Pendekar Kidal (Cin Cu Ling)...

נכתב על ידי JadeLiong

279K 6.4K 69

Lenyapnya Tong Thian Jong, tertua keluarga Tong di Sujwan yang terkenal dengan ilmu senjata rahasia dan racun... עוד

Jilid 1
Jilid 2
Jilid 3
Jilid 4
Jilid 5
Jilid 6
Jilid 7
Jilid 8
Jilid 9
Jilid 11
Jilid 12
Jilid 13
Jilid 14
Jilid 15
Jilid 16
Jilid 17
Jilid 18
Jilid 19
Jilid 20
Jilid 21
Jilid 22
Jilid 23
Jilid 24
Jilid 25
Jilid 26
Jilid 27
Jilid 28
Jilid 29
Jilid 30
Jilid 31
Jilid 32
Jilid 33
Jilid 34
Jilid 35
Jilid 36
Jilid 37
Jilid 38
Jilid 39
Jilid 40
Jilid 41
Jilid 42
Jilid 43
Jilid 44
Jilid 45
Jilid 46
Jilid 47
Jilid 48
Jilid 49
Jilid 50
Jilid 51
Jilid 52
Jilid 53
Jilid 54
Jilid 55
Jilid 56
Jilid 57
Jilid 58
Jilid 59
Jilid 60
Jilid 61
Jilid 62
Jilid 63
Jilid 64
Jilid 65
Jilid 66
Jilid 67
Jilid 68
Jilid 69
Jilid 70
Jilid 71
Jilid 72
Jilid 73
Jilid 74
Jilid 75
Jilid 76
Jilid 77
Jilid 78
Jilid 79
Jilid 80
Jilid 81
Jilid 82
Jilid 83
Jilid 84
Jilid 85
Jilid 86
Jilid 87
Jilid 88
Jilid 89
Jilid 90
Jilid 91
Jilid 92
Jilid 93
Jilid 94
Jilid 95
Jilid 96
Jilid 97
Jilid 98
Jilid 99
Jilid 100
Jilid 101
Jilid 102
Jilid 103
Jilid 104
Jilid 105
Jilid 106
Jilid 107
Jilid 108
Jilid 109
Jilid 110 (TAMAT)

Jilid 10

2.9K 61 1
נכתב על ידי JadeLiong

Lalu seorang membuka pintu, langkah ringan itu masuk ke dalam kamar. Terdengar suara serak itu berkata pula: "Mengingat musim panas sudah menjelang, para saudara perkampungan perlu berganti pakaian, maka dalam perjalanan ke kota kali ini hamba sekalian membeli lima blok kain katun."

"Barang2 permintaan Hujin dan Siocia juga sudah kau belikan?" tanya suara lantang tadi.

"Semuanya sudah hamba beli, seluruhnya habis tiga ratus tiga puluh dua tahil perak."

"Barang apa yang mereka minta, kenapa sampai keluar uang begitu banyak?"

Suara serak melapor: "Tujuh blok kain sutera dan empat blok kain satin, harganya cuma 24 tahil, disamping itu Siocia minta dibelikan kembang berlian dan kalung mutiara, harganya sebanyak seratus lima puluh tahil, sebelum pergi Hujin berpesan, kalau beli harus sepasang, kalau Siocoa dibelikan, Piau-siocia juga harus dibelikan pula . . . ."

Mendengar sampai disini, Kun-gi melirik kepada Pui Ji-ping dibelakangnya.

"O," suara lantang itu bertanya: "Kau sudah antar kebelakang? Lalu kabar apa yang kau dengar di kota?

"Hamba memang hendak lapor kepada Ceng-cu," suara serak itu berkata, "dari That-ho dan Ing-ciu diperoleh berita bahwa Lo-sam dan Lo-cit dari keluarga Tong, serta Lo ji dari keluarga Un, demikian pula Kim Ting Kim Kay-thay yang jarang keluar pintu bersama Thong-pi-thian-ong yang berangasan itu sama muncul disekitar sana ...."

"O," suara lantang itu berkata: "Tanpa berjanji mereka sama memasuki daerah ini, sudahkah menyelidiki apa tujuan mereka?"

"Hamba sudah utus beberapa saudara yang cekatan untuk menyelidiki jejak mereka, sekarang memang belum berhasil diketahui maksud mereka, tapi hamba sudah mendapat laporan anak buah yang ditugaskan ke Thung-seng . . . ."

"Berita apa yang kau peroleh?"

"Kabarnya dari Poh-yang, Ing-ciu sampai ke Sek-song, secara beruntun beberapa kelompok orang itu mendadak lenyap tak keruan paran."

Tergerak hati Ling Kun-gi, pikirnya; "Masa orang2 itu lenyap seluruhnya?"

"Apa katamu?" suara lantang itu menegas.

"Mereka hilang semuanya?"

"Ya, kabarnya mereka bergerak secara sendiri2, tapi tujuan satu, tapi disinilah letak anehnya, sebelum sampai di Sok-seng, orang2 itu seperti mendadak ambles ke bumi. Kini hamba sudah utus orang untuk menyelidiki lebih lanjut."

"Bagus, sebelum jelas tujuan orang2 itu, penjagaan kita disini harus diperketat," suara lantang berpesan.

Suara serak mengiakan, lalu bertanya, "Cengcu ada pesan lain?"

"Tiada lagi."

"Hamba mohon diri," kata suara serak terus keluar dari kamar buku.

Suara serak itu sudah tentu adalah laki2 muka kelabu yang membeli kain di toko kain Tek-hong, yaitu Cong-koan Liong-bin son-ceng In Thian-lok adanya.

Setelah dia keluar dari kamar buku, laki2 jubah hijau itupun berbangkit dari kursi malas, sambil menggendong tangan dia berjalan ke jendela, mendongak menghirup hawa segar, katanya menggumam: "Orang sebanyak itu mendadak lenyap, ada kejadian aneh apa yang telah mereka alami?"

Begitu dia dekat jendela, Kun-gi dapat melihat jelas wajahnya, Liong-bin-sun-ceng Cengcu yang kenamaan dikalangan Kang-ouw ini kelihatannya berusia 45-an, wajahnya putih, jenggot hitam menjuntai di dada, tingkah lakunya lemah lembut mirip seorang sekolahan. Cuma kedua alisnya tebal, kedua matanya berkilau bagai bintang, sekilas pandang orang akan tahu bahwa dia seorang ahli Lwekang yang lihay.

Pui Ji-ping yang sembunyi di-semak2 pohon begitu melihat laki2 jubah hijau berdiri di depan jendela, karena hati keder, tanpa terasa dia menarik kencang lengan baju Ling Kun-gi, sedikit gerakan ini menyebabkan daun pohon tersentuh sehingga mengeluarkan suara kresek, walau hanya gerakan lirih sekali, tapi kedua mata laki2 jubah hijau yang mencorong itu sudah memperhatikan ke arah sini, mulutpun membentak kereng. "Siapa ?" walau suaranya tidak keras, tapi sangat berwibawa.

Terpaksa Ji-ping berdiri dan keluar dari semak2, sahutnya pelahan: "Aku paman !" jadi dia adalah keponakan laki2 jubah hijau itu.

Lalu dia membalik tubuh serta berkata: "Ling-toako, lekas ikut aku." dari sebutan Toako mendadak dia ubah menjadi "Ling-toako" dihadapan pamannya sehingga kedengaran lebih wajar.

Setelah Ji-ping keluar, terpaksa Kun-gi ikut keluar, satu persatu mereka melompati jendela masuk ke dalam dan berdiri di hadapan laki2 jubah hijau.

Dengan tajam orang mengawasi mereka, terutama melihat dandanan Pui Ji-ping, seketika dia mengerut alis, katanya: "Kau ini Ji-ping?"

Si nona tertawa, katanya. "Sudan kupanggil paman, kalau bukan Ji-ping, siapa lagi ?" lalu ia berpaling kepada Kun-gi, dan berkata: "Ling--toako, inilah pamanku, Cengcu dari Liong-bin--san-ceng ini."

Lekas Kun-gi memberi hormat, katanya: "Cayhe Ling Kun-gi memberi salam hormat kepada Cu- cengcu !"

"Paman, Ling-toako telah dua kali menolong jiwa keponakanmu, maka sengaja kubawa dia kemari untuk menemui paman," demikian tutur Ji-ping,

Tajam dan lekat pandangan Cu Bun-hoa, sejenak dia awasi Kun-gi, katanya sedikit manggut2: "Silakan duduk saudara Ling, Ji-ping, suruhlah orang menyuguh teh." dalam hati dia membatin, "Budak ini malam2 menemui aku, entah ada urusan apa."

Sambil mengelus jenggot dan tatap Ji-ping, tanyanya. "Kalian ada urusan apa?"

Ji-ping menekan suaranya: "Ada urusan penting yang amat rahasia hendak kami laporkan kepada paman."

Cu Bun-hoa melengak dan bertanya: "Urusan rahasia apa?"

Kata Ji-ping sungguh2: "Paman, urusan ini amat penting dan gawat, sekali2 tidak boleh bocor."

Melihat sikapnya yang prihatin, hati Cu Bun--hoa rada bimbang, katanya: "Ji-ping, siapapun tanpa kupanggil tiada yang berani masuk ke kamar buku paman ini, maka boleh kau terangkan sekarang."

"Aku tahu," sahut Ji-ping, "tapi lebih baik kalau kututup jendela ini."

"Memangnya begitu penting?" tanya Cu Bun-hoa.

"Ya" sahut Ji-ping tertawa, "tadi kami sembunyi diluar jendela, bukankah percakapan paman dengan In-congkoan dapat kami dengar semua?" lalu iapun menutup jendelanya.

Cu Bun-hoa duduk dikursi sebelah atas, tanyanya: "Ji-ping, apakah Toaci (maksudnya ibu Ji-ping) baik2 saja dirumah?"

"Aku belum pulang," sahut Ji-ping menggeleng.

"Lalu kemana saja kau selama ini?"

Merah muka Ji-ping, sekilas dia lirik Kun-gi, katanya: "Di tengah jalan kubertemu dengan Ling-toako, lalu bersama dia."

Pandangan Cu Bun-hoa beralih ke arah Kun-gi, katanya tertawa: "Aku sudah tahu, walau usia Ling-lote masih muda, tapi sorgot matanya gemilang, kepandaian silatnya tentu tidak rendah, entah siapakah gurunya?"

Belum Ling Kun-gi buka suara, Ji-ping sudah mendahului: "Paman, pandanganmu memang tajam, Ling-toako adalah murid Hoan-jiu ji-lay."

Melengak Cu Bun-hoa, katanya serius: "Jadi Ling-lote adalah murid kesayangan paderi sakti Hoan-jiu-ji-lay, maaf aku kurang hormat."

"Cengcu terlalu rendah hati" Kun-gi berkata ramah.

Mendengar nada pembicaraan kedua orang, Ji-ping tahu kalau pamannya menaruh hormat dan pemuja Hoan-jiu-ji-lay, maka hatinya ikut senang, katanya dengan suara hampir berbisik: "Paman, Ling-toako kemari untuk menyelidiki peristiwa Cin-cu-ling."

Cu Bun-hoa manggut2, katanya: "Aku pernah dengar berita dari Kang-ouw bahwa keluarga Un di Ling-lam dan Tong di Sujwan masing2 kehilangan kepala keluarganya, sanak familinya menemukan mutiara berukir huruf Ling di bawah bantal mereka. Cin-cu-ling memang pernah menggemparkan Kang-ouw beberapa waktu yang lalu, tapi kejadian sudah berlarut, kini sudah mulai dilupakan orang, lalu bagaimana hasil penyelidikan Ling-lote?"

Ji-ping mendahului bicara pula: "Paman, karena tiga bulan yang lalu ibu Ling-toako juga mendadak lenyap, maka gurunya menyuruh dia mengembara di Kang-ouw untuk menyelidiki peristiwa Cin-cu-ling itu, Langkah pertama Ling-toako pergi ke Kay-hong menemui Kim Ting Kim Kay-thay, karena ketua Yok-ong-tian, Loh-san Taysu dari Siau-lim-si juga telah lenyap tiga bulan yang lalu."

Tergetar hati Cu Bun-hoa, katanya: "Ketua Yok-ong-tian Siau-lim-si juga lenyap, kenapa aku tidak mendengar?"

"Panjang kalau diceritakan, Ling-toako, kau saja yang menjelaskan pada paman."

Maka Kun-gi bercerita tentang pengalaman belakangan ini sejak dia menemui Kim Kay-thay di Kay-hong serta terima surat yang serba rahasia dan misterius itu sampai sekarang.

"Ling-lote tahu, apa isi kotak sutera itu?" tanya Cu Bun-hoa.

"Paman," sela Ji-ping, "dengarkan saja dengan sabar, semuanya akan jelas "

Kun-gi lalu ceritakan pula penculikan Pui Ji-ping oleh orang2 keluarga Tong yang dipimpin Cit-ya dan terpaksa dirinya sampai meluruk ke Pat-kong-san.

Cu Bun-hoa mendengus sambil mengelus jenggot: "Keluarga Tong juga berani main kayu terhadap keluargaku. Ji-ping, kapan2 paman juga ringkus Kwi-kian jiu itu, akan kugantung dia tiga hari tiga malam."

"Jangan," seru Ji-ping, "sekarang aku sudah angkat Tong-lohujin sebagai ibu angkatku."

"O, apa pula yang telah terjadi ?" tanya Cu Bun-hoa tak mengerti.

"Waktu Ling-toako meluruk ke Pat-kong san, dia pukul hancur Pat-kwa to tin keluarga Tong, Tong-hujin lalu menerimaku sebagai puteri angkat. Toako, untuk selanjutnya kau saja yang bercerita."

"Seperti apa yang telah Cengcu terima beritanya tadi, sejak mula Wanpwe pun terus menguntitnya sampai sini," demikian sambung Kun-gi setelah bercerita panjang lebar.

Berkerut alis Cu Bun-hoa, katanya: "Barang apakah sebenarnya yang diantar secara marathon dengan ganti berganti tangan, sampai menimbulkan perhatian banyak orang."

Maka Ling Kun-gi bercerita pula akan pengalamannya sejak turun dari Pat-kong-san, dan barang yang diantar itu sekarang kemungkinan sudah mencapai tempat tujuan yang terakhir.

"Kemana mereka antar barang itu?" tanya Cu Bun-hoa kemudian.

"Yang jelas barang itu Cin cu-ling, Wanpwe sudah membuktikan sendiri."

"Lalu bagaimana selanjutnya menurut apa yang kau ketahui?"

"Menurut hasil penyelidikan Wanpwe, Cin-cu-ling harus diserahkan kepada seorang yang membeli lima blok kain katun di toko kain Tek-hong di kota Thung-seng."

Berubah air muka Cu Bun-hoa, tanyanya. "Kalian terus menguntitnya tidak?"

"Sudah tentu," sela Ji-ping.

"Jadi kalian sudah melihat Cin-cu-ling itu diterimakan kepada orang yang beli lima blok kain katun itu?"

"Kami mengamati dari warung teh diseberang jalan toko Tek-hong, semua kejadian kami saksikan dengan jelas," demikian Ji-ping bercerita, "cuma pengantar barang yang semula menggelung kuncir di atas kepala hari itu menyamar sebagai pedagang perhiasan, dengan caranya yang lihay dia simpan Cin-cu-ling diantara perhiasan terus dijual kepada pembeli kain itu, orang lain yang tidak tahu tentu menyangka dia membelikan perhiasan untuk anak gadisnya . . . ."

"Jadi dia?" desis Cu Bun-hoa dengan mata terbeliak.

"Paman tidak percaya?" Ji-ping menegas.

Pelan2 mata Cu Bun-hoa tatap mereka berdua, suaranya kalem dan rendah: "Sudah puluhan tahun In Thian-lok mengikuti aku, biasanya amat setia dan menyelesaikan tugasnya dengan baik, selamanya belum pernah melakukan kesalahan, kalau dikatakan dia mempunyai maksud jahat, sungguh sukar dipercaya. . . . ." dia pandang Ling Kun-gi, lalu menyambung pula: "Ling lote, di atas loteng itu kau menyaksikan dengan jelas, coba kau jelaskan pula lebih teliti."

Terpaksa Kun-gi menceritakannya pula lebih terperinci.

Lama Cu Bun-hoa menepekur, katanya kemudian: "Mereka serahkan Cin-cu-ling kepada In Thian-lok, jadi orang berikutnya yang hendak diculik adalah diriku."

"Kukira demikian adanya," kata Ji-ping.

"Waktu Cayhe meninggalkan Kay-hong, Kim-loyacu juga pernah menyinggung diri Cu-cengcu kepada Cayhe."

"Apa kata Kim Kay-thay?"

"Kim-loyacu bilang, orang2 yang diculik oleh komplotan Cin-cu-ling ini kebanyakan adalah ahli2 racun, obat bius dan obat2an, dalam Bu-lim, kecuali keluarga Tong yang pandai menggunakan racun dan senjata, keluarga Un ahli obat bius, katanya Cu-cengcu juga seorang ahli dalam bidang ini ....."

Hebat perubahan air muka Cu Bun-hoa kali ini, mulutnya menggeram sekali.

Terbelalak lebar mata Pui Ji-ping, tanyanya "Paman, kenapa tidak pernah kudengar engkau orang tua juga pandai main racun?"

Hanya sebentar perobahan air muka Cu Bun-hoa, tuturnya sambil menghela napas: "Keluarga Cu kita selamanya belum pernah berkecimpung di Kang-ouw, mungkin itu hanya berita kosong belaka diluaran, soalnya kakek luarmu dulu pernah menolong seorang tua yang terluka parah dan hampir ajal diluar perkampungan, tiga bulan lamanya orang tua itu dirawat sampai sembuh, sebelum pergi dia meninggalkan sesuatu resep obat. Waktu itu keamanan sering terganggu, kawanan rampok merajalela. main bunuh, rampok, memperkosa kaum wanita, sehingga jaman itu keadaan kacau balau, orang tua itu pernah berpesan kepada kakek luarmu supaya membuat obat menurut resep yang ditinggalkan serta ditaburkan di daerah tiga li diluar perkampungan secara melingkar, kemungkinan rampok itu tidak akan berani mengusik kemari . . . ."

"Tentunya obat itu racun yang amat lihay?" tanya Ji-ping.

"Betul," Cu Bun-hoa mengangguk, "tak lama kemudian, sekawanan perampok memang meluruk datang, tapi tiga li diluar perkampungan kita kawanan perampok ini sama terjungkal roboh binasa sehingga Liong-bin-san-ceng tidak terusik sedikitpun, orang luar yang tidak tahu persoalannya menganggap keluarga Cu kita juga ahli dalam bidang ini, begitulah sampai sekarang, berita ini makin tersiar luas diluaran."

"Paman, resep obat itu masih ada?" tanya Pui Ji-ping.

Cu Bun-hoa tertawa tawar, ujarnya: "Kejadian ini sudah lima enam puluh, tahun yang lalu, kakek luarmu tidak mewariskan resep itu padaku."

"Sayang sekali," kata Ji-ping gegetun.

"Jadi komplotan ini menyogok In Thian-lok dan berusaha menculik diriku, tujuannya tentu juga resep obat beracun itu," ujar Cu Bun-hoa sambil mengelus jenggot.

"Bagaimana sikap paman untuk menghadapi persoalan ini?" tanya Ji-ping.

Cu Bun-hoa naik pitam, katanya gusar: "Biar kupanggil In Thihan-lok kemari, akan kutanya dia."

Cukup lama Kun-gi tidak bersuara, sekarang dia menyela: "Cu-cengcu, jangan kau menyingkap rumput mengejutkan ular malah."

"Secara berhadapan kutanya padanya, memangnya berani dia mungkir?"' ujar Cu Bun-hoa.

"Bahwa dalam perkampungan ini ada orang yang kena sogok oleh komplotan itu, mungkin ada mata2 lain pula yang diselundupkan kemari, jumlahnya tentu tidak satu dua orang saja, cara paman benar In Thian-lok mengaku terus terang dihadapan Cengcu, tapi beberapa mata2 itu tetap menjadi rahasianya, bagaimana Cengcu bisa membongkar komplotan jahat ini."

"Betul ucapan Ling-lote," ujar Cu Bun-hoa, "Ai, sudah puluhan tahun In Thian-lok menjadi tangan kananku yang terpercaya, ternyata dia berani mengingkariku dan berkomplot dengan musuh, kalau dipikir sungguh amat mengerikan."

"Sudah beberapa bulan ibu menghilang, menurut dugaan Suhu, kemungkinan diapun terculik oleh kawanan Cin-cu-ling ini, kalau mereka sudah menyogok In Thian-lok untuk melaksanakan perintah mutiara itu, terang tujuannya adalah menculik Cengcu secara diam2, Cayhe punya pendapat bodoh, entah bisa tidak dilaksanakan?"

Bersinar mata Cu Bun-hoa, katanya. "Coba jelaskan pendapatmu."

"Menurut pendapat Cayhe, untuk sementara Cengcu tetap berlaku wajar, anggap tidak tahu apa2, kita balas menipu mereka."

Tangan mengelus jenggot, dengan tajam Cu Bun-hoa tatap muka Ling Kun-gi, lama dia berdiam diri,

"Cayhe sedikit menggunakan tata rias, biar Cayhe menyaru Cu-cengcu dan diculik mereka, dengan cara ini sekaligus aku akan berhasil menyelidiki sarang mereka, akupun akan berhadapan dengan biangkeladi dari peristiwa ini dan mengetahui apa tujuannya?"

"Baik sekali tipu ini", ujar Cu Bun hoa.

"Bagi Cayhe dapat bekerja menurut keadaan untuk menolong ibunda, bagi Cengcu, secara diam2 dapat mengawasi gerak-gerik Ing Thian-lok, supaya semua mata2 yang diselundupkan kesini bisa terjaring seluruhnya."

"Masuk akal," ujar Cu Bun-hoa manggut2, "baiklah kita bekerja menurut pendapat Ling-lote ini."

"Ling toako, kau menyamar paman masuk kesarang musuh, lalu aku?" tanya Ji-ping. "Tugas apa yang kau serahkan padaku?"

"Kau sudah berada dirumah pamanmu sendiri, boleh mencuci samaranmu, tinggal saja beberapa hari disini, keadaan Kang-ouw sekarang sudah kacau balau, tidak baik kau keluyuran lagi diluar."

"Tidak keadaanku ini tidak ada yang memperhatikan, secara diam2 aku bisa kuntit mereka dengan leluasa aku bisa mengirim kabar kepada paman."

"Ji-ping, jangan kau nakal, tepat ucapan Ling--lote, kau seorang perempuan, jangan keluyuran saja, tinggal saja beberapa hari disini, akan kusuruh orang memberi kabar kepada ibumu."

Dihadapan pamannya, Ji-ping tidak berani merengek dan banyak bicara lagi.

"Malam ini kukira tidak akan ada kejadian, Ling-lote boleh menginap dikamar rahasiaku, Ji-ping lekas kau cuci muka, ganti pakaian dan kembali kebelakang.

"Tidak paman, Ling-toako besok mungkin pergi, dia sudah janji mengajarkan ilmu tata rias padaku, sebelum dia pergi malam ini aku akan belajar padanya."

"Ilmu rias mana bisa dipelajari semalam saja? Belum terlambat untuk belajar setelah Ling-lote kembali nanti."

Sudah tentu dia tidak tahu perhitungan Pui Ji--ping, kata nona itu: "Tidak, malam ini juga aku akan belajar, meski hanya kulitnya saja. Ling-toako sekarang juga kau ajarkan padaku?"

Apa boleh buat terpaksa Kun-gi manggut2, katanya: "Boleh saja, nanti kuajarkan yang paling gampang dulu."

Pui Ji-ping berjingkrak girang, katanya: "Ling-toako, ajarkan cara merias seperti keadaanku sekarang ini."

"Kalau belajar, ajaklah Ling-lote ke kamar rahasiaku saja," kata Cu Bun-hoa.

Dengan keheranan Ji-ping celingukan, tanyanya: "Paman, dimana letak kamar rahasia itu? Aku kok tidak tahu?"

"Kamar itu buat latihan kakek luarmu, bibipun tidak tahu. mana kau bisa tahu?"

"Jadi Piauci juga tidak tahu? Paman, dimana itu?"

Cu Bun-hoa tersenyum sambil menghampiri rak buku disebelah timur, tangan diulur dan sedikit ditekan, dua rak buku yang semula rapat ber-jajar tiba2 bergerak pelan2, lalu muncul sebuah pintu dibelakangnya.

Pui Ji-ping menjerit senang sambil tepuk tangan dan segera dia mendahului menerobos masuk.

"Ji--ping, berhenti!" tiba2 Cu Bun-hoa membentak.

Baru tiga langkah Ji-ping bergerak lantas dengar seruan pamannya, cepat ia berpaling, tanyanya: "Paman, untuk apa kau memanggilku?"

Cu Bun-hoa melangkah maju, tangannya menekan dua kali di pinggir pintu, lalu berkata, "Sekarang boleh masuk."

Melihat kelakuan orang, diam2 Kun-gi membatin: "Kabarnya Cu Bun-hoa pandai memasang alat2 perangkap, Liong-bin-san-ceng di-mana2 banyak jebakan, orang luar yang tidak tahu seluk-beluknya jangan harap bisa masuk kemari, tapi sepanjang jalan masuk bersama Ji-ping tadi sedikitpun aku tidak melihat tanda apa2 dikamar ini, terang juga dipasang alat jebakan."

Dari meja disebelah Cu Bun-hoa ambil sebuah lentera yang terbuat dari tembaga dan diangsurkan kepada Ji-ping, katanya: "Sulut apinya dan tunjukan jalan bagi Ling-toako."

Pui Ji-ping mengiakan terus menyulut api, katanya: "Mari Ling-toako!" Lalu dia mendahului masuk.

Kun-gi segera ikut masuk, pintu dibelakang mereka lantas menutup secara otomatis. Dengan seksama dia mengamati, kamar ini tidak begitu besar, namun serba rapi dan teratur bersih, sebuah dipan kayu terukir indah mepet dinding sebelah kanan, kedua sampingnya masing2 terdapat sebuah meja marmer yang bergambar indah. Delapan lukisan menghias kedua dinding yang luas itu, tepat di tengah kamar ada sebuah meja delapan segi berukir dikelilingi empat buah kursi berpunggung. Sebuah almari buku ada di sebelah kiri, diatasnya berjajar berbagai barang2 antik, dilapisan tengah tertaroh botol2 obat, entah obat2 apa karena tiada keterangan.

Melihat gelagatnya, Ciam-liong (naga terpendam) Cu Bun-hoa sering meyakinkan ilmu dan samadi di kamar ini seorang diri.

Dasar nakal, begitu masuk Ji-ping lantas menghampiri dipan dan berduduk, katanya tertawa:

"Mungkin Gwakong (kakek luar) sering latihan di atas dipan ini, ukirannya begini indah dan hidup."

Entah kenapa, mungkin tanpa sengaja, tangannya yang usil telah menyentuh alat rahasia, tanpa bersuara dipan itu bergeser ke kiri, di bawah segera tampak sebuah lubang dengan deretan undakan menjurus kebawah, kiranya itulah pintu masuk kesebuah lorong dibawah tanah.

Karena duduk di atas dipan, Ji-ping ikut tergeser ke kiri, keruan kagetnya bukan main, lekas dia melompat turun. Mengawasi lubang gelap dibawah, ia heran dan kaget, katanya: "Toako, mari kita turun melihatnya."

"Jangan, inilah kamar rahasia pamanmu, lekas kau betulkan ke tempat semula."

"Cuma lihat2 saja, kenapa? Dia kan pamanku."

"Setiap orang pasti punya rahasianya sendiri, bibipun tidak tahu adanya kamar rahasia ini, bahwa dia memberi izin kita masuk kemari, pertanda dia percaya pada kita, lalu jangan diluar tahunya kita mencuri lihat rahasianya? Lekas kau betulkan ketempat asalnya."

"Aku menyentuh tanpa sengaja, entah bagaimana aku harus berbuat untuk membetulkannya kembali,"

Baru berakhir percakapan mereka, terdengarlah suara Cu Bun-hoa dengan tertawa, "Aku punya rahasia apa? Lorong itu menembus kebelakang gunung2an palsu ditengah taman sana, dulu waktu almarhum ayahku latihan suka ber-jalan2 dikamar, jadi tiada rahasia apa2." Sebelum dia selesai bicara, dipan itupun bergerak kembali ke tempat asalnya.

Kun-gi cukup tahu diri, dia tahu banyak perangkap dan alat2 rahasia lainnya dalam kamar ini, terbukti percakapan mereka didengar jelas oleh Cu Bun-hoa dikamar buku, secara tak langsung kata2nya telah memberi peringatan supaya mereka tidak sembarang bergerak atau menyentuh apa2 yang ada di dalam kamar ini.

Maka ia lantas berkata: "Nona Pui, lekaslah kemari, sekarangh juga mulai kuajarkan padamu," lalu dia tarik sebuah kursi serta berduduk, dari bajunya dia keluarkan kotak bahan2 rias dan ditaruh di atas meja. Dengan riang Ji-ping lantas duduk di kursi sebelah kanan Kun-gi.

Kun-gi keluarkan obat cuci yang berwarna madu dan menyuruhnya mengusap muka sendiri untuk membersihkan wajahnya. Lalu dimulai ajaran menggambar alis, bagaimana menebalkan lekuk bibir mata, bagaimana mencampur bahan2 serta memoleskan ke muka, disini tebal disana tipis, sembari memberi penjelasan sebelah tangan memegang kaca kecil serta bergerak meng-goles2 muka sendiri, begitu jelas dan teliti sekali penjelasannya.

Otak Ji-ping memang cerdas, sudah tentu sekali dijelaskan dia lantas tahu, cepat sekali dia sudah mahir juga menggunakan alat rias itu terus memperagakan diri, wajah sendiri dibuat percobaan dihadapan Ling Kun-gi, bila ada yang salah Kun-gi lalu memberi petunjuk, muka dicuci, diulangi sekali lagi.

Mendekati kentongan kedua, pintu kamar diketuk orang dari luar, suaranya lirih. Menurut kebiasaan, setiap malam sebelum tidur Cengcu Cu Bun-hoa menyuruh pelayan pribadinya membikin sop sarang burung, Kebiasaan ini sudah berlangsung beberapa tahun lamanya, pada hari2 biasa ketukan pintu demikian juga sudah terlalu biasa, tapi lain dengan malam ini, mendengar suara ketukan pintu ini, jantung Cu Bun-hoa lantas berdetak tegang.

Sarapan pagi setiap harinya dia makan sendiri dikamar buku ini, dalam keadaan terang benderang, komplotan penjahat itu jelas tidak takkan berani turun tangan. Sementara siang dan malam dia makan bersama isteri dan puterinya dibelakang, ada pelayan yang melayani kebutuhan mereka, musuh terang tiada kesempatan bekerja. Dan untuk makan malam menjelang tidur ini, selalu diantar dari belakang, hari sudah larut malam, seorang diri dalam kamar buku lagi, inilah kesempatan paling baik untuk turun tangan bagi komplotan itu. Secepat kilat pikirannya bekerja, segera dia bersuara dengan rendah: "Siapa?"

Terdengar suara perempuan diluar pintu, sahutnya: "Hamba Kwi-hoa, mengantar bubur sarang burung untuk Cengcu."

"Ya, bawa masuk!" sera Cu Bun-ghoa.

Pintu terbuka, tampak Kwi-hoa membawa nampan warna merah, di mana tertaruh sebuah mangkok yang mengepulkan bau sedap. Nampan diletakkan di atas meja, mangkok berisi bubur itu terus di serahkan kepada Cu Bun-hoa, mulutnya berkata manis: "Silakan Cengcu makan."

Duduk dikursi malas, dengan pandangan tajam Cu Bun-hoa menatap muka Kwi-hoa.

Kwi-hoa adalah nona yang berusia delapan atau sembilan belas tahun, gadis ini amat cekatan dan cerdik, perasaannyapun tajam, terasa olehnya kedua biji mata sang Cengcu tengah menatap dirinya lekat2. Biasanya hal ini tidak pernah terjadi, keruan hatinya kebat-kebit, wajah seketika merah jengah, berdiri disamping dia menunduk tak berani bergerak.

Sambil mengelus jenggot yang terawat baik, dengan suara tertekan Cu Bun-hoa bertanya: "Kwi-hoa, sudah berapa tahun kau bekerja disini?"

"Sudah tiga tahun," sahut Kwi-hoa lirih.

"Siapa yang membawamu kerja disini?"

"In-congkoan."

Geram hati Cu Bun-hoa, ternyata memang sekomplotan, demikian batinnya, lalu tanyanya pula:

"Bagaimana kau kenal dengan In-congkoan?"

"Semula hamba tidak kenal In-congkoan, tiga tahun yang lalu setelah ayah bunda wafat, tiada orang yang kubuat sandaran, terpaksa menjual diri sebagai pelayan, kebetulan In-congkoan lewat, mendengar logat hamba, kiranya kami adalah kelahiran sekampung, setelah tanya jelas riwayat hidup hamba, baru In-congkoan membawaku kemari."

Cu Bun-hoa manggut2, tangan membuka tutup mangkok lalu mengangkatnya, pelan2 hendak menghirupnya.

Kwi-hoa yang berdiri disamping melirik secara diam2, wajahnya menampilkan rasa senang. Sudah tentu perubahan mimiknya tidak lepas dari pengawasan Cu Bun-boa, seperti merasa buburnya terlalu panas, dia urung menghirupnya, lalu ditaruh kembali di atas meja pula, tanyanya: "Kau yang masak bubur ini?"

"Ya, atas petunjuk Hujin," sahut Kwi-hoa.

"Waktu kau membawa bubur kemari, adakah ketemu siapa?"

Sedikit berubah air muka Kwi-hoa, sahutnya: "Ti . . . . tiada."

Cu Bun-hoa pura2 mendelik, suaranya kereng: "Waktu kau membuat bubur, pernah kau tinggalkan sebentar?"

Kwi-hoa mulai kurang tenteram, sahutnya lirih: "Tidak."

Terpentang mata Cu Bun-hog, katanya: "Kurasa bau bubur ini rada ganjil."

"Tidak mungkin," sahut Kwi-hoa, berubah air mukanya, "bahan2nya pilihan khusus, mangkok ini pun milik Cengcu pribadi, waktu membuatnya hamba tidak lena, mungkin malam ini terlalu banyak kuahnya, sehingga rasanya agak tawar."

Cu Bun-hoa tertawa aneh, katanya: "Kuahnya terlalu banyak? Memangnya Lohu tidak bisa membedakan bau bubur sarang burung?"

"Kalau begitu biar hamba buatkan lagi yang lain," kata Kwi-hoa takut2.

"Kalau memang kau sendiri yang membuatnya, coba kau saja yang makan," ujar Cu Bun-hoa.

Kaget Kwi-hoa dibuatnya, ia menyurut mundur, katanya: "Bubur untuk hidangan Cengcu, mana hamba berani memakannya."

"Tidak apa, Lohu suruh kau makan."

Pucat muka Kwi hoa, suaranya gelisah. "Hamba tidak berani. . . ."

Cu Bun-hoa menukas dengan suara kereng. "Berani kau membangkang kehendak Lohu?"

Mendadak dia melompat bangun, sekali raih dia cengkeram tengkuk Kwi-hoa, tangan kiri menekan dagu orang, mulut dipejetnya sampai terbuka, semangkok bubur itu terus dia tuang kemulutnya.

Kejadian berlangsung teramat cepat, tidak sempat meronta atau bersuara sedikitpun, sebagian besar bubur semangkok itu tertuang masuk perut Kwi-hoa, lekas sekali Hiat-to pun tertutuk dan tak mampu berkutik lagi.

Bersambung

המשך קריאה

You'll Also Like

146K 1.7K 112
Pendekar Harum yang nama aslinya adalah Chu Liu Xiang (Coh Liu Hiang) adalah karakter yang diangkat dari novel karya Gu Long (Khu Lung) yang diterbit...
201K 2.9K 86
Awal kisah dari Trilogi Dinasti Tong yang merupakan salah satu karya terbaik Liang Ie Shen. Sangat direkomendasikan untuk dibaca (must read), bahkan...
135K 18.7K 200
[Novel Terjemahan] Chapter (2001- 2200) Kultivasi Ganda Abadi dan Bela Diri Capai puncak kultivasi abadi dan jadilah mampu mengamuk tanpa rasa...
1K 73 6
Dapat telfon dari nomor baru, sungguh tidak menyenangkan. Terlebih si penelpon yang ternyata tetangga serta tamu tak diundang yang pernah berkunjung...