ch51 : Penghukuman

2.2K 289 103
                                    

Saat ini aku berada di dalam gua tempat persembunyian warga Aera. Sudah setengah hari sejak portal Ultima Gate terbuka, namun masih ada beberapa ribu orang yang masih di sini karena sibuk mencari sesuatu untuk dijadikan tandu demi mereka yang terluka cukup parah.

Aku tak melihat Lillia, mungkin dia sudah menyeberangi portal. Perlu diketahui bahwa portal Ultima Gate hanya bisa melakukan perjalanan satu arah, jadi bagi yang sudah menyeberang, tidak akan bisa kembali lagi. Untunglah Lillia sudah tak ada di sini, toh aku juga tak ingin bertemu dengannya. Yang membuatku sedikit heran adalah, di mana Paman Vargas? Apa dia sudah mati, atau termasuk salah satu orang terluka parah hingga dia tak sadarkan diri? Dari sekian puluh ribu warga Aera yang tersisa, mungkin hanya Paman Vargas-lah yang masih sedikit kuhormati.

Sejak aku datang, semua orang menghentikan segala aktivitasnya. Tak ada sedikitpun gerakan. Hahh, aku mulai mengantuk, jadi lebih baik kuselesaikan ini dengan cepat.

"Karena semuanya diam, baiklah, aku tutup Ultima Gate sekarang ju...."

"Tung-tunggu, Tuan Esper!" seru seseorang yang ternyata hanyalah seorang kakek tua.

"Saya mohon, setidaknya beri kami waktu beberapa jam lagi!" serunya dengan cukup lantang meski badannya menggigil cukup parah.

Aku terdiam sejenak, memikirkan sesuatu. Sebenarnya aku tidak tega, tapi aku takkan menjilat ludahku sendiri. Baiklah, ada cara lain.

"Hei, orang tua, berdirilah di depan portal. Cepat!!" seruku.

Untuk sesaat, dia seperti kebingungan dengan perintahku, namun akhirnya dia berjalan dan berhenti tepat di depan portal. Sebenarny dia hanya butuh beberapa langkah untuk menyeberang, namun dia cukup bisa menahan diri.
          
            
'Sand Seal'
           
          
Srreeeettttt
         
          
Aku merapal segel sederhana berelemen Earth yang membuat kaki orang tua itu terkubur pasir sihir, membuatnya tak bisa berpindah tempat sejengkal pun.

"Aa-apa ini?" pekiknya seraya menunduk.

"Rui, kemarilah!"
        
         
Bwoooossshh  
          
         
"Saya di sini, Master," ucap Rui sembari berlutut.

Tanpa menghiraukan jawaban Rui, aku maju beberapa langkah.

"Warga Aera, ini tawaran terakhirku! Kalian ingin mati di sini atau menyeberang?! Jika ingin menyeberang, tentu saja ada syaratnya!" seruku yang langsung membuat ruangan ini begitu ribut.

Bukannya gaduh karena mencaciku, namun mereka saling berbicara satu sama lain, dan akhirnya....

"Tuan Esper! Apa syarat dari Anda?!" tanyanya dengan lantang.

"Oh, tidak semudah itu. Pilihlah terlebih dahulu, baru akan kuberitahu," balasku santai sembari menyilangkan kedua tanganku.

Tanpa pikir panjang, orang tadi membuka suara lagi.

"Tentu saja kami ingin menyeberang! Silakan sebutkan syaratnya, Tuan," lanjutnya lalu sedikit membungkukkan badan.

Aku tersenyum puas mendengar jawaban barusan.

"Rui, mendekatlah," panggilku seraya mengambil sesuatu dari Dimension Bag.

"Saya di sini, Master."

"Berikan belati ini kepada kakek itu dan tetaplah berdiri di sampingnya," ucapku pada Rui sambil menunjuk orang tua yang kakinya terkubur pasir segel.

Tanpa menjawab lagi, Rui menurutiku dan selang beberapa lama, kini Rui berdiri di sebelah si kakek yang memegang belati pemberianku. Ini saatnya penghukuman.

"Warga Aera! Kalian telah memilih, tapi sebelum itu," ucapku lalu mendekati Rui dan berhenti di sampingnya.
          
             
'Myth Magic : Lifenum Solaris'
           
          
Seketika kubah dinding Mana yang luar biasa besar, menyelimuti seluruh ruangan ini dan menyembuhkan ribuan warga Aera, tak peduli seberapa berat luka mereka, bahkan bagian tubuh yang hilang pun kembali seperti sedia kala.

"I-inii?!" seru si kakek yang berdiri di dekatku.

Sama seperti dia, seluruh warga Aera pun bersorak gembira sambil mengelus-ngelus bagian tubuh mereka. Raut wajah yang sedari tadi begitu memperlihatkan rasa takut, berganti dengan tawa kebahagiaan yang menggema di telingaku. Sayang sekali, bagiku itu hanyalah tawa kemunafikan. Apa kalian lupa akan segala caci maki yang kuterima? Apa kalian pikir aku sebaik itu? Jangan harap!

"DIAAAMMM!" pekikku dengan sekuat tenaga hingga beberapa batu kecil berjatuhan dari bagian atas gua.

Keheningan kembali tercipta, namun kini tak ada lagi ekspresi takut di diri mereka.

"Tak perlu berterima kasih. Sekarang, akan kuberitahu syarat apa yang harus kalian penuhi," jelasku sembari menebar pandangan ke ribuan orang yang kini dalam keadaan sehat sempurna.

"Kalian harus berbaris satu per satu untuk menyeberang..., dan kau, kakek tua, potonglah semua jari tangan dari setiap orang yang ingin menyeberang! JELAS?!" seruku.

"APAA?!!" teriak mereka secara hampir bersamaan, jadi aku mengangkat tangan kananku tinggi-tinggi untuk membuat mereka diam.

Aku pun menoleh kepada si kakek yang gemetar parah, namun sepertinya dia sanggup untuk tetap berdiri.

"Apa kalian lupa?! Kalian sendirilah yang memilih menyeberang dengan memenuhi syaratku!" lanjutku sembari mengeluarkan sedikit aura Mystic, membuat sebagian dari mereka terduduk karena tak sanggup menahan intimidasiku.

Tak ada yang berani menjawab. Apa mereka takut? Bodo amat!

"Rui, inilah tugasmu. Bagi yang tidak berbaris, potong kedua kakinya! Jika kakek itu bunuh diri atau tidak melakukan tugasnya, bunuhlah semuanya! Dan jika ada yang melawan, tebas kedua tangan dan kaki semua orang!!"

"Siap, Master!" jawab Rui dengan lantang meski suaranya terlalu imut untuk itu.

"Ingat, kuberi batas waktu sampai matahari terbit! Jika masih belum selesai, maka akan kuhabisi semuanya, termasuk yang sudah di daratan atas!" seruku lalu segera ber-teleport.
            
             
Syuuuuuuttttzzzzzzz
           
       
Kini aku berada di taman istana Senza. Yang membuatku bingung adalah, seharusnya aku merasa marah atau benci, atau emosi apapun yang membuat adrenalin di tubuhku meningkat. Alih-alih demikian, aku malah semakin mengantuk karena udara di sini ternyata lebih dingin daripada di dalam gua tadi, jadi aku pun berjalan menuju kamar.

"Hahh, semoga mereka bisa tepat waktu," gumamku.

Aku berpikir seperti itu bukan karena kasihan, tapi aku ingin agar rencana jangka panjangku berhasil.

Ya, aku ingin agar Eisha-lah yang membantai mereka di kemudian hari.
         
--------------------------------------------------------------

Yoo minna, rasanya Zen makin lama makim kejam ya. Kenapa bisa begitu?

Eh, temen-temen jangan ikutan kejam ya, tolong tetap menekan tombol vote n comment seperti biasa :v

Arigatou

          
         

Grandia : Tale of ZenkaWhere stories live. Discover now