ch44 : Multi Class

2.2K 316 124
                                    

Kematian adalah takdir. Memang, di Grandia tidak ada dewa, namun bukan berarti dunia ini lepas dari takdir. Para dewa hanya tidak memperkenalkan eksistensi mereka, setidaknya belum. Dan sekarang ini, aku disalahkan atas kehancuran kerajaan Aera. Apalagi setelah aku mengatakan bahwa mereka tak pantas menjadi rakyatku, raut wajah mereka pun berubah drastis.

"Apa yang Anda katakan?! Sejak kapan rakyat menjadi tak pantas bagi rajanya?!" seru seseorang, memecah keheningan.

"Benar!! Kami memang lemah karena kami hanyalah rakyat! Anda juga tak berhak menghina putri kami!" seru seorang lainnya, lalu diikuti teriakan-teriakan yang tidak jelas kudengar karena saking berisiknya.

Aku menoleh ke arah Lillia yang sedari tadi hanya diam. Dia menatap wajah rakyatnya dengan mata berkaca-kaca, namun tak berani merespon perkataanku maupun teriakan rakyatnya. Benar-benar ratu yang lemah.

"Sejak kapan?!" pekikku.

"Semua orang memang bisa menjadi rakyat dan siapapun juga bisa menjadi raja! Pertanyaannya adalah, apakah orang itu bisa menjadi rakyat atau raja yang baik?!" aku mengedarkan pandanganku ke semua orang, menunggu respon mereka atas pertanyaanku, namun tak ada jawaban.

Sudah kuduga.

"Meski separuh penduduk Aera mati karena ketidakhadiranku, aku ini tetap penyelamat bagi kalian yang masih hidup! Sekarang aku tanya pada kalian semua. APA KALIAN PERNAH MATI?!" aku sengaja meninggikan kalimat terakhirku untuk memancing respon mereka.

Namun tetap tak ada jawaban sama sekali. Mereka hanya membelalakkan matanya karena pertanyaan anehku barusan.

"Benar. Tak perlu menjawabnya, bukan?! Tentu saja kalian belum pernah merasakannya. Sedang aku?! AKU SUDAH MATI DUA KALI!!" pekikku lagi.

Kali ini mereka meresponnya dengan berbisik-bisik, seolah tak percaya dengan apa yang kukatakan. Sedang Lillia? Mendadak dia jatuh terduduk dengan kedua tangannya menutupi mulut.

"Kalian tidak percaya, bukan? Baiklah, aku akan menunjukkan sesuatu...," lanjutku lalu membuka Shop Menu, mencari Item yang bernama Orb of Truth.

Orb ini biasanya digunakan untuk menginterogasi seseorang. Jika orang itu berbohong, maka bola Orb akan mengeluarkan cahaya berwarna merah, dan jika orang tersebut jujur, maka akan berwarna putih.

Namun ketika aku membuka Shop Menu, aku terperanjat setelah melihat keterangan yang tertera di pojok kanan bawah layar. Ya, aku melihat bahwa Shop Point-ku sekarang sudah mencapai 560.000SP. Sejak kapan aku memiliki Shop Point sejumlah itu?! Apa karena beberapa Chimera yang kubunuh tadi?!

Tiba-tiba sebuah ide terlintas di otakku. Aku pun membeli sesuatu yang sejak hari pertama, selalu kuimpi-impikan. Ya, aku selalu bermimpi menjadi seorang Multi Class.

Ini dia....


Trrrriiiinnngggggg


              Seketika, pentagram sihir muncul di bawah kakiku dan aura berwarna hijau keemasan perlahan menyelimuti tubuhku, bercampur aura perak yang menjadi khas seorang War Mage

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Seketika, pentagram sihir muncul di bawah kakiku dan aura berwarna hijau keemasan perlahan menyelimuti tubuhku, bercampur aura perak yang menjadi khas seorang War Mage. Selang beberapa detik kemudian, kepalaku sakit karena menerima ingatan dari Class yang barusan kubeli, jadi aku langsung melawannya dengan merapal mantera Pain Resistance.

Begitu proses penambahan Class selesai, semua orang makin terbelalak dan menganga, tak terkecuali Lillia. Dia pun berdiri dan mendekatiku.

"Z-Zen, sebenarnya apa yang ingin kamu perlihatkan? Bukankah barusan adalah ritual kontrak kepemilikan Class?" tanya Lillia.

Jelas saja mereka bingung. Di dunia ini, tak ada satupun teori bahwa seseorang akan bisa mempunyai Class lebih dari satu. Di Grandia, seandainya seorang Mage mengambil syarat untuk menjadikannya seorang Ranger lalu menggunakannya, maka status Class Mage-nya akan hilang, dan berganti dengan Class Ranger.

Aku tak merasa perlu menjawab pertanyaan Lillia yang sepertinya juga menjadi pertanyaan semua orang di sini, jadi aku mengambil sesuatu yang kusimpan di Dimension Bag, dan itu adalah Ken no Owari, pedang hitam yang berasal dari pengorbanan Gran.

"Pe-pedang apa itu?!" seru Lillia yang mendadak mundur beberapa langkah, mungkin karena aura kegelapan yang dipancarkan oleh pedang hitam ini.

Dengan tetap diam, aku menancapkan pedang hitam ini di tanah, lalu mengambil sebuah Item lagi dari Dimension Bag-ku, yaitu Orb of Identity. Persiapan selesai. Ini saatnya.

"Warga Aera, kini lihatlah aku!!" seruku sembari memegang erat Orb of Identity di tangan kananku.


'Status'


Name : Zenka
Race : Mystic Human
Gender : Male
Age : 17
Level :Mystic
Class : Berserk Mage
Hp : 8.000.000 (+2000%)
Mp : Unlimited
P.Attack : 1.800.000 (+2000%)
M.Attack : 5.200.000 (+2000%)
Deff : 1.200.000 (+2000%)
Agi : 1.400.000 (+2000%)
Critical : 100%
Luck : -458
Element : Fire, Water, Wind, Earth, Void, Darkness
Magic : All Spells
Skills : Teleportation, Ultima Heal, Dimensional Bag, Blink, Shadow Cut, Intimidation, Telepathy, Phantom Slash, Appraisal, Instant Learning
Passive Skills : All Resistance +50%
Ultimate : Black star, Ultra Graviga, Void Energy, Infinite Chaos
Title : Void Esper


Semua orang yang melihat layar statusku, bergidik ketakutan. Seluruh tubuhnya merinding seolah melihat kematian sedang berjalan menghampiri mereka, termasuk Lillia.

"Inilah aku yang sekarang! Zen, seorang Berserk Mage sekaligus penyandang gelar Void Esper!!" pekikku yang membuat mereka semakin hanyut dalam ketakutan.

Wajar mereka memasang ekspresi seperti itu. Meski eksistensi Esper adalah sesuatu yang sudah jutaan tahun tidak memperlihatkan wujudnya, namun sejarah menceritakan bahwa sosok Esper adalah penjaga keseimbangan dunia. Satu sebagai simbol kehancuran dan yang satunya sebagai simbol kelahiran kembali.

Ekspresi mereka kini lebih mirip mayat hidup, seperti meyakini bahwa aku ini merupakan seorang Esper ketiga yang disebut Void Esper, sang pembawa kegelapan.

"I-ituu?!" sahut Lillia dengan wajah ketakutan luar biasa. Matanya sayu seakan tahu bahwa dia akan segera mati.

"Dengarkan aku sekarang, wahai makhluk hina!! Kalian pilih mati kubunuh, atau aku pergi dan meninggalkan kalian untuk mati di tempat ini?!" seruku.

Tak ada seorang pun yang berani menjawab, maka aku berpaling dan menatap Lillia, berharap agar dia menjawab pertanyaanku, mewakili seluruh rakyatnya, namun tak terjadi apapun. Mereka lebih mirip mayat hidup.

"Lillia Barthram! Sebagai ratu Aera, apa keputusanmu?!" aku terpaksa mengulang pertanyaanku.

"Tu-tuan..., sebelum i-ituu, bukankah se-seharusnya Anda menjadi raja ke-kerajaan i-ni?!" tanya Lillia dengan tubuh gemetaran.

"Apa kamu tidak melupakan sesuatu, Yang Mulia Ratu?!" sahutku dengan nada sombong.

"A-apa maksud A-Anda, Tuan?" balasnya.

Aku pun berjalan mendekatinya lalu berkata,

"Kamu bukan Lillia-ku lagi."

--------------------------------------------------------------

Yoo minna, dua pilihan yang sungguh sulit buat penduduk Aera, bukan?

Kalau buat temen-temen, mudah kok. Pilih vote aja, comment aja, atau dua-duanya?

Arigatou

Grandia : Tale of ZenkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang