ch43 : Penyadaran

2.1K 310 85
                                    

Belati kecil yang digunakan Lillia sebagai senjata sekunder itu, kini tertempel di kulit lehernya. Aku yakin bahwa ancamannya benar-benar serius kali ini. Bagaimana tidak? Begitu aku melangkah maju, Lillia langsung menekan belati itu, membuat sedikit luka lecet di kulit lehernya. Apa yang harus kulakukan? Aku memang penyebab dari bencana Aera, tapi bukankah masing-masing makhluk memiliki takdirnya sendiri?

Tunggu?! Takdir. Itu dia.

"Kamu yakin ingin aku pergi?" ucapku sembari berkacak pinggang dengan gaya orang sombong.

"K-kauu?!" balas Lillia lalu menggeretakkan gigi-giginya.

"Putri, apa yang Anda lakukan?!" pekik beberapa penjaga pintu gua, lalu mendekati Lillia.

"Jangan mendekat!! Ini urusanku!" balas Lillia yang membuat langkah mereka terhenti.

"Putrii, tolong, jangan lakukan itu. Kami membutuhkanmu, Putri," seru salah seorang penjaga.

Lillia tak bergeming. Dia tetap menatapku tanpa menjawab perkataan rakyatnya.

"Ini peringatanku yang terakhir, Tuan! Pergilah sekarang juga!" seru Lillia.

Aku bisa melihat matanya semakin sembap karena menahan tangis. Baiklah kalau begitu. Dalam diam, aku melangkah maju....

"JANGAN MENDEKAT!" teriaknya. Aku terpaksa berhenti.

"Kau menutupi jalan keluarku," balasku.

Ya, karena tadi aku melakukan Blink dan berdiri di depan Lillia yang sedang berjalan masuk, otomatis aku berada di sisi dalam dari mulut gua ini.

"K-kaau?! Apa kau benar-benar tega meninggalkan kami?!"

Apa-apaan Lillia ini? Bukankah barusan dia menyuruhku pergi?! Stress!

"Kamu sungguh bodoh sekali, Sayang. Jika kamu mati, rakyatmu takkan memiliki pemimpin lagi karena aku juga tidak diterima di sini, makanya lebih baik aku pergi," aku mulai berjalan lagi dengan pelan, lalu berhenti di depan Lillia.

"Tapi ingat baik-baik perkataanku ini. Jika aku pergi, bukankah kalian semua juga akan mati di Jurang Manta yang penuh dengan binatang-binatang kuat?" lanjutku.

Lillia membelalakkan matanya untuk sesaat, lalu sedikit menunduk seperti sedang memikirkan sesuatu. Ini saatnya.
      
    
Greeeebbbbb
     
        
Aku menggenggam tangan kiri Lillia yang memegang belati itu, lalu merebutnya dengan tanganku yang satunya. Lillia tak sempat merespon dengan baik. Dia jatuh tersungkur setelah genggamanku kulepas karena dia berusaha menarik kembali belatinya.

"Kenapa kau lakukan ini, Zen?!" serunya dalam keadaan terduduk.

"Kenapa?! Kamu masih bertanya kenapa?!" seruku sembari membuang belati ini jauh-jauh.

"Kalau kamu mengakui bahwa dirimu seorang ratu, maka lihatlah kerajaan ini! Kerajaanmu lemah! Rakyatmu lemah! Dan kamu?! Kamulah yang terlemah dari semuanya! Kamu tak pantas menjadi seorang ratu," lanjutku dengan nada tegas berwibawa, membuat Lillia dan semua penjaga menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Kalau kamu sudah sedikit tenang, ijinkan aku bertemu dengan rakyatmu."

Lillia pun berdiri, lalu menoleh ke belakang, melihat penjaga gua yang memasang wajah sayu.

"Baiklah, ikuti aku," ucap Lillia sambil berjalan melewatiku.

Selang beberapa menit, di kedalaman gua yang besar ini, aku melihat pemandangan yang sungguh memilukan. Betapa tidak? Ruangan besar ini berisi kurang lebih lima puluh ribu orang yang terdiri dari orang sakit, terluka ringan maupun berat, bahkan yang terlihat sehat pun, tampak begitu takut dan sedih. Mereka semua langsung melihatku yang datang bersama ratu mereka, Lillia.

Gema cacian dan makian, mendadak bergemuruh hingga telingaku merasa sakit. Dari semua kalimat-kalimat kebencian yang mereka ucapkan, hanya satu yang membuatku marah.

Ya, hampir semua orang yang berada di sini berkata, "Pergilah, penghancur Aera!!"

Aku tak mempedulikan perkataan mereka. Aku hanya menatap Lillia, lalu mengangguk sekali. Lillia pun maju beberapa langkah ke depan.

"Rakyatku! Tuan Zen telah kembali. Sebelumnya, simpan dulu kemarahan kalian. Dia ingin mengatakan sesuatu, jadi tolong dengarkan baik-baik," seru Lillia.

Warga Aera pun mengikuti perintah Lillia, meski wajah mereka masih merah padam karena kehadiranku. Lebih baik aku mulai saja....

"Warga Aera! Aku minta maaf karena telah mengingkari janjiku untuk segera pulang dalam beberapa hari setelah Ultima Gate dibuka, namun...," aku maju beberapa langkah ke depan agar semua orang lebih jelas melihatku.

"Namun aku tak terima jika disebut sebagai penghancur Aera!!"

Seketika, teriakan kebencian kembali bergema di gua ini, bahkan ada beberapa orang yang melempariku dengan batu, tapi itu percuma. Batu-batu tersebut berubah menjadi serpihan debu begitu berjarak beberapa vali dariku.

"DIAAAMMM!!" aku pun membalasnya dengan berteriak sekuat tenaga sembari menaikkan sedikit pancaran auraku, membuat mereka terpaku untuk sesaat, lalu kembali duduk dalam keadaan takut, seperti aku hendak membunuh mereka satu per satu.

"Aku penghancur Aera?! Bodoh sekali!! Apa kalian lupa, aku ini penghuni langit?! Aku seharusnya tidak ada di dunia ini, jadi kalian seharusnya sudah punah diinvasi oleh kerajaan Laxium!! Apa kalian tahu, akulah yang membantai ratusan ribu pasukan Argam di perbatasan selatan?! Inikah cara kalian berterimakasih padaku?!"

Sontak mereka langsung terperanjat lalu menoleh satu sama lain. Tentu saja tidak ada yang tahu. Bahkan prajurit Elf dari kerajaan Eowyn pun juga tak tahu siapa penyelamat mereka.

(AN : bagi yang lupa, Zen telah membantai ratusan ribu prajurit Laxium di Chapter 20 : Amarah Zenka 2.)

"Coba aku tanya, berapa yang telah meninggal saat aku pergi? Empat puluh ribu? Tiga puluh ribu? Apa kalian tak sadar, jika dari awal aku tidak bersama kalian, kerajaan Aera sudah lenyap! Yang laki-laki akan dibunuh, orang tua dan anak-anak akan dibantai, dan para perempuannya akan dijadikan budak! Itukah yang kalian maksud dengan penghancur Aera?!"

Tak ada satupun yang menyelaku, tak terkecuali Lillia.

"Menggelikan sekali. Kerajaan kecil yang berisi rakyat bodoh dan dipimpin oleh ratu yang lemah, berani-beraninya mencaciku. Sekarang aku sadar, bukan aku yang tak pantas menjadi raja kalian...," aku kembali melangkah maju beberapa langkah sebelum menyelesaikan kalimatku.

"Tapi kalianlah yang tak pantas menjadi rakyatku."

--------------------------------------------------------------

Yoo minna, gimana, Zen udah cukup GG ga :v

Biar ceritanya makin GG, yuk tekan vote and commentnya.

Arigatou

Grandia : Tale of ZenkaWhere stories live. Discover now