhnya dan menatap Arka serius, "Entah. Tapi sekarang tante adalah calon istri papamu yang berarti aku juga calon mama barumu" jawabnya tegas.

"Aku tak mau memiliki mama sepertimu. Lebih baik Mama Nadia yang menjadi mamaku" jawab Arka tak kalah tegasnya.

Perempuan itu mendengus kesal, "Oke, liat saja yang jadi mamamu nanti siapa. Yang terpenting sekarang pulang" ajaknya seraya menarik tangan Arka dengan paksa.

Sore harinya Arka menghabiskan waktu bersama Dea dengan bermain sepak bola di tengah taman ditemani oleh Nadia yang terus mengawasi mereka.

Bukan hanya Dea yang mengawasi, seorang perempuan berkursi roda dengan memakai masker dan kaca mata bening juga mengawasi mereka dari jarak yang tak terlalu jauh.

Ia memang mencari tahu keberadaan Arka dibantu oleh asisten Vino yang memberitahu jika Arka bermain di taman. Ia mengajak Mama Vino serta Alina kemari.

"Kak Alka kulang kelas tendangannya!" teriak Dea.

Belum sempat Arka menendang, bolanya sudah diambil duluan oleh anak kecil yang sering ditemuinya dengan tangan gesitnya. Vania sendiri yang melihat Alina mengambil bola Arka hanya bisa bingung begitu juga dengan Mama Vino. Mereka tak sadar jika Alina berlari mendekat ke arah kakaknya.

"Hai, adik cantik" sapa Arka dengan mencubit pipi Alina pelan. Alina hanya bisa tersenyum kecil menatap wajah Arka.

Dea yang melihat anak perempuan yang sudah menjambaknya waktu lalu, langsung berjalan cepat mendekat ke arah Alina dengan wajah kesalnya. Dea langsung mengambil dengan cepat bolanya dari tangan Alina membuat Alina menatapnya kesal.

Arka yang melihat Dea dan Alina yang akan bertengkar lagi langsung mengambil bola itu dari Dea, "Nggak usah bertengkar! Kita main sama-sama aja" ucap Arka menengahi.

"Ayolah, Dea. Kan kata Papa kemarin, nggak boleh bertengkar. Kalo bertengkar nggak dapet ice cream" jelas Arka mengingatkan.

Dea menganggukkan kepalanya menyetujui permintaan Arka. Arka tersenyum senang. Arka lalu menggandeng tangan Alina dan meminta Alina menendang dari tempat yang ia tentukan. Jadi, membentuk segitiga.

Vania yang melihat Arka begitu dekat dengan Alina hanya bisa tersenyum haru. Ia tak menyangka kedua anaknya menjadi anak yang sama-sama baik walau dalam pengasuhan orang yang berbeda.

"Adik di sini ya? Nanti kalau bolanya ke sini, ntar adik tendang. Oke?" jelas Arka sebelum ia menempati posisinya.

Arka menendang bolanya ke arah Dea dan diterima oleh Dea. Dea mengarahkan bolanya kembali pada Arka bukan pada Alina, "Dea, arahkan ke adik!" teriak Arka memberitahu Dea.

Arka kembali mengoper bolanya pada Dea dan diterima oleh Dea. Dea menghentikan bola itu dan mengalihkan pandangan ke arah Alina. Dea memundurkan badannya lalu berlari dan menendang bola itu dengan keras sampai melewati Alina.

Dea tersenyum senang saat Alina hanya diam menatap bola itu yang terus menggelinding dan berhenti di depan kursi roda mamanya.

Vania melihat bola yang berhenti mengenai kursi rodanya. Saat ia akan mengambil bola itu, tangan kecil lebih dulu mendahuluinya.

Vania mengangkat kepalanya menatap wajah Arka begitu dekat. Ia hanya bisa membeku sedangkan Arka mencoba memperfokus pandangannya ke arah perempuan yang memakai masker dan kacamata di depannya.

"Mama" gumam Arka seraya tersenyum kecil.

OUR LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang