Forty Six

42.1K 2.5K 142
                                    

Vania memegang kain yang ia isi dengan es batu tanpa peduli ocehan dari dua orang yang duduk di hadapannya. Rio meringis nyeri setiap kali Vania mengompres lukanya.

Pagi hari saat ia masih tertidur pulas di kamar, ia dikejutkan dengan suara ribut di luar kamar. Ia begitu terkejut ketika melihat Rio yang terkapar di lantai dengan luka lebam di wajahnya.

Lalu apa yang ia lihat? Arham dan Vino lah yang melakukan itu semua. Mereka tersenyum melihat Rio yang sudah tak berdaya di bawah mereka.

"Jangan marahlah, Van. Emang ini yang cocok untuk seorang macam dia" celetuk Arham dan tak diindahkan sama sekali oleh Vania.

"Van, ayolah!" pinta Arham kembali membuat Vania menatapnya sengit.

"Kalo dia mati gimana? Tak seharusnya Kakak ngelakuin itu" protes Vania dengan nada tak terima.

"Dan kamu juga, Kak. Seharusnya kamu ngelawan mereka. Jangan kayak patung" ketus Vania mengalihkan pandangannya ke arah Rio yang meringis nyeri karena Vania menekan lukanya cukup kuat.

"Sakit, Van" desis Rio.

"Salah sendiri" kesal Vania menjawab keluhan Rio.

Alina malah santai duduk di antara Vino dan Arham tanpa peduli apa yang sedang dibicarakan. Entah mengapa tadi ia merasa senang melihat lelaki yang dihajar tanpa ampun oleh Ayah dan pamannya, seperti tontonan gratis.

"Lo ngapain deketin Vania lagi? Bukannya lo udah tega ceraiin dia" sindir Vino menatap tajam ke arah Rio.

Rio menghentikan gerakan Vania yang mengompres lukanya lalu menatap Arham dan Vino serius, "Gue nggak ceraiin dia. Jadi, masih sah suami istri" jelas Rio.

Vino berdecak, "Gue udah bilang sama lo. Kalo lo nyakitin Vania, maka gue akan berusaha buat dia jadi milik gue dan menjadi perisai buat dia. Nggak peduli lo suaminya kek, keluarganya, atau lainnya. Gue nggak peduli" jelas Vino.

"Kalo lo deketin Vania lagi, gue nggak akan ngebiarin itu" lanjut Vino.

"Kak, udah. Aku yang ngalamin semua ini bukan kalian. Jadi, aku yang lebih tahu" bela Vania.

"Van" gertak Arham menatap Vania tak percaya.

"Aku yang ngasih dia kesempatan" ucap Vania membuat kedua lelaki yang ada di hadapannya menatapnya tak percaya.

"Van, kamu jangan bodoh yang bisa dilabui sama cowok brengsek kayak dia" protes Arham seraya menunjuk ke arah Rio.

"Ini demi anak-anakku, Kak" jawab Vania lalu beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam kamarnya meninggalkan semua orang yang ada di ruangan ini.

Rio mengalihkan pandangannya ke arah Alina yang melihat ke arahnya. Ia tersenyum kecil tapi Alina memalingkan wajahnya dan mengajak Vino berbicara membuat dirinya tersenyum miris.

Rio memutuskan untuk pulang ke rumah orangtuanya setelah dari apartemen Vania. Ia sendiri masih meringis nyeri setiap kali ia menggerakkan bibirnya.

"Kamu dari mana saja, Yo?" tanya Mamanya membuat langkahnya terhenti.

Mama Rio terkejut melihat wajah anaknya yang babak belur langsung berjalan cepat mendekat ke arah Rio, "Ini wajah kamu kenapa?" tanya Mamanya khawatir seraya menyentuh wajah Rio.

Rio meringis nyeri, "Ma, jangan diteken" keluh Rio membuat Mamanya langsung menjauhkan tangannya.

"Jelasin sama Mama" tuntut Mamanya dan diangguki oleh Rio.

Rio duduk di samping mamanya dan menceritakan segalanya tentang ia dan Vania serta bogem mentah yang ia dapatkan pagi ini. Mama Rio hanya menganggukkan kepalanya mengerti.

OUR LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang