Rayyan memandangi video itu sebentar, lalu memandangi foto penge-share-nya. Lelaki berkulit cokelat dengan wajah yang tampan. Meski pernah Rayyan menggodanya dalam wujud Raisyo, dan meminta lelaki ini mengganti foto profilnya, ia belum pernah mengganti fotonya sampai saat ini. Rayyan bohong ketika itu. Lelaki ini, dilihat dari sudut mana pun, tetap tampan. Mungkin sehari saja mereka tidak bertemu, lelaki ini sudah mendapatkan banyak surat cinta dari gadis-gadis, atau lelaki lain.

Rayyan yang tidak pernah cemburu, merasa harus cemburu.


Baby, Akang, Shou, ....

Sudah hampir satu bulan setengah.

Enam minggu.

Sudah lewat satu purnama sejak kita bicara di atas jembatan layang tempat orang pacaran.

Saya masih ingat wangi gorengan abang cilok yang menguping pembicaraan kita.

Shou,

Apa kamu mau kita berdiam-diaman hingga seribu purnama seperti di film Kamu itu Jahat?

Kalau ya, saya ikhlas, menerima.


Pesan WhatsApp yang barusan Rayyan kirim pagi ini, sebelum ia beranjak dari ranjang dan pergi mandi. Beberapa jam lagi, ia mungkin akan berjumpa dengan lelaki itu di kelas sebagai dosen. Rayyan tak boleh tersenyum, tak boleh menyentuh. Lelaki itu adalah mahasiswa yang mesti ia jaga, ia sayang, sebagaimana dosen kepada mahasiswanya.

Di luar itu semua, Rayyan cuma boleh berkhayal diam-diam ketika ia mengajar gambar di kelas. Ia mungkin akan membayangkan pensilnya bergerak seperti jari. Bayangkan pensil itu mengukir kertas gambar sebagaimana jarinya pernah menyentuh kulit Shouki di kamar ini. Ia bayangkan kertas itu berkerut seperti wajah Shouki yang merem melek enak.

Apa boleh buat. Meski Rayyan sedih, ia masih ingin menghibur diri dengan berpikiran kotor seperti ini. Mohon maaf.

Rencana berkhayal kotor ini langsung tersapu bersih saat Rayyan selesai mengguyur wajah dan rambutnya. Efek baru bangun tidur mungkin sedikit membuatmu tenang, tetapi setelah mandi, realitas kembali datang. Rayyan duduk di kursi makan, memandangi kotak take away dari restoran siap saji yang ia pesan via ojek online.

Makanan itu terasa hambar di lidah Rayyan jika ia membayangkan lelaki itu memasak.

Lelaki itu pernah memasak makanan lezat di dapur ini untuk makan siang Rayyan. Lelaki itu juga pernah duduk di belakang meja makan ini, menelan sarapan nasi goreng yang pernah Rayyan masakkan untuknya. Bohong, Rayyan Nareswara tidak bisa memasak. Ia membelinya di restoran. Lelaki itu tahu Rayyan berbohong, tetapi hanya tersenyum ikhlas, lalu makan dengan lahap.

Ini konyol.

Rayyan sudah menyentuh banyak hati dan tubuh sebelum ini. Setiap kali mereka atau dirinya yang pergi, tak pernah satu kali pun Rayyan merasa kecewa dan menyesal. Bahkan sebagian dari mereka meninggalkan karya yang Rayyan pajang dengan cukup cueknya di ruang tamu, misalnya lukisan kontemporer dari Zena.

Biasanya ia tak pernah memikirkannya. Toh, mereka cuma bersenang-senang. Rayyan tak peduli mereka datang atau pergi kapan saja.

Kali ini, sudah enam minggu lewat dan ia masih belum bisa melupakan Shouki Al Zaidan.

Shou tak meninggalkan karya atau apa pun di tempat itu, tetapi malah membawa pergi hati Rayyan Nareswara.

Ada sedikit rasa penyesalan di benak Rayyan. Mestinya ia tidak mengundang Shou datang ke apartemennya, walau hanya sekali, tetapi tak bisa mudah dilupakan. Setiap sudut apartemennya sendiri mengingatkan Rayyan akan sosok Shouki Al Zaidan, yang tiba-tiba muncul dengan senyum yang polos, sambil membawa sajadah atau peci, dan bertanya, "Pak, kiblatnya ke arah mana, ya? Saya mau salat."

GEBETANKU BANCI ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang