Sixteen

46.4K 2.5K 12
                                    

Sepulang dari rumah sakit, Rio tak langsung pulang ke rumah. Ia bersama Reynan dan juga Nadia memutuskan untuk makan bersama di salah satu restoran dekat rumah sakit.

Ia tadi sudah mengirim pesan ke Vania kalau dia akan terlambat. Vania sudah tahu tentang rencananya membantu Nadia yang ingin berpisah dengan suami yang telah mencampakkannya.

"Dia tak mau menandatangi surat cerainya" keluh Nadia dengan nada pasrahnya.

"Terus gue harus gimana?" tanya Nadia dengan nada frustasinya.

"Gue dan Rio yang akan ngurus dia. Jadi tenang saja. Ya kan, Yo?" ucap Reynan seraya mengalihkan pandangan ke Rio yang fokus dengan acara menyantap makanannya.

Rio mengendikkan bahunya, "Gue mah terserah aja" jawab Rio santai.

-------

Rio mendengus kesal menatap Reynan yang bertamu di pagi-pagi seperti ini. Ini masih pukul lima pagi dan Reynan sudah ada di depan pintu dengan cengiran tak berdosa.

"Ada apa lo pagi-pagi ke sini? Nggak tau apa gue masih ngantuk" kesal Rio seraya mempersilahkan Reynan masuk.

Reynan hanya membalas dengan cengirannya, "Gue diusir sama bini gue" curhat Reynan membuat Rio mengernyitkan dahinya bingung.

"Lah kenapa?"

Reynan menghela napas dalam, "Dia kagak mau deket gue. Ini bawaan dari bayi. Katanya, gue harus ada di radius satu kilometer dari dia. Gila kan?" kesal Reynan membuat Rio menahan tawanya.

"Jadi gue mutusin ke rumah lo, daripada nanti nggak diturutin gue yang kena amukan bumil" lanjut Reynan.

"Untung bini gue enggak gitu" cetus Rio.

"Seharusnya lo bersyukur udah punya bini apalagi abis ini lo punya anak" nasehat Rio dann diangguki pasrah oleh Reynan.

"Lo pagi-pagi gini ke rumah gue udah mandi apa belum?" tanya Rio dan dibalas cengiran oleh Reynan.

"Mangkanya gue ke sini buat numpang mandi sama minta makan" jawab Reynan dengan senyuman sok manisnya membuat Rio hanya menghela napas dalam. Entah mengapa Tuhan memberikan sahabat seperti ini?

Vania menata hasil masakannya di atas meja makan. Ia tadi sempat terkejut melihat Reynan ada di rumahnya saat baru sampai di rumah setelah jalan-jalan pagi bersama Arka.

Setelah Rio menjelaskan padanya jika Reynan diusir oleh istrinya karena keinginan sang jabang bayi membuat Vania tertawa.

"Makan yang banyak ya, Kak. Butuh tenaga buat hadapin istri" cetus Vania.

"Nggak usah banyak-banyak! Secukupnya aja. Jangan sampai makanan di meja ini habis gara-gara lo makan" peringat Rio membuat Reynan mendengus kesal.

Arka sesekali menatap Reynan. Ia mengernyitkan dahinya tipis memutar ingatannya siapa paman yang duduk di hadapannya sekarang.

"Hai, Arka" sapa Reynan membuat Arka langsung mengarahkan pandangannya ke arah paman yang tak ia kenal.

"Idih, ternyata sama saja sama Bapaknya. Sama-sama tajam" cetus Reynan membuat Rio langsung mengarahkan pandangannya ke arah Reynan.

"Kenalkan, ini paman Reynan. Dia teman papa di rumah sakit" ucap Vania memberikan penjelasan pada Arka.

Arka hanya diam lalu melanjutkan makan buburnya. Vania hanya meringis tak enak pada Reynan, sedangkan Reynan memutar matanya jengah melihat sikap keponakannya. Walau seperti itu ia masih ingin Arka nantinya menjadi menantunya.

------------------

"Kamu nggak ngajar, Van?" tanya Rio yang melihat Vania menyusui Arka di kamar mereka. Biasanya setiap hari rabu, Vania pasti berangkat pagi.

Vania menggeleng pelan, "Aku resign" jawab Vania pelan.

Rio sedikit terkejut mendengar jawaban Vania, "Kamu yakin?" tanya Rio memastikan.

"Sebenarnya aku sudah mengurus surat resign seminggu yang lalu. Ucapan Kakak benar, seharusnya aku harus terus menjaga Arka" ucap Vania.

"Van, tapi kan?"

"Enggak papa, ini sudah kewajibanku sebagai ibu. Walau aku resign, Kakak kan masih sanggup nafkahin aku. Sebulan seratus juta ya" canda Vania membuat Rio menggeleng tak percaya.

"Kakak enggak usah merasa bersalah. Aku enggak papa kok" ucap Vania menenangkan.

Vania mengantarkan suaminya dan Reynan sampai depan pintu. Arka sudah tertidur pulas karena tadi dia bangun sebelum subuh.

"Mobil lo mana?" tanya Rio celingukan mencari keberadan mobil Reynan.

Reynan hanya dapat menampilkan cengiran tak berdosanya, "Gue tadi ke sini naik taksi. Mobil gue lagi disita sama Almira" jawab Reynan.

"Lah ngapain disita?" tanya Rio bingung.

"Gue kemarin baru pulang jam setengah dua belas malam. Biasa nongkrong sama abang gue di rumah Mama terus bini gue ngambek dah" jelas Reynan.

Rio hanya mendengus kesal tak percaya dengan ucapan sahabatnya. Untung waktu Vania hamil tak seperti Almira.

"Lo itu ya, mandi numpang, makan minta, eh berangkat numpang lagi. Awas saja lo pulang minta anterin!" gerutu Rio seraya berjalan ke arah mobil.

"Lo tuh bantu gak ikhlas amat" kesal Reynan.

"Ya terserah gue lah" ketus Rio.

Vania yang mendengar perdebatan kedua orang yang masih bersahabat hanya menggelengkan kepalanya tak percaya.

Sebenarnya ia kasihan dengan Reynan, tapi keberadaan Reynan di rumahnya pagi ini menjadi hiburan tersendiri bagi Vania.

-----------------

Rio menahan tawanya melihat Reynan yang dimarahi habis-habisan oleh Almira. Kedatangan mereka langsung disambut oleh Almira yang lebih dulu sampai rumah sakit.

Ia tak habis pikir, bagaimana bisa Reynan yang sikapnya absurd seperti ini bisa menjadi dokter? Biasanya dokter itu beribawa tapi ini tidak sama sekali.

"Kamu ya, pagi-pagi sudah ninggalin bini!" omel Almira seraya mencubit lengan Reynan.

"Ya Allah, Yang. Sakit tahu" keluh Reynan berusaha melepaskan cubitan istrinya.

Rio memutar matanya jengah. Daripada ia mendengarkan perdebatan yang tak penting, lebih baik dirinya pergi ke ruangan untuk memberikan pengarahan untuk anak bimbingnya.

Rio memasuki ruangannya dan duduk di kursi kebanggaannya. Rio menatap ke seluruh penjuru ruangan yang ternyata masih kosong, tak terlihat satupun anak bimbingnya. Memang ia sengaja berangkat lebih pagi.

Rio tersenyum menatap foto kecil yang menampilkan foto dirinya, Vania, dan juga Arka. Ia ingat foto itu diambil saat Arka masih tujuh bulan. Entah ia yang biasanya tak suka difoto malah mengajak keluarga kecilnya foto bersama di photo box.

Rio mengalihkan pandangannya ketika pintu ruangannya dibuka oleh seseorang, "Pagi, Dok" ucap Gilsha, salah satu anak bimbingnya.

"Pagi juga" jawab Rio singkat.

Rio memperhatikan anak bimbingnya yang berjalan ke arah bangku sampingnya. Wajah pucat anak bimbingnya sedikit membuat ia penasaran.

"Kamu sakit?" tanya Rio.

Gilsha mengalihkan pandangannya ke arah Rio, "Ah tidak kok, Dok" jawab Gilsha.

Gilsha begitu berbeda dengan Citra anak bimbingnya terdahulu. Gilsha begitu sopan dan juga sangat teliti ketika melaksanakan tugas darinya.

"Kalau sakit lebih baik enggak usah datang. Kamu bisa WA saya kalau kamu tidak masuk" ucap Rio.

Gilsha menggeleng cepat, "Ah tidak" ucap Gilsha yang langsung menutupi mulutnya yang sepertinya akan muntah. Gilsha langsung berdiri dan berlari keluar meninggalkan Rio yang masih bertanya-tanya.

"Dia kenapa?" gumam Rio menatap pintu ruangannya.

OUR LOVEWhere stories live. Discover now