20. The Guy who Broke Me [03/01/21]

Start from the beginning
                                    

Calista sekali lagi melihat jam tangannya. William masih belum melanjutkan kata-katanya. "Steven kenapa?" tanya Calista tidak sabaran. William justru tertawa, membuat Calista semakin geram.

"Aku tidak punya banyak waktu, Will. Cepat lanjutkan kata-katamu, kenapa dengan Steven?" kata Calista ketus.

"Baiklah." William menghentikan tawanya, kemudian dia melanjutkan, "Steven itu, dia itu pembunuh."

Calista cukup terkejut dengan perkataan William. Tapi dia tetap terlihat tenang. Dia kembali mengingat kejadian beberapa bulan lalu. Kejadian di mana Steven membunuh dua orang sekaligus di depan matanya. Kejadian yang membuatnya benar-benar marah sekaligus takut pada Steven.

"Aku tahu," ucap Calista pada akhirnya. "Dia telah membunuh dua orang di depanku. Tapi aku yakin kalau dia tidak sengaja membunuh mereka, dia hanya ingin melindungiku."

William menarik sudut bibirnya sambil menatap Calista lekat. "Dia telah membunuh bahkan jauh sebelum mengenalmu. Dan itu disengaja."

Calista membuka mulutnya. Matanya juga membulat, kaget dengan ucapan William. Steven sudah membunuh jauh sebelum pria itu mengenalnya? Tapi kenapa? Apa alasan pria itu membunuh orang?

"Eum, aku harus pergi." Calista mengeluarkan uang dari dalam tasnya. "Steven membunuh orang, pasti dia punya alasan," lanjut Calista lalu meletakkan selembar uang kertas di atas meja, kemudian dia mulai melangkah.

"See! Kau bahkan tidak takut padanya setelah kuberi tahu. Ya, Steven pasti punya alasan kenapa dia membunuh orang."

William diam sebentar. Calista masih memerhatikannya. "Tapi kau juga harus berhati-hati!"

Calista kemudian melanjutkan langkahnya.

"Terima kasih untuk makanannya!" teriak William pada Calista yang sudah hampir keluar dari restoran.

Sudut bibir William kembali tertarik. Gadis itu memang keras kepala. Dan sialnya, itu membuat William semakin tertarik padanya.

÷÷÷

"Jadi, kapan?"

Steven yang awalnya fokus pada layar laptop di depannya kini melirik Nathan sambil mengerutkan dahinya. "Kapan apanya?" tanya Steven yang kini beralih memeriksa beberapa berkas yang sudah ada di tangannya.

"Membalas dendammu, apa lagi?"

"Tidak semudah yang kau pikirkan," Steven menutup berkas di tangannya. "Meski aku bertemu langsung dengannya, aku tetap tidak bisa membunuhnya dengan mudah."

Ya, Steven yakin seratus persen kalau dia tidak bisa dengan mudah menangkap pria berengsek itu. Bahkan jika dia sudah berhasil menangkapnya, dia tidak yakin akan menang melawan William.

Bukan karena Steven lebih lemah dari William, namun ada hal lain yang membuat Steven tidak bisa dengan mudah menyingkirkan pria bajingan itu.

"Kau tidak mau kan, William kembali mengacaukan hidupmu?"


Steven berpikir lebih dahulu sebelum membalas, "Untuk saat ini ...," Steven menggantungkan kalimatnya, dia sedikit melonggarkan dasinya. "Ada hal yang lebih penting dari itu."

Nathan melipat dahinya ketika Steven bangkit dari kursi dan berjalan mendekatinya.

"Kau apakan sepupuku?" tanya Steven sambil melipat kedua tangannya di depan dada. "Dia mengurung diri di kamar seharian, dan katanya itu salahmu."

Nathan mengembuskan napasnya kasar, lalu berkata, "Yah, masalah hati."

Steven sungguh ingin memukul wajah tanpa dosa Nathan yang sialnya tampan ini. Berani-beraninya Nathan mempermainkan perasaan gadis kecil yang baru pertama kali jatuh cinta.

"Perlakuanmu selama ini terhadap Lalice membuat gadis itu berpikir kalau kau mencintainya," ucap Steven setelah kembali duduk di kursi kerjanya. "Kasarnya, kau telah memberi harapan palsu padanya. Tidakkah kau merasa bersalah?"

"Aku selama ini hanya menganggap Lalice seperti adikku sendiri, tidak lebih." Sebenarnya Nathan juga merasa bersalah pada gadis itu. Tapi dia juga tidak bodoh sampai mau menerima perasaan gadis SMA yang bahkan sudah ia anggap sebagai saudara. Terlebih dia juga tidak mau memaksakan perasaannya pada Lalice. Ini juga demi kebahagiaan Lalice sendiri. Lalice pantas mendapatkan pria yang jauh lebih baik darinya dan mencintai gadis itu apa adanya.

"Aku tidak tahu kalau dia sampai menganggapku lebih," sambung Nathan.

Steven masih menatapnya tajam.

"Okay, aku yang salah di sini. Aku pria berengsek yang telah melukai perasaan gadis berusia belasan tahun. Aku minta maaf," kata Nathan sambil balas menatap Steven.

Steven lalu mengalihkan pandangannya pada layar ponselnya dan memainkan benda pipih itu. "Minta maaf pada Lalice, jangan padaku." Steven berkata santai.

"Malam ini aku meminta ibuku memasak banyak. Kau bisa datang bersama Roxanne. Aku juga akan mengajak Calista, kita makan malam bersama."

÷÷÷

"Maaf."

Itu adalah ucapan pertama Nathan setelah bertemu dengan Lalice yang sedang ikut menyiapkan makan malam. Lalice tidak menghiraukannya, dia masih sibuk menata makanan di atas meja.

"Lice," Nathan menghentikan pergerakan tangan Lalice. Lalice menatap tajam ke arahnya, seakan gadis itu siap untuk memukulnya.

"Maaf," ucap Nathan lagi. Dia juga melepaskan tangannya dari tangan Lalice, kemudian menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukannya.


"Aku salah. Bentuk perhatianku padamu selama ini karena aku sudah menganggapmu sebagai adikku sendiri." Nathan mengelus rambut Lalice lembut. "Tapi kalau itu membuatmu salah paham, aku akan berusaha untuk menjaga jarak darimu-"

"Tidak!" Lalice menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tetap perlakukan aku seperti dulu, aku mohon."

Lalice mengeratkan pelukan mereka berdua, tanpa sadar air matanya keluar lagi. Ini sakit. Lebih sakit daripada mendapat pukulan bertubi-tubi pada wajahnya. Kalau dia ingin, dia pasti sudah menghajar Nathan habis-habisan untuk melampiaskan kekesalannya. Sayangnya dia tidak bisa. Dia rela merasakan sakit demi melihat pria ini tersenyum bahagia.



-

𝐂𝐫𝐚𝐳𝐲 𝐋𝐨𝐯𝐞 𝐰𝐢𝐭𝐡 𝐂𝐫𝐚𝐳𝐲 𝐁𝐎𝐒𝐒Where stories live. Discover now