ch52 : Bimbang

2.1K 261 96
                                    

Brukkkkk
        
         
Berbaring di kasur empuk setelah mengalami penat memang benar-benar salah satu kenikmatan dunia. Kalau dipikir-pikir, aku ini belumlah lama hidup di Grandia, namun kejadian demi kejadian yang menguras tenaga dan pikiran selalu saja menimpaku. Apa ini merupakan efek dari poin Luck-ku yang rendah?

Sampai detik ini, sebenarnya aku belum yakin mengenai keputusan spontan yang baru saja kuambil. Apakah perbuatanku kepada warga Aera tidak terlalu berlebihan? Mungkin iya, mungkin tidak. Yang aku tahu hanyalah, seharusnya mereka sudah punah diserbu kerajaan Laxium karena  bagaimanapun juga, aku ini tidak seharusnya ada di dunia ini.

Tunggu!

Aku memang tak seharusnya ada, namun bukankah pada kenyataannya aku ada? Jika dilihat dari sudut pandang mereka, bukankah aku ini secercah harapan yang secara ajaib, muncul ketika kematian di depan mata? Lalu, apa ini artinya aku tidak begitu berbeda dengan Argam?

Enak saja! Aku ini seorang Esper! Mana mungkin eksistensiku ini disamakan dengannya. Tapi, kenapa jantung ini berdetak lebih cepat? Inikah yang dinamakan rasa bersalah?

"Aaargghhhh!" aku menggaruk-garuk rambut keperakanku dengan liar.

Pusing. Ya, dengan begitu banyak pertanyaan berat seperti itu, mana mungkin seorang remaja sepertiku mampu mencernanya, apalagi jika harus memutuskan sesuatu dengan bijak.

Sebenarnya bisa saja aku mengampuni mereka. Cukup dengan merapal mantera Lifenum Solaris, semua penderitaan fisik warga Aera akan sirna seketika, namun apa yang akan terjadi selanjutnya? Apalagi aku sudah terlanjur mengatakan bahwa Eisha-lah yang akan membantai mereka di kemudian hari.

Yang jelas, prioritasku kini hanya ada satu, yaitu berkelana, berkeliling dunia bersama Rui, Redra, dan Eisha, tetapi sebelum itu aku akan melakukan sesuatu, yaitu membalas penyerang Aera.

Ya, dilihat dari zirah dan perlengkapan yang dipakai oleh mayat-mayat yang berserakan di sekitar portal Ultima Gate, aku menyadari bahwa mereka adalah tentara dari kerajaan Eowyn dan Laxium. Hanya saja, aneh rasanya jika dua kerajaan itu bersatu untuk menyerang Aera. Tentu saja aku mengetahui hal ini, karena Aera dan kerajaan Eowyn sama-sama merupakan target invasi kerajaan Laxium.

Argam. Dialah satu-satunya yang harus kubunuh, namun di atas semua itu, saat ini ada satu hal yang tidak bisa ditunda lagi, yaitu tidur.
             
              
                                 -----------
            
          
Tok tok tok
           
        
"Hoammmmzzz," lagi-lagi aku terbangun dari tidur yang kurang lelap ini.

"Siapa di luar?" tanyaku.

"Saya Redra, Master."

Hahh, aku kira itu pelayan yang memanggil untuk sarapan....

"Oke, tunggu sebentar," balasku.

Meski dia adalah seekor Mount, akan tetap terasa aneh jika aku memintanya masuk. Untuk kesekian kalinya, aku menyesal kenapa tidak memanggil Mount seorang loli Succubus mengingat kini sudah tak ada tukang ngomel seperti Lillia.

"Kenapa kau bisa menemukan kamarku?" alih-alih menanyakan kenapa dia mengetuk pintu, aku lebih penasaran mengenai hal ini.

"Asal Master masih hidup, saya bisa merasakan pancaran aura Anda dimanapun berada. Maaf jika saya ternyata mengganggu istirahat Master," ucapnya dengan halus dengan gestur tubuh berwibawa.

"Oh," sahutku singkat lalu mulai berjalan, sedang Redra mengikutiku dari belakang.

"Hahh, hawa pagi hari memang luar biasa," seruku sembari meregangkan kedua tanganku.

Saat seperti ini merupakan salah satu momen kesukaanku. Udara pagi yang sejuk tanpa sedikitpun polusi yang diiringi kicauan burung yang membuat hati tenang.

"Ehh?!" pekikku lalu menghentikan langkah dengan tiba-tiba.

"Ada apa, Master?" tanya Redra.

Kenapa aku bisa lupa? Batas waktu warga Aera, kan sudah berakhir!

"Redra, ikut aku. Wide Teleporta!"

"Baik, Master."
                
            
Syuuuuutzzzzzzzz
              
         
Kini kami berdua berada tepat di samping portal Ultima Gate, di dalam gua persembunyian warga Aera.

"Hoekkkkk!" seruku begitu melihat sesuatu yang mengerikan. Aku muntah.

Bagaimana aku tidak terkejut?! Begitu kami tiba dengan berteleport, aku langsung disuguhi pemandangan berupa gundukan kecil yang terbentuk dari puluhan ribu potongan jari tangan, lengkap dengan genangan darah dan lalat-lalat yang tak terhitung jumlahnya.

Masih dalam keadaan menundukkan kepala sembari mengusap bibir, aku mencuri pandang ke arah sekeliling. Tak kutemukan satupun mayat, ataupun potongan kaki maupun tangan. Itu artinya, tak ada seorang pun yang berani melawan Rui, meski dalam pandangan mereka, Rui hanyalah gadis kecil yang memakai lingerie hitam.

"Ada apa, Master?" tanya Redra.

"Aku tidak apa-apa. Rui, kemarilah," ucapku yang masih membersihkan sisa muntahan di tepi bibir bawahku meski rasa mual masih menggelitik.

"Saya di sini, Master," balas Rui.

"Bagaimana keadaan kakek itu?"

Aku menanyakan hal itu karena orang tua tersebut kini tak sadarkan diri dengan posisi membungkuk karena setengah badannya masih terkubur pasir segel.

"Dia hanya pingsan, Master. Apa harus saya bunuh?" tanya Rui dengan wajah tanpa ekspresi.

"Tidak perlu," sahutku ringan.

"Redra, singkirkan jari-jari itu," lanjutku yang pasti akan kembali muntah jika melihatnya lagi.

"Baik, Master. Flare Breath!" seru Redra.
          
            
Bwooosshhhh
            
          
Aku sempat melongo melihat Redra yang tetap bisa menghembuskan nafas api meski dalam wujud humanoid-nya, namun sepertinya itu wajar karena bagaimanapun juga, dia tetaplah seekor naga.

Dengan sekali hembus, kini gundukan jari itu lenyap, bahkan tulang-tulang dan genangan darah pun ikut menguap karena panasnya nafas api Redra.

"Setelah ini bagaimana, Master?" tanya Redra.

Tanpa menjawab pertanyaannya, aku berjalan mendekati kakek tua itu dan melepas segelnya. Alhasil, dia pun terjatuh dalam keadaan tak sadarkan diri, namun sebelum aku merapal mantera Heal untuk menyembuhkannya, aku melihat seseorang yang kukenal baik, sedang berdiri tegak di sisi lain Ultima Gate.

Ya, seperti diketahui bahwa portal Ultima Gate hanya bisa melakukan perjalanan satu arah. Meski  pemandangan di sisi lain portal tetap terlihat, namun jika kita sudah menyeberang, tentu takkan bisa kembali ke tempat awal.

Walau untuk sesaat aku terkejut begitu melihat orang yang berdiri di sisi lain Ultima Gate, aku memutuskan untuk mendekati portal itu, meninggalkan si kakek yang masih dalam keadaan pingsan.

Kini kami berdua berdiri berhadapan. Selisih jarak kami hanya dua langkah, namun dia hanya berdiri diam dengan ekspresi marah. Matanya merah padam dengan mulut yang sedikit gemetar menahan sesuatu dan aku tak tahu apa itu.

Karena orang tersebut tak kunjung membuka suara, sebaiknya aku saja yang memulai pembicaraan.
           
               
            
           
"Lama tak bertemu, Paman...."
        
--------------------------------------------------------------

Yoo minna, kira-kira apa yang akan dilakukan Vargas?

Kalo temen-temen sih, ga usah bingung. Tetap tekan tombol vote dan commentnya ya  :v

Arigatou

Grandia : Tale of ZenkaWhere stories live. Discover now