ch53 : Pelajaran Dari Vargas

2.1K 274 99
                                    

Kurang lebih 30 detik telah berlalu sejak aku menyapa Paman Vargas, namun dia tak membalas perkataanku. Alih-alih membuka suara, tatapan mata Paman malah semakin tajam, tepat mengarah ke bola mataku. Aku tahu, sebagai Jenderal Aera, sikap Paman tidaklah salah. Bagaimanapun juga, aku telah dengan sengaja memperlakukan warganya dengan semena-mena.

Dengan diamnya dia, pembicaraan ini takkan mengalami kemajuan. Lebih baik aku mencobanya lagi.

"Paman, katakanlah sesuatu," ucapku dengan nada cukup lembut.

Paman pun maju selangkah. Aku bisa melihat ujung hidungnya yang cukup mancung, hampir menyentuh batas dinding portal Ultima Gate, lalu kulihat mulutnya bergerak-gerak, mencoba mengatakan sesuatu namun sepertinya suara Paman tidak bisa menjangkau telingaku.

"Ehh?!" seruku.

Astaga, ternyata kebodohanku tak kunjung berkurang. Aku lupa bahwa portal Ultima Gate ini kedap suara, jadi kami tidak akan bisa mendengar satu sama lain. Secara spontan, aku jadi menyadari bahwa mungkin karena inilah warga Aera bisa diserang secara tiba-tiba. Ya, karena penyerbuan kerajaan Elf dan Demon itu tak dapat didengar oleh mereka yang telah menyeberang ke wilayah baru Aera, maka sebuah pembantaian tidak akan terelakkan lagi.

Baiklah, kalau begitu aku akan menyeberangi portal ini.
         
        
Tap
        
       
Kini aku berdiri tepat di samping Paman. Setelah menonaktifkan Ultima Gate, aku kembali menatap wajahnya yang sedari tadi tetap teguh memancarkan kebencian.

"Apa Paman membenciku?" tanyaku memulai obrolan.

"Nak Zen..., ehm, maksud saya Tuan Esper," balasnya.

Entah kenapa, suara Paman lebih berat dari biasanya. Aku tetap diam dengan mempertahankan ekspresi wajahku yang menyiratkan rasa kasihan, menunggu Paman melanjutkan perkataannya.

"Saya tidak  mempunyai setitikpun rasa benci karena hal ini. Sebagai seseorang yang masih hidup karena Anda, tentu saya tetap berterimakasih, namun sebagai seorang Jenderal dimana warganya telah Anda siksa, tentu saya sangat ingin membalas perbuatan Anda," lanjut Paman.

Aku merasa bahwa perkataan Paman tidak seharusnya berhenti sampai di situ, namun entah mengapa dia tetap tidak melanjutkannya.

"Lalu, apa yang akan Paman lakukan? Terus terang saja, sebenarnya aku tidak tega, tapi mereka yang mencaciku haruslah diberi pelajaran," ujarku santai.

Paman Vargas terdiam sejenak. Tatapan kebenciannya memudar walau sedikit.

"Saya lega mendengarnya," balasnya.

Hehh?! Lega?!

"Kenapa Paman lega?" tanyaku dengan ekspresi bingung.

"Setidaknya sekarang saya tahu bahwa Anda tidak murni membenci kami. Saya pikir, itulah sebabnya Anda tetap menolong kami dan membiarkan kami hidup walau sebagian orang telah kehilangan jari tangannya, termasuk saya," ucap Paman seraya memperlihatkan kedua tangannya yang sesaat terlihat seperti sedang mengepal, padahal itu karena dia tak memiliki jari lagi.

"I-ituuu?" seruku.

Jadi Paman adalah salah satu orang yang terluka parah di gua itu? Pantas saja aku tak melihatnya dari awal, tapi kenapa Paman tak menunjukkan batang hidungnya saat aku menyerukan untuk memotong setiap jari tangan bagi mereka yang ingin menyeberang?

"Apakah rasanya sakit, Paman?" tanyaku.

"Kami akan bertahan, bagaimanapun kondisi kami," balasnya lalu tersenyum meski terlihat sedikit dipaksakan.

"Kenapa Paman tak berkata apapun malam itu setelah aku menyembuhkan kalian semua?"

"Saya sudah tak sadarkan diri cukup lama dan ketika mendadak pulih, saya belum bisa merespon apa yang sedang terjadi. Begitu saya hendak bersuara, Anda sudah pergi dengan teleport. Kurang lebih itulah yang terjadi," jelasnya yang sedikit membuatku menyesal.

"Paman, aku akan menyembu...."

"Jika Anda lakukan itu, saya tak punya pilihan lain selain mengangkat pedang dan menyerang Anda!" seru Paman menyela perkataanku.

"Bukankah barusan Paman bilang tidak  membenciku?" tanyaku lagi.

"Saya memang tidak membenci Anda, tapi bila hanya saya yang disembuhkan, tentu saja saya akan malu menemui warga Aera dalam keadaan hidup. Apa kata mereka nantinya?" jelas Paman.

Benar juga, warga Aera akan berpikir aku telah pilih kasih dan mereka akan ikut membenci Paman, apalagi ditambah kenyataan bahwa Paman menemuiku sendirian. Kenapa aku tak berpikir sejauh itu?!

Arrrghh, ingin sekali aku mengacak-acak rambut  karena saking pusingnya, tapi lebih baik jangan.

"Jadi, Paman mengharapku untuk menyembuhkan mereka semua?! Orang-orang yang mencaciku itu?! Lagipula, dari tadi raut wajah Paman jelas memperlihatkan rasa benci!" aku sedikit meninggikan suara.

"Itu salah. Tatapan tadi adalah tatapan seseorang yang masih tak percaya bahwa Anda cukup tega untuk memberi hukuman seperti ini. Mengenai pertanyaan barusan, apa Anda berpikir bahwa semua orang mencaci Anda? Saya jelas tidak termasuk, tapi apa yang terjadi? Saya juga terkena imbasnya, bukan? Lalu di mana keadilan dari Anda, Yang Mulia Esper?"

Pertanyaan-pertanyaan Paman kian menohok hatiku. Benar apa kata Paman, sepertinya aku terlalu kejam, namun aku adalah seorang Esper. Aku tak boleh menunjukkan kelemahanku dengan memaafkan mereka. Seperti kata kebanyakan orang bahwa hidup itu tidak adil.

"Saat Paman berperang, apakah Paman pernah memikirkan perasaan musuh? Apakah semua prajurit musuh itu jahat? Pastinya Paman tetap membunuh mereka, kan?" tanyaku.

"Sebelumnya saya ingin bertanya, apakah Anda pernah berperang?" tanya Paman balik.
        
          
Jlebbb
          
         
Aku memang tak pernah berperang, tapi bukankah itu wajar bagi eksistensi sepertiku? Kecuali Light Esper, siapa yang bisa melawanku?

"Apa hubungannya dengan itu?" tanyaku yang semakin kebingungan.

"Dalam peperangan, hanya ada dibunuh atau membunuh. Sebagai prajurit, tugas kami adalah melawan musuh sampai titik darah penghabisan, dan tugas pemimpin adalah memberi semangat dan harapan," jelas Paman lalu mendekatiku.

Kini jarak kami hanya satu langkah, dan tangan kanan Paman menepuk bahu kananku.

"Nak Zen, meski Anda seorang Esper, Anda tetap penghuni baru dunia ini. Ingatlah nasihat orang tua ini bahwa tidak ada seorang pemimpin pun yang disukai semua orang, dan itu adalah salah satu alasan untuk memberontak. Dalam hal ini, saya akui bahwa ada sebagian warga yang membenci Anda, namun mereka belumlah memberontak. Mereka hanya mengeluarkan pendapat. Oleh karena itu, Tuan..., tolong pikirkan kembali mengenai hal ini."

Paman mengejutkanku dengan mendadak berlutut setelah melepaskan tangannya dari bahuku. Apa yang harus kulakukan? Saat ini level kegalauanku sudah mencapai level Supreme.

"Paman, bangunlah. Tadi sempat kukatakan bahwa sebenarnya aku tak tega, bukan? Namun jika aku tiba-tiba datang lalu memaafkan serta menyembuhkan mereka, apa yang akan mereka pikirkan nanti? Seorang Esper yang plin-plan, mungkin?"

"Hahahaha!" Paman tertawa lepas sambil tetap berlutut.

"Nak Zen, makhluk terkuat di dunia ini ada dua macam. Satu, bila mampu menahan amarah walaupun bisa dikeluarkan. Dua, bila mampu memaafkan orang yang dibenci. Memang, Anda adalah eksistensi tertinggi, namun hanya itu. Jika Anda selalu mengeluarkan amarah dan tidak mampu memaafkan, Anda hanyalah eksistensi penebar ketakutan," jelas Paman lagi.
          
         
Jdarrrr
        
      
Sungguh kalimat yang tak bisa kujawab sama sekali. Apa aku harus melakukan hal itu? Orang seperti Paman inilah yang akan menjadi biang pemberontakan andai aku kembali menjadi pemimpin Aera karena dia bisa mempengaruhi orang lain, jadi baiklah....
        
        
         
"Paman, antar aku kepada mereka."
        
     
--------------------------------------------------------------

Yoo minna, kira-kira apa yang dipikirkan Zen, si MC lucknut itu?

Kalau temen-temen sih, ga usah mikir. Tetep tekan tombol vote and commentnya ya  :v

Arigatou

Grandia : Tale of ZenkaWhere stories live. Discover now