ch42 : Kepiluan (2)

2.1K 288 104
                                    

Betapa terkejutnya diriku melihat sosok Lillia yang dari sudut pandangku, dia baru kutinggal beberapa jam ini. Tubuh langsingnya sekarang berubah menjadi kurus kering. Raut wajahnya sayu, rona kemerahan bibirnya memudar, seperti tak terawat sama sekali. Rambutnya yang terurai bebas tanpa satupun pita terpasang, sedikit berkibar diterpa angin hingga memperlihatkan salah satu sudut matanya yang memerah darah, seperti telah dihantam sesuatu dengan begitu kuat. Sungguh menyedihkan. Apa yang telah negeri ini alami sampai-sampai seorang Enchantress ber-level Ancient seperti Lillia, memiliki tubuh penuh luka?!

Kini Lillia berdiri di depanku, menatapku seperti aku ini seorang penjahat dan dalam keadaan berlutut, aku memberanikan diri untuk membuka suara.

"Aku pulang, Lillia," ucapku pelan.

"Pulang?! Jadi Anda masih merasa bahwa ini adalah rumah Anda?!" seru Lillia sembari mengeluarkan Staff-nya.

"Tuan Zenka! Anda tak lagi diterima di sini. Cukup! Pergilah sekarang juga!" lanjut Lillia sambil mengangkat Staff-nya.

Respon Lillia sungguh di luar dugaanku. Tuan Zenka?! Barusan Lillia memanggilku Tuan Zenka?!

"Aku minta maaf, Lillia. Aku bisa menjelas...."

"Aku bilang, cukup! Aku bukan Lillia-mu lagi, Tuan Zenka! Segala penjelasan Anda takkan mengubah apapun!" pekiknya.

Aku terdiam. Bingung. Meski samar-samar kulihat mata kecoklatan Lillia mulai dibasahi air mata, sorot matanya kian tajam menusuk hati ini. Aku tak sanggup membalas perkataannya. Lillia benar, akulah penyebab kehancuran Aera. Ini bukan salah siapa-siapa, tapi salahku. Akulah yang memilih pergi.

"Hoo, rupanya Anda sudah sadar. Kalau begitu, pergilah sekarang. Anda bebas. Itu kan, yang Tuan mau?!"

Aku tak kuat lagi menerima perkataan Lillia. Apa aku harus pergi? Ataukah aku harus tetap bertahan di sini meski dibenci? Perlahan aku berdiri dan mendekati Lillia....

"Lillia, setidaknya sebelum aku pergi, aku ingin menjelaskan apa yang telah kualami," aku berjalan mendekati Lillia, namun dia meresponnya dengan mundur beberapa langkah.

"Yang Anda alami?! Lihatlah diri Anda, Tuan yang terhormat! Apapun yang telah terjadi pada Anda, buktinya Anda datang dengan keadaan sehat! Apa yang Tuan banggakan dengan itu?! Apa Tuan tidak melihat kami?! Puluhan ribu penduduk Aera telah tiada! Itu karena siapa, hah?!"

Lillia tak sanggup lagi menahan airmatanya. Dia menangis namun tetap mempertahankan tatapan kebenciannya.

"Apa Tuan tahu, betapa besarnya harapan kami agar Anda pulang waktu kami diserang?! Apa Tuan tahu, betapa rindunya saya akan kehadiran Anda?! Apa Tuan tahu, sebagai calon istri yang begitu mencintai Anda, saya rela mati puluhan kali demi Anda?! Sudah cukup kami menggantungkan diri pada Anda, Tuan. Anda tak pantas menginjakkan kaki di negeri yang berduka karena Anda!" seru Lillia dengan suara serak karena sambil menahan tangis.

"Lillia, sebentar saja, aku bisa menjelaskannya," sahutku.

Setelah mengusap airmata yang makin membasahi pipinya, Lillia mendekatiku....

"Tuan, cukup. Andai saja saya bisa membunuh Anda, tentu akan saya lakukan sekarang juga. Hati ini memang masih mencintai Anda, namun itu tidak sebanding dengan apa yang negeri ini alami. Empat puluh ribu rakyat saya, meninggal karena Anda meski secara tidak langsung. Bisa Anda bayangkan betapa banyaknya itu? Bahkan saya bersedia mati sebanyak empat puluh ribu kali jika itu bisa menggantikan hidup mereka. Jadi tolong, Tuan penghuni dunia langit..., pergilah, dan jangan sampai saya melihat Anda lagi," Lillia menutup ucapannya dengan berbalik, lalu berjalan masuk ke arah gua.

"Lillia!! Lillia!! Tolong, dengarkan penjelasanku!" aku berniat menyusulnya, namun beberapa penjaga menghentikanku dengan menodongkan tombaknya ke arah leherku.

"Tuan. Silakan pergi," ucap salah satu penjaga.

"Aku takkan pergi. Aku akan tetap di sini sampai Lillia mendengarkan penjelasanku," balasku, lalu merapal mantera Blink dan kini aku kembali berdiri di hadapan Lillia.

"Aku takkan pergi, Lillia. Aku yakin di dalam ada banyak orang terluka. Setidaknya ijinkan aku mengobati mereka," aku berusaha membujuknya.

Namun hal tak terduga terjadi. Lillia memelukku. Wajahnya dia sandarkan ke bahuku diiringi isak tangis yang semakin menjadi-jadi.

"Zen, tolong, kali ini turuti permintaanku. Pergilah, kami tak membutuhkanmu lagi," ucapnya pelan.

Aku pun membalas pelukannya dengan dekapan lembut.

"Lillia, aku takkan meninggalkanmu lagi...."

"Zen, pergilah," balas Lillia yang kemudian melepas pelukannya.

"Kami akan baik-baik saja tanpamu, Zen. Sebagai wanita, aku memaafkanmu, namun sebagai ratu kerajaan Aera, aku mohon, pergilah. Kamu tak layak menjadi warga Aera," tatapan mata Lillia kini berubah drastis. Aku tak pernah tahu bahwa sebuah tatapan bisa membuatku begitu sedih dan hampa.

"Lilli...."

"BERHENTILAH BERUSAHAAA!!" mendadak Lillia berteriak sekuat tenaga.

"Apa kamu tak sadar, kehadiranmu akan melukai hatiku dan seluruh warga Aera?! Kami akan selalu mengingatmu sebagai simbol kehancuran negeri ini!!" lanjutnya.

Meski tercekat dalam kepedihan karena perkataan Lillia, kali ini aku memutuskan untuk tetap berada di sini. Di Aera. Di samping Lillia.

"Lilli...."

"Apa kamu tak mendengarku, Zen?!" lagi-lagi Lillia menyelaku dengan suaranya yang semakin serak, seperti kehabisan nafas.

"Aku memang tak bisa membunuhmu. Namun jika kamu tetap bersikukuh ingin tetap di sini, maka...,"
       
        
Sriiiiiinnnngggggg
        
        
Lillia mencabut belati yang tersarung di pinggang kirinya, lalu meletakkan belati itu di lehernya sendiri.

"Lillia, apa yang kau lakukan?!" aku berusaha mendekat namun Lillia melompat mundur sejauh beberapa vali.

"Kau yang pergi, atau aku yang mati?!"

--------------------------------------------------------------

Yoo minna, kira-kira apa yang akan dilakukan Zen?

Kalo Author sih, akan tetap menghimbau temen-temen untuk menekan tombol vote and commentnya.

Arigatou.







Grandia : Tale of ZenkaWhere stories live. Discover now