ch8 : Obrolan Empat Mata

4.7K 551 165
                                    

Evenstar adalah ibukota kerajaan Aera yang terletak di benua Ingram bagian selatan, tepatnya di pegunungan Albern yang selalu tertutup salju. Di benua Ingram sendiri terdapat puluhan kerajaan kecil dan hanya beberapa kerajaan besar. Itulah cerita kecil dari Lillia sembari kami berjalan menuju gerbang ibukota.

Aku hanya bingung perihal letak ibukotanya, bukankah itu terlalu mencolok? Apa mungkin karena benua ini merupakan benua damai yang hanya dihuni oleh 2 ras tinggi yang seharusnya tidak bertentangan, yaitu Human dan Dryad. Kalau hal ini, aku mengetahuinya dari Book of Knowledge.
      
       
     

                        Evenstar City             

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

                        Evenstar City
      
      

Setelah kami sampai di gerbang, Paman langsung meneriakkan identitasnya kepada beberapa penjaga dan kamipun masuk kota tanpa hambatan sama sekali.

"Bagaimana pendapatmu Zen, apa kota ini sesuai ekspektasimu?" tanya Lillia.

"Hmm, biasa saja," kataku dengan nada datar.

"Heehhh, apakah di dunia langit sungguh semenakjubkan itu?" lanjut Lillia.

"Tentu saja. Di sana banyak bangunan yang hampir menyentuh langit, kau tahu?"

Sejauh aku memandang, memang kota ini jelas kota dengan bangunan abad pertengahan. Namun aku tak merasa takjub tentang itu. Entah kenapa.

"Benarkah itu, Tuan? Lalu apakah di sana juga terjadi peperangan?" sahut Gillan.

"Peperangan juga ada, bahkan dulu pernah perang dunia 2 kali. Kami juga punya senjata yang sanggup meratakan pegunungan ini dengan sekali serang."

"Demi Esper, aku pikir aku takkan mau pergi kesana setelah mendengar ini," lanjut Gillan.

Karena perbincangan ini, tak terasa gerbang istana telah di depan mata.
Karena para penjaga melihat Lillia, merekapun langsung membukakan gerbang itu.

"Jenderal, tolong antar Zenka ke ruang tahta. Dan kalian bertiga, pulanglah. Aku yakin keluarga kalian menunggu," ucap Lillia.

"Baik, Putri!" seru 4 prajurit hebat ini.

Lillia pun berjalan meninggalkan kami, tapi tak berbicara padaku, ada apa ya?

"Mari ikuti saya, Nak," kata Paman.

Aku tak mengucapkan sepatah katapun dan mengikutinya dari belakang. Istana ini tidak begitu besar untuk ukuran istana, mungkin lebih mirip mansion bangsawan kelas atas, yang tiba-tiba membuatku ragu akan hadiah apa yang bisa diberikan Sang Raja.

Tak berapa lama kemudian, sampailah kami di ruang tahta. Hanya ada 2 prajurit di pintu depan dan 2 orang di sebelah kanan dan kiri singgasana. Paman hanya berdiri diam. Hei, bukankah di sini ada banyak kursi? Kenapa tidak menawarkan duduk? Sembari menunggu, aku bersiul menyanyikan lagu kesukaanku, namun malah dipelototi 2 prajurit penjaga singgasana, termasuk Paman. Jadinya aku diam kembali. Bosan.

Grandia : Tale of ZenkaWhere stories live. Discover now