Forty One

47K 3K 222
                                    

Perlahan Vania melangkahkan kakinya ke arah meja makan. Di sana masih belum ada siapa-siapa, hanya Mama Vino dan asisten rumah tangga yang sedang menyajikan. Vino sendiri masih fokus ke tabnya dengan diganggu oleh Alina.

"Duduklah" titah Mama Vino yang melihat Vania hanya berdiri saja.

Vania perlahan duduk di meja makan lalu melihat berbagai macam masakan di atas meja, "Ada acara apa, Ma? Kok banyak banget" tanya Vania penasaran. Tidak biasanya Mama Vino memasak berbagai masakan tanpa alasan.

"Mama hanya ingin saja. Emang salah ya?" tanya Mama Vino seraya duduk di bangku yang berhadapan dengan Vania.

"Oh nggak kok, Ma" jawab Vania seraya menggelengkan kepalanya.

Suasana sarapan begitu ramai seperti biasanya, diisi perdebatan Vino dan Alina. Semua hal selalu mereka perdebatkan, entah hal kecil ataupun hal yang tidak ada manfaatnya. Vania yang mendengarnya hanya terkekeh pelan karena hal itu membuatnya teringat dengan Rio.

"Makanlah yang banyak, Van" ucap Mama Vino seraya meletakkan ayam rica-rica di piring Vania.

"Haduh, Ma gimana aku makannya?" keluh Vania melihat piringnya penuh dengan berbagai masakan sampai ia tak yakin bisa menghabiskannya.

"Udah lah, makan saja. Biar kuat untuk terapi" celetuk Vino dan disetujui oleh mamanya. Vania menganggukkan kepalanya pasrah lalu melahap makanannya.

Siang ini, Vania berencana untuk ke toko buku. Ia ingin membaca agar ada kegiatan tapi di sini kebanyakan ada majalah, koran, buku dongeng milik Alina, dan buku tentang usaha. Jadi, ia ingin membeli buku untuknya sendiri.

Ia menolak permintaan Mama Vino yang menyuruhnya pergi dengan sopir, ia ingin naik taksi saja agar sedikit mandiri. Tak tergantung oleh Vino dan mamanya. Alina sendiri malah sudah ikut ayahnya ke kantor sejak tadi pagi.

Padahal ia sudah melarang karena takut Vino akan terganggu atau Alina kebosanan di sana, tapi ya seperti itu Alina. Keras kepala.

Sesaat ia keluar dari taksi. Vania membalikkan badannya mencari seseorang yang mengikutinya. Ia merasa sejak keluar dari rumah tadi seperti merasakan ada seseorang yang terus mengikutinya tapi di sini tidak ada.

Vania bergidik ngeri lalu mengenyah pikirannya dan melangkahkan kakinya ke arah toko buku langganannya dulu. Vania menelan salivanya memperhatikan tangga yang ada di depannya.

"Gimana naiknya?" gumam Vania bingung.

Vania menghela napas lalu bersiap mengangkat salah satu kruknya berpijak di tangga. Vania tersenyum lega karena tidak ada masalah sampai di tangga ke empat yang membuatnya tak seimbang.

"Duhh.....duh....duh....." bingung Vania mencoba menyeimbangkan tubuhnya.

"Ah!!" teriak Vania tidak terlalu keras saat ia menyadari akan jatuh. Napas Vania tercekat merasakan tangan hangat melingkupi perutnya. Ia hapal dengan bau parfum ini.

"Hati-hati" bisik lelaki itu ditelinganya lalu menegakkan tubuh Vania kembali.

Vania membalikkan badannya dengan wajah datarnya menatap lelaki yang tadi membantunya. Lelaki dengan memakai kemeja warna biru laut dipadu padankan dengan celana kain abu-abu .

"Untuk apa kamu ke sini?" ketus Vania membuat lelaki itu terkekeh pelan.

"Ini tempat umum, Vania. Semua orang bisa ke sini" jawabnya santai membuat Vania memutar matanya jengah.

Vania membalikkan tubuhnya lalu melangkahkan kakinya pelan menaiki tangga. Ia memegang kruknya kuat agar tidak jatuh kembali. Lelaki itu juga mengikuti langkah Vania dengan senyuman manis yang ia tampilkan.

OUR LOVEWhere stories live. Discover now