ch64 : Kenangan

1.9K 185 28
                                    

Author PoV

Di sebuah ruangan sempit dan sederhana, seorang pria paruh baya tengah mengambil makanan yang baru saja disajikan oleh istrinya. Pria dengan bentuk wajah tegas dan memiliki kumis tipis itu menatap erat piringnya. Meski hanya lauk sederhana, dia selalu bersyukur atas nikmat yang diterimanya, lalu berdoa sebelum menyendok nasi yang terendam dalam kuah sayur bayam.

"Yah, bagaimana punggungmu?" tanya istrinya pelan.

Sang suami tak segera menjawab. Setelah menelan hasil kunyahannya, dia pun menatap istrinya lembut.

"Aku baik-baik saja, Bu. Bagaimana Raka? Apa dia masih marah?" balas sang suami lalu kembali menyendok nasi.

Ya, pria itu adalah Aji Mahendra, ayah Raka alias Zenka. Aji bertanya demikian karena seharusnya kemarin dia datang di semifinal cerdas cermat  SD tingkat kota dimana Raka adalah salah satu tim peserta. Namun karena teman sesama satpamnya cuti mendadak, dengan terpaksa Aji menggantikannya hari itu.

"Sepertinya begitu..." balas ibu Raka lalu sekali lagi memandang raut wajah Aji yang sepertinya sedang menahan sakit punggungnya.

"Sebentar lagi Raka masuk SMP. Tabungan kita sepertinya belum cukup untuk biaya pendaftaran. Tolong Ayah pikirkan lagi mengenai niatku membantu rumah tangga kita. Aku bisa membuka praktik menjahit," lanjut ibu Raka sembari merapikan taplak meja makan.

Aji menghela nafas, lalu menggeleng kecil.

"Bu, sudah tugasku untuk memikirkan semua itu. Adik Raka juga masih balita, jadi Ibu tolong mengerti dan sabar. Aku jarang bertemu dengan anak-anak. Jangan sampai mereka juga kurang mendapat perhatian dari seorang ibu," balas Aji lalu mengelap mulutnya setelah menghabiskan satu piring sarapan.

Ibu Raka mendesah lalu sedikit menunduk dengan ekspresi sedih. Melihat hal ini Aji meraih tangan istrinya dan menggenggamnya mesra.

"Ibu tak perlu cemas. Aku akan melakukan yang terbaik untuk keluarga kecil kita. Ya sudah Bu, tolong setrikakan seragam. Aku akan menengok Raka sebentar sebelum berangkat," lanjut Aji lalu berdiri dan mengecup kening istrinya.

Mereka berdua tidak sadar jika pembicaraan tadi terdengar oleh Raka dari balik sekat ruangan yang terbuat dari triplek. Mendengar ayahnya berniat ke kamarnya, Raka pun bergegas kembali ke kamarnya lalu duduk di tepian kasur. Pintu kamarnya dibiarkan terbuka begitu saja.
          
         
Tok tok tok
         
        
"Ayah boleh masuk?" sapa Aji yang berdiri tepat di bawah pintu yang terbuka.

Raka hanya mengangguk tipis, lalu beringsut ke tengah kasur dan memeluk lutut dengan memasang muka cemberut. Aji pun masuk dan duduk di tepi kasur.

"Raka, Ayah minta maaf, ya. Mau kan, Raka maafin Ayah?" ucap Aji pelan seraya mengelus rambut Raka.

Raka teringat apa kata ayahnya tadi di ruang makan. Meski Raka masih anak kecil, dia cukup tahu jika ayahnya sudah sangat bekerja keras. Raka hanya masih merasa kesal, itu saja.

"Kejadian kemarin takkan berubah kalaupun aku maafin Ayah," balas Raka seraya memalingkan wajah.

Aji tersenyum ringan.

"Memang benar, namun akan ada beberapa hal baik yang bisa dipetik jika kamu memaafkan seseorang. Raka akan menjadi laki-laki penyabar, tak mudah sakit hati, dan tidak akan tumbuh menjadi seorang yang memiliki sifat pendendam. Ayah tahu Ayah salah, jadi biarkan Ayah menebusnya. Bagaimana kalau minggu depan kita ke kebun binatang?" rayu Aji dengan nada lembut.

Mata Raka yang mulai basah karena air mata, memandang wajah ayahnya yang masih tersenyum kepadanya. Lagi-lagi Raka teringat pembicaraan kedua orang tuanya tadi.

"Yah, kenapa Ibu tidak boleh membantu Ayah? Bukankah beban Ayah akan menjadi sedikit ringan?"

Aji sedikit tersentak. Dia tahu bahwa anaknya mungkin saja mendengar percakapannya dengan ibu Raka.

"Nak... hal ini bukanlah beban, tapi merupakan tugas Ayah sebagai kepala keluarga. Jika nanti Raka sudah dewasa, ayah harap Raka akan tumbuh menjadi laki-laki yang penuh tanggung jawab."

Raka mengusap air matanya lalu menatap ayahnya lebih dalam. Kini rasa kesalnya sudah mulai berkurang.

"Jika Ayah mengizinkan ibu bekerja, Raka janji akan merawat Nares."

Raka berkata demikian karena bagaimanapun juga dia merasa kasihan dengan ayahnya. Sekali lagi Aji tersenyum tipis.

"Raka... setiap orang memiliki tanggung jawab masing-masing. Kamu masih sekolah, jadi belajarlah yang giat dan gapai cita-citamu. Mengenai niat ibumu... terus terang Ayah tak mau menambah kewajibannya. Suatu saat nanti Raka pasti mengerti," jelas Aji lalu berdiri dan berjalan keluar.

Ketika sampai di bawah pintu, Aji pun berhenti dan menoleh ke arah Raka.

"Nak, jadilah lelaki yang kuat dan buatlah ibumu bangga. Ayah berangkat dulu. Ingat, minggu depan kita ke kebun binatang, ya" ujar Aji lalu pergi meninggalkan Raka yang masih tak bergeming dari tempatnya.

"Ayah, aku berjanj..."
              
"Tuan Zen! Tuan Zen!"

"Ehh?!" Zen terlonjak dengan tiba-tiba.

Bola mata keperakannya dengan cepat mencari pemilik suara yang baru saja memanggil namanya.

"Tuan Zen, Anda tidak apa-apa?"

Zenka berkedip beberapa kali. Ternyata orang itu adalah Royse, resepsionis Millas AG.

"Rupanya hanya mimpi..." gumam Zen, lalu menatap setumpuk kertas formulir yang sedikit berserakan di depannya.

"Tuan?" sapa Royse untuk kesekian kalinya.

"Ya, Paman. Aku baik-baik saja. Ada apa?" balas Zen lalu sedikit meregangkan punggungnya.

"B-begini Tuan... hari sudah sesore ini tapi Master Rexxa belum tiba juga. Saya khawatir hari ini dia tidak ke guild petualang," jawab Royse sedikit gelagapan.

"Kalau begitu aku akan kemari lagi besok. Tolong sampaikan padanya untuk tidak membolos lagi," timpal Zen lalu merapikan tumpukan kertas itu dan memberikannya kepada Royse.

"T-tentu saja, Tuan. Saya permisi dulu."

"Ya," sahut Zen singkat.

Kini Zenka kembali sendirian di ruang Guild Master. Disandarkannya tubuh tegap itu di kursi empuk berwarna biru  tua, lalu memejamkan mata. Zenka masih ingat betul kejadian di dalam mimpi tadi... karena itu adalah hari terakhir Zenka bertemu dengan ayahnya. Detil terakhir yang Zenka ingat adalah senyuman ayahnya yang berdiri di bawah pintu kamarnya, lalu berangkat dan tak pernah kembali lagi. Sebuah senyum tipis yang mendamaikan hati Zenka saat itu.

"Ayah..." gumam Zen lalu mengepalkan tangannya erat-erat.

Sesaat kemudian Zenka kembali teringat akan kata-kata ayahnya.

"Raka... setiap orang memiliki tanggung jawab masing-masing. Kamu masih sekolah, jadi belajarlah yang giat dan gapai cita-citamu..."

Kata-kata ayahnya tersebut begitu menggelitik perasaan Zenka saat ini.

"Kini aku adalah Esper. Ayah... lalu apa bentuk tanggung jawabku?" gumam Zenka.

Mata keperakannya kini digenangi air mata...

--------------------------------------------------------------

Yoo minna, akankah hati Zen akan terketuk?

Hanya saya yang tahu :v

Arigatou




Grandia : Tale of ZenkaWhere stories live. Discover now