ch34 : Ruang Hitam (1)

2.4K 301 143
                                    

Kriiikk

Kriiikk

Kriiikk
 
   
"Barusan Anda bilang apa, Tuan?" pipi Orden mendadak sedikit merona.
   
    
Jdarrrrr!!
     
   
Tanpa sadar bulu kudukku merinding melihat perubahan gestur Orden. Apa dia lelaki 'setengah matang' ?!
  
"Eh, barusan aku cuma memujimu karena yang kulihat, kelebihanmu cuma itu dan tidak lebih. Tolong jangan baper," ucapku.

"Baper?" Orden sedikit memiringkan kepalanya.

Woi, kau itu laki-laki gagah, ga cocok miringin palaa!!

"Jangan bahas ini lagi!" seruku.

"Kenapa, Tuan?" tanyanya dengan muka datar.

"Berisik. Aku masih normal. Kenapa mukamu memerah, hah?!"

"Oh, ini, saya hanya merasa senang, Tuan. Bahkan Ayahku selalu menjelek-jelekkanku di depan saudaraku yang lain," lanjut Orden.

"Jadi kamu normal, kan?" tanyaku.

"Hahaha, tentu saja, Tuan. Bahkan di kerajaan ini saya berpredikat sebagai Pangeran Kenangan," ucapnya dengan bangga.

"Pangeran Kenangan, maksudnya?"

"Sudah tak terhitung lagi para Elven yang sudah saya tiduri. Pedoman saya adalah, saya tidak mau meniduri Elven yang sama, dua kali, meskipun mereka memaksa saya melakukannya. Itulah sebabnya saya dijuluki Pangeran Kenangan, Tuan," jelasnya.

( AN : Elven adalah kaum elf perempuan )

Dengan mata yang mendadak berkaca-kaca, aku mengacungkan jempolku.

"Sensei memang ikkemen sejati...." ucapku.

Harem memang menjadi salah satu tujuan hidupku di dunia ini, namun sesama lelaki jelas aku tak sudi. Untunglah Orden tidak seperti itu.

"Kenapa dengan mata Anda, Tuan?" tanyanya.

"Tidak ada apa-apa," aku mengusap mataku beberapa kali.

"Orden, bagaimana dengan Rui? Kamu bisa melepaskannya, kan?"

"Baiklah, tolong ikuti saya, Tuan," balas Orden dengan wajah berbinar-binar.
    
                             -------------
    
     
"Rui!!" panggilku yang melihat Rui tengah duduk sembari mengasah pedang dengan kukunya.

Kami tiba di kamar 'penjara' tempat Rui ditahan. Ruangan kecil yang hanya berisi satu kasur, satu meja, dan tanpa kursi.

"Saya di sini, Master," balas Rui yang langsung berlutut setelah melihatku.

"Misimu berhasil. Pergilah. Aku akan memberimu hadiah nanti."

"Terima kasih, Master," Rui pun langsung menghilang bagai teman ditagih utang..
     
   
"Orden, bagaimana sekarang?" tanyaku.

"Tuan kembalilah ke rumah yang tadi. Saya akan memanggil Ayah dan membawanya ke sana."

"Hehh?! Bukankah dia seorang raja? Kenapa kamu yang menjemputnya?" tanyaku.

"Di sini tidak ada istana, Tuan. Kediaman kami tetaplah sebuah rumah pohon, namun paling besar di kerajaan kecil ini. Saat ini Ayah sedang berburu, mungkin sebentar lagi dia pulang dan rumah pohon tempat kita berbicara tadi adalah yang terdekat dengan gerbang masuk kerajaan kami," jelas Orden.

"Begitu rupanya, baiklah, aku akan kesana sendiri," balasku.

"Hati-hati, Tuan. Saya pamit dulu."

Aku mengangguk sekali dan Orden pun meninggalkanku.

Setelah aku keluar dari rumah 'penjara' ini, pemandangan kerajaan Froyyo yang sedari awal kurang kuperhatikan, kini tampak lebih indah.
     
      
      
      
     

Grandia : Tale of ZenkaWhere stories live. Discover now