Bagian 22 Desa Angin Hijau

114 11 0
                                    

Perjalanan kembali berlanjut, Isabel dan kedua temannya telah meninggalkan kota Yeerk di celah pegunungan tinggi untuk menuju desa lain. Sebuah desa yang berjarak lima kilometer dari Yeerk. Kabarnya, desa persinggahan berikutnya terkenal akan hamparan padang rumputnya yang luas disertai angin kencang. Kincir besar yang menjulang juga berjejer akan mudah dijumpai sepanjang jalan memasuki desa. Sebut saja, Desa Angin Hijau.

Isabel tersenyum setiap kali menemukan kegembiraan disertai antusiasme tinggi yang dipancarkan Liam ketika melihat kincir yang luar biasa besar dihadapan mereka. Kaki kini menapak di jalan setapak yang kedua sisinya bagai di balut permadani biru memukau. Udara di tempat ini hangat, nyaris menyerupai Serophin.

Meski lelah menempuh perjalanan dari Yeerk ke Desa Angin Hijau, itu telah terbayar dengan hanya melihat lautan rumput segar sementara di tengah-tengahnya berdiri puluhan kincir yang berputar terhempas angin.

Isabel menarik tudung yang menutupi kepalanya. Angin benar-benar kuat, mempermainkan tudungnya hingga menjuntai kebelakang punggung. Sebaliknya, hidungnya yang mungil seolah dimanjakan dengan aroma segar, asri, sebab rerumputan tumbuh dengan subur di wilayah ini.

"Woah! Stick, mungkin akan menyenangkan jika kita menaiki kincir itu." Liam menunjuk kincir sementara binar matanya kian berkilau menjumpai kesenangan baru. Sebaliknya, Stick hanya menggerutu. Baginya, hal-hal yang ingin dilakukan Liam hanya tindakan kekanakan yang diperuntukkan kepada anak kecil, dia jelas bukan bagian dari mereka. Tongkat itu mendengkus lalu berlalu sebab dirinya sudah pasti tidak akan melakukan hal semacam itu.

"Tidak ada waktu untuk bermain-main. Ayo! Gerbang masuk desa sudah terlihat." Stick menyeret Liam yang masih terpaku di tempat.

Setelah mendapatkan izin masuk desa dengan mudah, seperti sebelum-sebelumnya, mereka menyempatkan diri untuk mencari penginapan serta mengisi perut. Di tiap perjalanan yang mereka lakukan, pun di tempat manapun mereka berdiam sejenak, akan banyak hal baru yang tentunya mereka jumpai. Tidak sedikit pelajaran untuk mengajarkan bagaimana mereka dapat mengenal dan menghargai budaya orang-orang.

Penduduk Desa Angin Hijau didominasi dengan warna hijau mereka. Nyaris seluruh bangunan, jalan, bahkan peroperti umum di desa itu berwarna hijau umpama padang rumput di depan sebelum memasuki desa. Dasarnya, warna hijau menebar kesan damai dan tentram, seakan menggambarkan penduduknya yang tenang juga bersahabat.

Penduduk asli mudah dikenali, pakaian khas yang mereka gunakan cukup mencolok namun menarik untuk dilihat. Tentu saja, baju mereka akan mendominasi warna hijau sementara di beberapa bagian diisi dengan warna putih bersih. Para wanita terutama gadis diwajibkan mengenakan tudung kepala dengan pernak pernik lebih banyak.

Bagi mereka yang telah menikah hanya diperbolehkan mengenakan hiasan kecil sementara dua garis putih semacam tanda tersemat di kulit wajah. Sebaliknya, para gadis-gadis muda yang telah memasuki usia menikah ditandai dengan aksesoris yang jauh lebih besar pun beragam. Itu kerap dijumpai di leher dan tangan. Sedang tanda garis di wajah hanya terdiri dari satu, menandakan jika mereka masih seorang diri.

Berbeda dengan kaum hawa di sana, para pria justru terkesan jauh lebih sederhana. Pakaian mereka lebih terlihat simpel dan tentunya tidak se-mencolok pakaian wanita. Hanya saja, mereka mengenakan ikat kepala. Hijau untuk pria bujang, sedang putih untuk pria yang telah berkeluarga.

Desa ini, sungguh menarik.

"Selamat menikmati."

Liam tersenyum sementara maniknya tidak pernah lepas memandangi pelayan yang baru saja meninggalkan meja mereka untuk kemudian melayani pengunjung rumah makan yang lainnya. Dia seorang gadis, dan amat sangat rupawan. "Dia membuatku terpanah."

Alpha and a Hermit (Tamat)Where stories live. Discover now