Twenty Six

41K 2.4K 133
                                    

Vania tersenyum sayu melihat seseorang yang ia kenal berjalan ke arah dirinya. Lelaki itu terkejut ketika melihat darah yang menetes dari kaki Vania.

"Kenapa kamu malam-malam sendirian di sini? Dan kaki kamu kenapa? Dan wajah kamu?" tanya lelaki itu khawatir serta penasaran.

Vania meringis kecil, "Tidak apa-apa" jawab Vania singkat seraya sedikit menundukkan kepalanya.

"Tidak apa bagaimana? Sudah, ayo masuk ke mobil. Biar aku antar pulang" ajak lelaki itu dan dijawab gelengan oleh Vania.

"Tidak usah, terima kasih" tolak Vania halus.

"Udah ayo masuk, Vania. Ini hujannya tambah deras" paksa lelaki itu seraya membuka pintu mobilnya lalu membantu Vania berjalan. Vania hanya pasrah dan mengikuti kemauan lelaki itu.

Vania duduk diam di samping lelaki yang sedang fokus mengemudikan mobilnya. Vania memandang ke arah luar kaca mobil melihat pemandangan kota Jakarta yang diguyur hujan cukup deras.

"Kamu darimana?" tanya lelaki itu mengalihkan pandangannya.

Vania membisu mendengar pertanyaan lelaki itu tanpa ingin menjawabnya.

"Tak apa kalau kamu tak ingin menjawabnya" ucap lelaki itu melihat Vania yang tertunduk sedih.

Lelaki itu mengalihkan pandangannya kembali mendengar suara isakan Vania, "Van, kamu kenapa?" tanya lelaki itu khawatir.

"Van" panggil lelaki itu tak kunjung dijawab oleh Vania, lelaki itu akhirnya menepikan mobilnya terlebih dahulu sebelum menenangkan Vania.

"Van, kenapa kamu nangis?" tanya lelaki itu khawatir seraya menepuk bahu Vania untuk menenangkannya. Tak mungkin ia memeluknya karena wanita yang di hadapannya sudah dimiliki oleh orang lain.

"Semua orang sekarang membenciku. Semua orang tak ada yang menginginkanku, Kak Vino" jelas Vania membuat Vino mengernyitkan dahinya bingung.

"Van" panggil Vino meminta Vania menjelaskan lebih rinci.

Vania menutup wajahnya dengan kedua tangannya, "Kak Rio menceraikanku" isak Vania keras. Vino memandang Vania tak percaya, "Bagaimana bisa?" tanya Vino sedikit terkejut.

Ia mengepalkan tangannya kuat menahan amarahnya melihat wanita yang dicintainya menangis pilu tepat di depan matanya.

"Menangislah, Vania. Tak apa" pinta Vino seraya menepuk bahu Vania menenangkan. Walau ia tak tahu awalnya, cukup melihat Vania menangis pilu di depannya membuat dirinya ikut merasakan sakit.

"Aku akan selalu ada untukmu" ucapnya menenangkan.

Vino menghentikan mobilnya tepat di pekarangan rumahnya. Ia melihat Vania yang tertidur di sampingnya, mungkin dia kelelahan karena terus menangis. Ia lebih memilih membawa Vania ke rumahnya daripada ia mengantarkannya ke rumah Rio.

Vino turun dari mobilnya dan berjalan cepat ke arah tempat duduk Vania. Ia membuka pintunya lalu menggendong Vania hati-hati.

Tak peduli nanti Vania sadar saat tengah digendong oleh dirinya. Yang terpenting sekarang mengobati kaki Vania yang terluka.

Vino terkejut mendapati suhu Vania yang terasa panas di lengannya. Ia cepat-cepat menggendong Vania dan berjalan ke arah pintu rumahnya.

Vino mengetuk pintu rumahnya karena ia tak bisa menekan belnya. Seorang perempuan paruh baya membukakan pintu untuknya dengan tatapan khawatir.

"Kamu kenapa jam segini baru pulang. Lalu dia siapa?" tanya perempuan itu dengan nada terkejutnya melihat seorang perempuan tengah digendong oleh anaknya.

OUR LOVEWhere stories live. Discover now