Bagian 95

71 7 0
                                    

"Isabel!"

Yon tidak bisa menghitung sudah berapa kali ia berteriak memanggil nama wanita itu, sementara si pemiliki nama sama sekali tidak bereaksi. Isabel masih saja melenggang dengan langkah lebar meninggalkan Yon di belakang. Yon baru berhasil menangkap pergelangan tangan wanita itu ketika jarak mereka dengan kemah tersisa beberapa langkah lagi.

"Sayang, tolong berhenti sebentar." Isabel tidak berbalik untuk menghadap sang Alpha. Menyadari hal itu, mau tidak mau Yon lah yang mengambil inisiatif untuk berdiri di hadapan Isabel, menghalangi langkah wanita itu. "Lihat aku," kata Yon. Dua jarinya meraih dagu Isabel lalu mengarahkannya ke arahnya. "Aku ingin mendengar penjelasanmu mengenai apa yang kamu katakan sebelumnya."

Isabel menunduk. Wajahnya tiba-tiba memerah sementara Yon mengernyit mendapati raut tidak biasa tersebut. Ini jelas bukan kebiasaan Isabel, pikir Yon. Pria itu bahkan berulang kali mengamati wajah Isabel, berniat meyakinkan diri jika wanita yang berdiri di hadapannya adalah Isabel asli.

Isabel masih dalam posisi yang sama ketika ia akhirnya berkata, "Apa yang perlu aku jelaskan, semuanya sudah jelas." Yon mengernyit. Baginya, semua ini sama sekali belum menemui kejelasan dan dirinya merasa kesuliatan menafsirkan maksud wanita itu.

Diusapnya kepala Isabel dengan sayang. Pria itu melakukannya berulang kali secara terus-menerus sedang Isabel masih saja tidak bergeming di tempat. "Aku tidak mengerti. Tolong, jelaskan sekali lagi," Yon mengangkat wajah Isabel. Ia ingin wanita itu menatapnya sementara sang Alpha berharap bisa menyaksikan kedua manik putih Isabel memandanginya dengan sedikit binar. "Aku ingin mendengarnya."

Isabel mendadak menarik napas. Sengaja ia menggeleng ke samping untuk kemudian melepaskan diri dari hadapan Yon. Tetapi, Yon tidak ingin menyerah semudah itu, kembali ia meraih wajah Isabel dan memaksa wanita itu untuk menatapnya. "Isabel!" Kali ini suara sang Alpha naik satu oktaf dan cara itu cukup berhasil mengingat sekarang Isabel akhirnya berniat untuk diam sejenak. Yon menarik napas. Tatapannya berpindah dari wajah Isabel menuju air laut di bawahnya. Pasir menggumpal di beberapa bagian kakinya tetapi Yon tidak mempermasalahkannya. Bukan itu masalahnya sekarang, tetapi Isabel.

"Aku jelas melamarmu beberapa saat lalu." Manik pria itu kembali kepada Isabel dan ditatapnya wanita itu lamat-lamat. Yon amat teguh dengan pendiriannya saat ini. "Namun, kamu mengatakan penerimaan yang terkesan mempermainkanku setelah pergi begitu saja. Apa menurutmu aku tidak memerlukan kejelasan terhadap sikapmu ini?" Yon benar-benar tampak frustasi. Pria itu berakhir mundur dan melepaskan Isabel. "Kalau begitu aku ingin tanya mengapa kamu mengatakan seolah-olah kamu sedang menerima lamaranku?"

Isabel masih bergeming dan karena itu Yon benar-benar dirundung perasaan gusar. Di sisi lain, ia tidak ingin memaksa Isabel terlalu jauh untuk membuka mulut meski ia ingin. Pikirannya melayang, jika ia sampai melakukan pemaksaan di situasi ini, ia jelas tidak ingin berakhir mendapati kekecewaan. Yon sungguh tidak mengharapkan hal itu.

"Yon," sang Alpha mendongak, kedua maniknya menangkap raut wajah Isabel. Ada gambaran kegelisahan di sana, bahkan pula keraguan dan hal itu benar-benar membuat Yon cemas. "Aku minta maaf." Degup jantung sang Alpha berdentum kian keras. Ia pikir, dentumannya bahkan mungkin bisa menggerakkan pasir di bawahnya, dan yang paling buruk adalah Isabel mendengarnya.

"Mengapa kamu meminta maaf?" Yon menelan ludah dengan kasar. Rasa-rasanya, jalur asupan makanan menunju lambungnya seakan mengalami kendala kemacetan. Duri-duri menancap di sana sehingga rasanya perih luar biasa. Semua itu terjadi hanya karena Yon sedang menanti jawaban apa yang akan Isabel berikan atas permohonan maafnya.

Perasaaan kecewa semakin membayanginya, seolah-olah perasaan buruk itu sedang berdiri di hadapannya, dan tinggal menunggu waktu hingga kemudian mereka akan menyatu seutuhnya.

Alpha and a Hermit (Tamat)Where stories live. Discover now