ch45 : Pertukaran

2.4K 314 235
                                    

Inikah akhir dari kisahku bersama Aera? Sebenarnya aku tak tega, namun melihat sifat mereka yang seperti itu, sungguh membuat hati ini sedih. Sedang Lillia yang seharusnya mendukungku, dia malah 'bersekongkol' dengan rakyatnya dan ikut mencaciku.

Bagaimanapun juga, aku ini masih berjiwa remaja jomblo berusia 17 tahun. Aku belum memiliki pengalaman apapun dalam hal percintaan, apalagi kenegaraan.  Mungkin sebaiknya kuakhiri saja hubunganku dengan Lillia.

Dunia ini terlalu luas bagi eksistensi seperti diriku untuk terpaku pada satu wanita. Lagipula, yang paling merasa sakit bukanlah orang yang ditinggalkan atau yang meninggalkan, karena yang paling sakit adalah mereka yang tak pernah memiliki.

Saat ini, begitu Lillia mendengar pernyataanku, dia sedikit melotot dengan mata berkaca-kaca, seolah tak mempercayai pendengarannya sendiri.

"A-apa kamu serius, Zen?" tanyanya, lalu berdiri dan mendekatiku.

"Tentu saja. Bukankah kalian semua juga serius mencaciku? Apa kamu pikir, kerajaan lemahmu itu bisa menghinaku sedemikian hebatnya, dan tetap selamat?! Apa kamu pikir, aku ini maha pemaaf?!" tanyaku balik, meski itu hanya pertanyaan retorika.

Setelah melontarkan pertanyaan yang tak mampu dijawab oleh Lillia, akupun kembali berbalik, menghadap ke kerumunan penduduk Aera. Menyedihkan sekali orang-orang itu. Padahal beberapa menit yang lalu, mereka sangat berapi-api saat mencaciku, tapi sekarang ini mereka lebih mirip sekumpulan ayam yang yang hendak dipotong satu per satu oleh sang penjagal. Meski ada sedikit suara berisik, tak ada satupun yang berani mengutarakan pendapatnya dengan lantang. Inilah kenapa mereka kusebut rakyat yang tak berguna. Tolol.

Mulai saat ini, detik ini, aku tak mau lagi direndahkan.

"Warga Aera sekalian! Sudahkah kalian memilih?! Atau aku sendiri yang memilihkannya untuk kalian?!" seruku yang membuat mereka kalang kabut dan serentak mundur, berdesak-desakan.

Tiba-tiba Lillia berjalan maju, melewatiku, lalu merentangkan kedua tangannya di hadapanku.

"Zen! Jika kamu memang ingin mengakhiri hubungan kita, maka baiklah, tapi jangan sakiti rakyatku!" pekiknya.

Aku tertawa sebentar, lalu mencabut pedang hitam yang tertancap di tanah.

"Hoo, kata siapa aku ingin menyakiti mereka, Lillia?! Aku ingin kalian semua mati!!" seruku sembari sedikit mengeluarkan aura kegelapan.

"Tunggu dulu, Zen! Bu-bukankah tadi kamu menawarkan dua pilihan?! Tolong, biarkan kami memilih. Tolong!" sahut Lillia dengan nada memelas, lalu berlutut di hadapanku.

Puluhan ribu makhluk hina yang berada di belakang Lillia, tak mampu melontarkan sepatah kata pun, bahkan berbisik saja, mereka tak berani. Menjijikkan.

"Baiklah, kalau begitu, apa keputusanmu, Yang Mulia Ratu?" tanyaku sembari menurunkan kembali pedangku.

"Tinggalkan kami. Tapi sebelumnya, tolong..., ijinkan kami hidup di daratan atas, bukan di sini."

"Jadi, alih-alih kalian mati, aku malah memberikan kalian kehidupan di tempat baru?! Enak saja!" seruku.

"Ka-kalau begitu, setidaknya bunuhlah aku, tapi kirim kembali rakyatku ke daratan atas. Tolong, Zen," kini nada bicara Lillia semakin memelas, membuatku tak tega.

Bagaimanapun juga, Aera merupakan peradaban pertama yang kukunjungi di dunia ini. Apakah aku harus mengampuni mereka? Tidak, tidak. Tidak semudah itu.

"Hmm, dari awal, kamu tidak menyebut nama Eisha. Apa kamu melupakan adikmu sendiri, Lillia?" tanyaku.

"Tentu aku ingat, namun dia berada di tempat yang aman, jadi biarlah," jawabnya singkat, padat, bodo amat.

"Begini saja. Aku akan mengirim kalian semua ke daratan atas, tapi Eisha akan ikut bersamaku. Bagaimana, Lillia?"

Sontak Lillia terkejut, tapi sepertinya dia mampu mengendalikan diri dan kembali bersikap tenang dalam beberapa detik.

"Kamu mengatakan 'ikut', berarti Eisha tetap hidup, bukan? Jika benar demikian, aku setuju. Asal adikku hidup, di manapun dia berada, itu tidak menjadi masalah," jawabnya.

"Benar, tentu saja aku akan merawat Eisha dengan baik, tapi ingat baik-baik apa yang akan kukatakan ini, Lillia," aku maju beberapa langkah dan berhenti tepat di depan Lillia.

"Jadilah kuat. Latihlah pasukanmu, karena di masa depan, bukan aku atau negara lain yang akan menghancurkan Aera," ucapku.

"Apa maksud perkataanmu barusan? Apa kamu benar-benar membenci kami?  Lagipula, tentu aku dan pasukan lemahku akan berusaha menjadi lebih kuat, namun siapa yang akan menghancurkan kami? Apa kamu bisa membaca masa depan?" tanya Lillia dengan wajah kebingungan.

"Aku tidak membenci kalian, tapi sebagai salah satu eksistensi tertinggi di dunia ini, aku tak bisa dan tak mau direndahkan. Mengenai masa depan, selain dewa, tentu tidak ada satupun makhluk yang bisa mengetahuinya," aku sengaja menutup kalimatku di tengah jalan, mengharap respon Lillia.

"De-dewa? Siapa itu dewa? Tapi yang lebih penting lagi, aku, sebagai ratu Aera, mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya pada Anda, sang Void Esper. Tolong ampuni kami."

Begitu Lillia menyelesaikan kalimatnya, dia bersujud di hadapanku dan rakyatnya pun melakukan hal yang sama.

"Tolong ampuni kami, Esper Zen!" serentak puluhan ribu makhluk rendahan itu, meneriakkan kalimat yang sama.

"Bangunlah kalian semua!! Bukankah sudah ditetapkan bahwa pengampunan negeri ini telah ditukar dengan Eisha?! Lagipula, beberapa tahun setelah hari ini, kematian akan menjemput Aera. Aku sudah memperingatkan kalian, jadi bersiaplah!"

Kali ini rakyat Aera saling berbisik-bisik dengan orang di sampingnya dalam keadaan bersujud. Sedang Lillia, perlahan dia berdiri lalu menatap mata biru keperakanku.

"Apa ini pernyataan perang, Zen?" tanyanya.

Aku sedikit kaget mendengarnya. Pertanyaan yang bodoh.

"Pernyataan perang? Sebagai seorang ratu, apa kamu tidak mengerti arti kata perang? Perang merupakan aksi dua kelompok atau lebih, untuk memperebutkan dominasi. Aku tidak ingin berperang dengan kalian. Aku hanya memperingatkan bahwa nanti ada seseorang yang akan menjadi malaikat maut untuk melenyapkan Aera dari catatan sejarah."

"Lalu, siapa orang itu?" tanya Lillia lagi.

"Apa kamu yakin ingin mengetahuinya?" sahutku.

Lillia tidak mengucapkan sepatah kata pun dan hanya mengangguk sekali, dengan mantap.

"Yang akan menghancurkan kalian adalah..., Eisha."

--------------------------------------------------------------

Yoo minna, apa benar sang penghancur Aera ternyata adalah Eisha si imut yang greget itu?

Biar ceritanya makin greget, yuk tekan vote and commentnya

Arigatou




Grandia : Tale of ZenkaWhere stories live. Discover now