Forty Two

44K 2.6K 130
                                    

Vania mengerutkan dahinya melihat kotak berwarna merah dengan pita putih yang disondorkan oleh puteri kecilnya. Ia menerima kotak itu lalu membukanya secara perlahan.

Ia terperangah melihat gamis indah berwarna biru laut dengan perpaduan putih yang berada di dalamnya. Tak lupa juga dengan hijab putih.

"Ini dari siapa, Sayang?" tanya Vania pada Alina.

Alina mengerutkan dahinya berpikir seperti mengingat-ingat sesuatu, "Itu dali ayah. Kata ayah, Mama pakai nanti malam jam tujuh" jelas Alina membuat Vania mengernyitkan dahinya bingung.

"Emang ada acara apa?" tanya Vania kembali dan hanya dibalas gelengan oleh Alina. Tanda ia tidak tahu.

Vania kembali menatap gamis itu lalu menutupnya kembali. Ia akan tahu hal itu nanti.

Di lain tempat, Rio menatap potretnya dengan Vania dengan tatapan kosong. Ia sendiri tidak pulang ke rumah orangtuanya dan lebih memilih pulang ke rumahnya dengan Vania dulu.

Ia terus teringat penolakan dari Vania apalagi saat Vania mengatakan jika ia akan bertunangan dengan Vino. Padahal dirinya ingin merayakan pesta kecil dengannya tadi.

"Happy Birthday, Van" gumam Rio pelan seraya mengusap foto Vania.

Hari ini memang Vania sedang berulang tahun yang kedua puluh delapan tahun. Walau telah berpisah cukup lama, Ia takkan mungkin melupakan tanggal lahir wanita yang amat dicintainya.

Rio mengalihkan pandangannya ke arah kotak yang ada di sampingnya. Kotak-kotak yang berisi barang berharga milik Vania. Ia ingin mengembalikannya karena ini sudah menjadi hak milik istrinya.

Bukan hanya itu saja, ia ingin memberikan kejutan untuk Vania dengan kehadiran Arka, tetapi rencana yang telah ia susun berbuah pembatalan karena Vania menolak.

Drtttt.....

Rio mengambil ponselnya yang berdering. Ia mengerutkan dahinya melihat layar ponselnya yang menampilkan nama Nadia, "Ya, halo" ucap Rio mengawali.

"Oke-oke, tunggu gue di situ" titah Rio seraya beranjak dari duduknya.

Rio mengambil jaket, dompet, dan kunci mobil lalu bergegas keluar dari kamar dengan terburu-buru. Ia khawatir dengan keadaan Dea yang katanya dipatuk ular, apalagi di rumah Nadia hanya ada Nadia, tak ada seorangpun yang akan membantu.

Sesampainya di rumah Nadia, Rio langsung memasukinya tanpa mengetuk pintu dahulu. Ia melihat Nadia yang berusaha menenangkan Dea yang menangis keras.

Rio langsung menggendong Dea dan berjalan ke arah mobilnya diikuti oleh Nadia. Nadia duduk di samping Rio dengan memangku Dea.

Rio tak peduli tak mematuhi aturan lalu lintas, ia berusaha mendial nomer Dokter Farid untuk cepat datang ke rumah sakit.

"Tolong, anda ke rumah sakit sekarang" titah Rio dengan nada tegasnya lalu mematikan panggilannya.

Rio mencoba menenangkan Nadia yang menangis terisak menunggu Dea yang masih diobati oleh Dokter Farid. Ia tak tahu kronologinya seperti apa, tapi melihat wajah pucat Dea membuat dirinya juga khawatir.

"Sudah, Dea pasti tidak kenapa-napa" ucap Rio menenangkan seraya memeluk Nadia.

"Kalo dia..." ucap Nadia membuat Rio sedikit merenggangkan pelukannya lalu menatap wajah Nadia yang sembab.

"Percayalah, semua akan baik-baik saja" potong Rio dan diangguki pelan oleh Nadia.

Di lain tempat, Vania terperangah melihat berbagai jenis kudapan lezat di atas meja sebuah restoran yang mungkin telah disewa oleh Vino dan juga Mama Vino dan Alina yang telah duduk di bangku dengan senyum mereka.

OUR LOVEHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin