Forty Four

43.9K 2.8K 170
                                    

Vania membersihkan kamarnya setelah Arham pergi ke kantor dan Alina yang pagi ini memilih berkunjung ke rumah ayahnya dengan tangisannya karena ia larang. Ia takut jika Alina terus bergantung pada Vino yang membuat ia akan sulit memisahkan mereka nantinya.

Vino pagi tadi meminta asisten pribadinya sendiri untuk menjemput Alina. Vino memang tak bisa mempercayakan Alina pada orang lain kecuali keluarganya, Vania, Arham, asisten pribadinya, serta pengasuh Alina yang sudah bekerja cukup lama padanya.

Ting Tong......

Vania menghentikan gerakannya menata bantal mendengar bel berbunyi. Ia melihat ke arah jam weker yang masih menunjukkan pukul sembilan pagi.

"Bukannya Alina pulang nanti sore?" gumam Vania mengerutkan dahinya bingung.

"Kalo Kak Arham mah kagak mungkin pulang jam segini, kan baru saja berangkat" lanjutnya.

Daripada memikirkan keterbingungannya, Vania lebih memilih beranjak keluar dari kamar. Ia ingin melihat siapa yang menekan belnya pagi-pagi seperti ini.

Vania memejamkan salah satu matanya mengintip lingkaran kecil di pintu untuk mengetahui siapa orangnya. Tapi, ia tak melihat siapa-siapa.

"Siapa?" gumam Vania berpikir.

Vania membuka pintu apartemen lalu melangkahkan kakinya. Ia menengok ke samping kanannya tapi tak melihat ada seseorang.

"Di sebelah kiri" celetuk seorang lelaki membuat Vania tersentak kaget sampai memegang dadanya.

Ia menoleh ke arah kiri dan melihat orang yang selalu membuatnya kesal berdiri dengan bersandar santai di dinding seraya tersenyum manis. Vania memundurkan langkahnya lalu berusaha menutup pintu apartemennya cepat.

"Awww!" teriak lelaki itu membuat Vania terkejut sampai melepaskan tangannya dari gagang pintu.

Ia membuka pintu sedikit dan melihat jari lelaki itu terjepit karena dirinya, "Sakit tau, Van" keluh lelaki itu seraya meniup jarinya.

Vania memutar matanya jengah, "Salah sendiri" ketus Vania.

"Nggak boleh gitu sama suami. Dosa loh" ingatnya membuat Vania mendengus kesal.

Yah, lelaki itu adalah Rio. Seseorang yang akhir-akhir ini terus membuatnya kesal. Ia sampai berpikir, di mana Rio dulu yang cuek? Ia yakin jika Rio sudah kerasukan makhluk lain yang membuatnya menjadi seperti ini.

"Emang aku pikirin?" ketus Vania dan hanya dibalas gedikan bahu oleh Rio.

Vania memperhatikan Rio dari ujung kaki sampai ujung kepala, "Dari mana Kakak tahu kalau aku tinggal di sini?" tanya Vania dengan bersendekap dada.

"Nggak ada yang tidak mungkin untuk mencari istri yang sudah lama menghilang" sindir Rio santai seraya tersenyum datar.

"Nggak dipersilahkan masuk nih? Aku jauh loh ke sini?" celetuk Rio membuat Vania terpaksa membukakan pintu lebar untuk mempersilahkannya masuk.

Ingat ya! Terpaksa! Ia juga masih punya hati untuk menjamu tamu.

Rio melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen seraya mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Ia berjalan ke arah sofa lalu mendudukkan dirinya.

"Mau minum apa?" tanya Vania dengan nada datarnya.

"Seperti biasa" jawab Rio seraya tersenyum manis.

Vania menganggukkan kepalanya pelan lalu melangkahkan kakinya ke arah dapur untuk membuatkan minuman untuk Rio. Rio mengedarkan pandangannya mencari Alina, tapi ia sama sekali tak mendengar ucapan polos Alina seperti biasa.

OUR LOVEWhere stories live. Discover now