Bagian 23 Simon

108 9 0
                                    

Butuh waktu berhari-hari bagi Yon dan ketiga rekannya untuk akhirnya tiba di pulau manusia sementara kesan hangat yang ditebarkan oleh suasana di tempat itu sungguh menenangkan. Musim semi seolah menjadi gambaran tepat yang patut disematkan kepada pulau ini. Hamparan bunga mekar dengan beragam warna, semerbak harum mengudara, menghiasai nyaris seluruh pulau di manapun mereka menjejakkan kaki.

Sayangnya, tidak ada waktu untuk bersenang-senang atau melakukan hal sejenisnya mengingat tujuan mereka ke sana tidak untuk berwisata. Ada tugas penting yang tengah dipikul dan menunggu agar segera diselesaikan. Sementara itu, Yon tidak pernah berpikir jika kian dekat ia dengan Isabel, maka debar jantungnya semakin menggila tanpa sebab. Kemungkinan perasaan bersalah yang tidak seharusnya ada dalam dirinya telah mempengaruhinya belakangan.

Apa ia takut menghadapi Isabel? Tidak mungkin.

Yon meringis, menyayangkan betapa wanita itu telah banyak mengikis kepribadian juga kebiasaannya dalam beberapa hal terutama kepada lawan jenis. Anehnya, itu justru hanya berlaku kepada Isabel. Perlukah ia memberi hadiah atas keberhasilan Isabel yang telah menjungkirbalikkan perasaannya? Pemikiran bodoh! pikir Yon, tiba-tiba merasa jengkel berselimut resah.

Di sisi lain, Alpha Daniel menyadari kegelisahan yang Yon tunjukkan akhir-akhir ini, meski tampaknya pria itu mencoba menyembunyikannya. Suara langkah kaki mereka yang telah beralih ke bentuk serigala menghentak tanah sementara laju kian cepat membelah hutan musim semi milik manusia. Kendati demikian, ia memilih bertanya perihal lain, "Alpha Yon, apakah ada kabar terbaru dari bayangan pengintai yang anda utus untuk mengikuti wanita itu? Sekarang, di mana posisi pastinya?"

"Desa Angin Hijau, tetapi sepertinya mereka telah meninggalkan tempat itu sejak kemarin."

Serigala Daniel mengangguk. "Jadi, karena pola jalur mereka hanya mengikuti arus, kemungkinan mereka kini menuju desa terdekat yaitu Desa Batu?"

"Yah."

Yon melirik Daniel di sebelahnya. Laju lari serigala mereka tidak melambat sedikitpun. Bersyukurlah mengingat keadaan jalan serta cuaca yang baik memudahkan mereka untuk maju lebih cepat. Jika seandainya kini mereka memilih melewati jalur bersalju  dibingkai suhu dingin yang ekstrim, Yon tidak perlu menebak mereka akan melangkah selayaknya siput.

Satu hari berlalu begitu singkat sementara Yon dan keempat rekan telah tiba di kota celah pegunungan yang mempesona—Yeerk—tanpa hambatan. Terlalu lama di atas kapal telah banyak mengikis waktu yang justru sangat singkat itu, maka pilihan paling tepat ialah melanjutkan perjalanan meski hanya singgah mengisi perut. Itu sudah lebih baik atau mereka akan kehilangan Isabel lebih jauh.

Tiap detik, menit, bahkan jam, dunia seolah mengalami perpindahan season, tempat, sementara perputaran matahari dan bulan bergulir sangat cepat. Tekad mereka yang kuat untuk tiba lebih awal telah mengantarkannya di Desa Angin Hijau dalam waktu yang benar-benar singkat. Yon bahkan tidak lagi memikirkan Zigot yang nyaris di semua tempat dalam langkah mereka mengeluhkan betapa tubuhnya akan remuk karena pengejaran gila-gilaan ini. Seperti, Yon terlalu tergesa-gesa.

Oh, mengapa ia harus berada dalam situasi yang tidak menguntungkan seperti ini?

"Kita lanjutkan perjalanan," titah Yon. Pria itu jelas mengabaikan Zigot yang masih saja menggerutu sementara kedua lututnya ditekuk hingga berjongkok di depan kedai. Mereka baru saja mengisi perut, tenaga, sekaligus beristirahat dalam waktu yang sama.

Suara kecil dibubuhi ribuan keluhan penuh melankolis, seolah menebar Yon yang kini tidak berniat mengarahkan pandang ke arah Zigot. "Alpha, tidakkah kamu melihat betapa lelahnya aku? Kita sudah berlari selama tiga hari penuh tanpa tidur."

Luce di posisinya mencebik jengkel, lantas berkata, "Kamu tidak berlari, tapi terbang, kami yang berlari."

Zigot mendengkus. "Sama saja!"

Alpha and a Hermit (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang