24. Different Person

76K 5.6K 316
                                    

“Anna?” panggil Steven kepada perempuan yang sedang dipegangi tangannya.

Sorry?”

Napas Steven naik turun. Iris hazelnya tidak lepas dari memandang wajah perempuan di hadapannya ini. Jantungnya berdegup kencang. “Kau masih hidup?”

Sedangkan perempuan itu mengerutkan dahinya, bingung.

“Maaf, Anda siapa, ya?”

“Aku Steven, kekasihmu. Demi Tuhan, Anna, aku sungguh merindukanmu.”

Dibawanya tubuh perempuan itu ke dalam dekapannya. Steven memeluk perempuan itu erat, seolah jika ia lepas, maka perempuan itu akan kembali menghilang.

Mengetahui Steven memeluk perempuan itu, Calita segera menoleh kepada Nathan dan bertanya, “Siapa, Nath? Kau kenal perempuan itu?”

“Perempuan itu … mirip sekali dengan Anna,” jawabnya.

“Anna?” tanya Roxanne, tidak mengerti siapa Anna.

“Ceritanya panjang. Nanti aku ceritakan,” balas Nathan kepada Roxanne.

“Kau yakin perempuan itu mirip dengan Anna?” Calista bertanya lagi, lalu kembali menjatuhkan pandangan kepada kedua orang itu yang masih berpelukan.

Ada rasa sakit yang tiba-tiba muncul di hatinya. Dadanya sesak.

“Entahlah, aku hanya pernah melihat fotonya. Tapi mustahil kalau itu Anna. Steven sendiri yang bilang kepadaku kalau Anna terbunuh.”

Mereka bertiga lanjut memerhatikan keduanya dari jauh. Namun tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang keduanya bicarakan.

Steven dalam pelukannya pada perempuan itu bergumam pelan. Berbicara sesuatu yang tidak dimengerti oleh perempuan dalam dekapannya itu.

“Maaf, Tuan. Tapi sepertinya Anda salah orang. Saya bukan Anna.”

Perempuan itu melepas pelukan Steven dengan paksa.

Membuat Steven geleng-geleng. Menatap perempuan itu dalam. “Kau tidak mengingat aku, Anna?”

“Namaku Sonya, bukan Anna. Anda salah orang. Maaf.”

No. Kau Anna.” Steven bersikeras bahwa perempuan bergaun merah selutut di hadapannya ini adalah Anna. “Sebentar,” katanya lalu merogoh saku celananya untuk mengeluarkan dompet.

Diambilnya sebuah foto dari sana, kemudian memperlihatkan foto seorang perempuan kepada Sonya.

Melihat itu, mata Sonya membulat. Perempuan yang ada di foto tersebut sangat mirip dengannya. Bagaimana bisa?

Sonya adalah anak tunggal, tidak memiliki kembaran. Tapi bagaimana mungkin perempuan dalam foto tersebut bisa sangat mirip dengan wajahnya?

Setelah itu, Sonya kembali menatap Steven. “Iya, memang mirip. Tapi aku benar-benar bukan Anna. Namaku Sonya. Lihat ID card-ku kalau kau tidak percaya.”

Sonya menunjukkan ID card-nya kepada Steven.

“Benar, kan? Aku bukan Anna.”

Bibir Steven tertutup rapat. Matanya kembali memandang Sonya dengan lamat-lamat. Sungguh, perempuan di hadapannya ini sangatlah mirip dengan Anna, bahkan suaranya juga sama persis. Tapi setelah dipikir-pikir, tidak mungkin bahwa Anna masih hidup. ID card yang ditunjukkan oleh Sonya juga semakin memperkuat bahwa perempuan itu bukan Anna.

“Maaf, aku ternyata salah orang. Tapi kau benar-benar mirip dengan mantan kekasihku yang terbunuh beberapa tahun silam.”

“Tidak masalah, aku paham,” ucap Sonya dengan senyum merekah di bibir merahnya.

Sebelah tangan Steven mengambil ponselnya yang ada di saku, lalu menyerahkannya kepada Sonya dan berkata, “May I?”

Sepertinya Steven masih penasaran dengan Sonya.

Sure.” Sonya mengambil alih ponsel Steven, lalu mengetikkan nomornya di sana.

“Siapa tadi namamu? Steven?” tanya Sonya setelah mengembalikan ponsel tersebut kepada Steven.

“Ya.”

Nice to see you, Steven. Aku paham apa yang kau rasakan. Jika tidak keberatan, kau bisa menganggapku teman. Chat aku saja kalau kau ingin curhat mengenai Anna, mungkin aku bisa membantu.”

Kepala Steven mengangguk sekali, “Thank you.”

Urwel. Kalau begitu, aku pergi. Sampai jumpa.”

Setelah melihat Sonya telah keluar dari kafe, Steven berjalan pelan menuju tempat duduknya semula. Pandangannya kosong. Pikirannya entah terbang ke mana.

Calista yang perasaannya sedari tadi tidak enak itu enggan membuka suara. Yang angkat bicara justru Roxanne.

“Steve, kau tidak apa-apa?” tanyanya.

“Tidak apa-apa,” jawab Steven pelan tanpa mengalihkan pandangannya kepada Roxanne.

“Aku ingin balik ke kantor,” sambung Steven, kemudian bangkit dari duduknya. Melangkah menuju pintu keluar tanpa bicara terlebih dahulu kepada Calista, membuat perasaan gadis itu tambah dongkol luar biasa.

“Jangan kesal, Cale,” kata Nathan seolah tahu bahwa Calista sedang merasa kesal.

“Steven memang kadang-kadang bersikap seperti itu. Moodnya mudah berubah bahkan hanya karena hal sepele. Kuharap kau tidak salah paham,” lanjut Nathan.

“Masa bodoh. Aku tidak peduli.”

“Kau cemburu?” goda Nathan.

“Tidak ada kata cemburu di dalam kamus hidupku.”

Bohong. Padahal Calista merasa cemburu, sangat malahan. Hatinya panas saat melihat Steven memeluk perempuan lain. Apalagi saat melihat Steven meminta nomor perempuan tadi. Calista takut kalau Steven berpaling ke perempuan lain.

Jika itu terjadi, bagaimana dengan Calista?

𝐂𝐫𝐚𝐳𝐲 𝐋𝐨𝐯𝐞 𝐰𝐢𝐭𝐡 𝐂𝐫𝐚𝐳𝐲 𝐁𝐎𝐒𝐒Where stories live. Discover now