ch58 : Tentang Eisha Lagi

1.8K 231 63
                                    

What?! Membantai warga Aera?!

Mendengar kalimat Eisha barusan, aku kaget bukan main hingga bulu kuduk Mystic-ku berdiri tegak seolah ingin melarikan diri dari kulit putih langsatku. Apa Eisha ini seorang loli psikopat? Aku tidak akan membiarkannya. Aku tak mau punya istri seorang psikopat. Titik.

"Kenapa Sha tiba-tiba memiliki ide seperti itu?" tanyaku lalu mulai berjalan pelan untuk menyamarkan sebagian tubuhku yang cukup merinding.

Eisha pun mengimbangiku dengan langkah cepat karena kakinya yang pendek.

"Apakah Kakak mempunyai sesuatu yang disebut Menu?" tanyanya.

"Ehh?!" seruku.

Rasa kaget sekaligus lega menghampiriku. Karena semua makhluk Grandia tak memiliki fitur ini dan mereka juga tak bisa melihat layar Menu-ku, aku berpikir apakah fitur ini hanya dimiliki seorang Reincarnator. Rupanya itu benar, keraguanku sirna sudah.

"Kakak juga memiliki fitur itu. Lantas, apa hubungannya dengan inisiatif Sha untuk membantai warga Aera?"

"Berarti Kakak juga tahu jika kita ingin membeli sesuatu, dibutuhkan Shop Point, kan? Dari awal, Shop Point Sha adalah nol dan Sha tidak tahu cara untuk mengumpulkannya. Pendek kata, sekitar 3 tahun lalu Sha menyembelih seekor Chimera muda hasil tangkapan pemburu untuk dijadikan menu perjamuan dan setelahnya, Sha mendapat 500 SP. Sejak itu Sha tahu bahwa SP akan bertambah dengan membunuh," jelas Sha dengan wajah datar.

Begitu rupanya. Aku penasaran apakah isi fitur menu kami sama, namun sudahlah, anggap saja sama. Hal yang gawat ialah, karena Eisha sudah mengetahui cara untuk mendapatkan SP, aku takut dia akan rajin membunuh. Ini tak boleh dibiarkan.

"Sha sayang, daripada membantai warga Aera yang notabene adalah manusia biasa, lebih baik kita berburu monster kuat karena mereka mempunyai drop item yang lebih bagus dan SP yang dihasilkan juga jauh lebih banyak. Bagaimana?"

Entah karena kupanggil dia dengan kata 'sayang' ataukah karena ideku, Eisha tampak mengerutkan dahinya dan terdiam sejenak.

"Baiklah, Kak. Bagaimana kalau kita ke Benua Naga?" balasnya dengan ekspresi gembira.

Hahh?! Selain psikopat, apa Eisha ini loli stress?! Kenapa dia bisa mengetahui keberadaan Benua Naga?!

"Sha, di sana penuh dengan makhluk ber-level King dan Legendary, jadi sebaiknya Sha urungkan niat untuk itu. Bagaimana kalau kita ke Jurang Manta? Di sana ada banyak calon korban yang cukup ideal," jelasku sembari mencoba meraih tangan Eisha untuk kugandeng.

Tentu saja aku tak merencanakan sesuatu yang buruk. Aku hanya ingin menjaga Eisha-ku yang imut ini supaya tidak tersandung, itu saja. Namun begitu ujung jariku nyaris menyentuh tangannya...

"Tuan Zenka?!" seru seseorang.

Aku pun menoleh ke arah datangnya suara yang mengganggu itu. Tenyata dia adalah raja Senza beserta beberapa jenderal yang mengikutinya dari belakang. Dilihat dari gelagatnya, mereka tampak terburu-buru.

"Y-Yang Mulia, a-apa kabar?" sapaku seraya menarik tanganku yang hampir saja menggenggam tangan Eisha.

Sepertinya Redra dan Yang Mulia bersekongkol untuk mencegahku mendekati Eisha. Sial. Kalau begini, aku harus segera berangkat bertualang.

"Maaf, Tuan. Kami sedang ada masalah dan harus segera menyelidiki sesuatu. Mohon Tuan tidak tersinggung jika kami tidak bisa mengobrol dengan Anda," balas Yang Mulia dengan ekspresi serius, lalu pandangannya tertuju pada Eisha.

"Selamat siang, Putri. Anda cantik seperti biasanya. Bagaimana kabar Anda?" lanjutnya.

Woii!! Giliran sama Eisha, kenapa langsung beda nada bicara, hah?! Awas kau!

"Apa maksud Anda mengatakan itu?" tanyaku dengan nada mengancam, membuat Yang Mulia sedikit mundur karenanya.

"Be-begini, Tuan. Belum lama ini, ledakan aura kematian yang sangat kuat telah menyebar hingga perbatasan kota. Saya mendengar kabar bahwa aura itu berasal dari taman istana yang berdekatan dengan kamar Putri Eisha, jadi begitulah. Apa Anda mengetahui sesuatu tentang itu?" tanya Yang Mulia sembari menatapku.

Aku dan Eisha saling menatap sesaat dan aku pun tersenyum padanya, namun Eisha tak merespon sama sekali. Dia tetap mempertahankan muka datarnya.

"Putri-lah yang melakukannya, jadi tolong maafkan dia," ujarku ringan.

Mendadak Eisha menarik lengan bajuku beberapa kali. Wajahnya tampak mencemaskan sesuatu. Sepertinya dia belum siap memperlihatkan siapa dirinya yang sebenarnya.

"A-apa maksud Tuan?" sahut Yang Mulia, sedang beberapa jenderal lainnya langsung menoleh ke arah Eisha dengan tatapan tidak percaya.

"Pemilik aura kematian tadi adalah Eisha. Itu saja yang bisa kukatakan saat ini. Yang pasti, dia tidak melakukannya dengan niat buruk," balasku singkat.

Mata Yang Mulia melebar. Mulutnya gemetar, namun itu hanya sebentar.

"Begitu rupanya. Jika Tuan memang berkata seperti itu, maka itulah kebenarannya," jawab Yang Mulia lalu menatap Eisha sesaat.

"Eisha, minta maaflah sama Yang Mulia," ucapku.

"Sha minta maaf," sahutnya singkat tanpa memperlihatkan muka bersalah.

Beberapa jenderal yang masih berdiri di belakang Yang Mulia tampak marah, namun sepertinya mereka tak cukup berani untuk berkomentar, sedang Yang Mulia kembali menatapku dengan cukup tajam. Aku pun sedikit melotot padanya, seolah memperingatkan bahwa permintaan maaf Eisha harus dijawab dengan hal positif.

"Ti-tidak apa-apa, Putri. Ka-kami memaafkan Anda," balas Yang Mulia, lalu menyeka keringat yang ada di dahinya.

Untuk kesekian kalinya, aku  menyunggingkan senyuman tampanku.  Yang Mulia memang pandai membaca situasi.

"Nah, Yang Mulia, karena urusan ini sudah terselesaikan, sebaiknya para Jenderal mengecek ruang perawatan," sahutku.

Seketika, beberapa jenderal yang masih terpaku itu bergetar dan pandangan matanya tertuju tepat padaku. Ada apa ini?

Sesaat kemudian, salah satu dari mereka pun maju selangkah, lalu sedikit membungkukkan badan. Sebenarnya aku ingin menyapanya, tapi sayang sekali aku lupa siapa namanya.

"Beribu maaf, Tuan Zenka, tapi kami para Jenderal Senza tidak menerima perintah Anda, apalagi saat ini ada Yang Mulia. Mohon maafkan kami," ujarnya lalu membungkuk sekali lagi.

Mendengar hal itu, aku hanya menggaruk-garuk kepalaku sembari sedikit tertawa.
          
         
Tap tap tap
          
          
"Yang Mulia..., Yang Mulia!" seru seseorang yang ternyata adalah seorang prajurit biasa.

"Ada apa?" tanya Yang Mulia.

"I-itu..., tentara Emphira terlihat mendekat dari arah selatan dengan pasukan besar. Jumlahnya sekitar 400.000 Yang Mulia," jelas prajurit itu dengan lancar meski nafasnya masih memburu.

"Apaaa?!" seru Yang Mulia beserta para jenderalnya.

"Tuan Zen, maaf, kami mohon pamit un...."

"Tunggu Yang Mulia!" selaku.

"Biar aku dan Eisha yang mengurusnya. Anggap saja sebagai permintaan maaf karena telah membuat sedikit kehebohan di istana," lanjutku.

"T-tentu saja Tuan. Maksud saya, Anda tak perlu meminta maaf," balas Yang Mulia.

Baiklah, ini saatnya Eisha unjuk gigi.

"Sha, mari kita pergi," ujarku seraya meraih tangan kiri Eisha dan menggenggamnya.

Akhirnya aku berhasil menggandeng Eisha meski ekspresinya tetap datar.

"Kemana, Kak?" tanyanya.

"Ke perbatasan. Sha boleh mengamuk di sana," balasku sambil membayangkan hal-hal yang lebih daripada bergandengan tangan.

--------------------------------------------------------------

Yoo minna, kira-kira kaya apa amukan Eisha?

Kalo author sih, selalu kalem karena temen-temen rajin nekan tombol vote and commentnya  :v

Arigatou


Grandia : Tale of ZenkaWhere stories live. Discover now