13. Cyduk-Cydukan (part 1)

13.6K 1.6K 443
                                    


Ia bersepatu hak, yang ketukannya kasar sehingga membuat rambut panjangnya berayun ke depan. Pundaknya lebar dengan lengan berlekuk otot. Celana jeans beraksen sobek sepanjang betis dan paha membungkus kaki, dipadu atasan kaus berenda. Bibirnya mengilat dan alisnya telah dilukis rapi. Ia mengenakan kacamata gelap, tetapi Shou bisa melihat sepasang mata kesukaannya bersembunyi di sana.

Raisyo tertunduk dan tergesa keluar dari toilet. Di tangannya terdapat pemantik, ia sibuk merogoh tas mencari sesuatu. Saat mendongak, ia mematung, diam menatap Shou berdiri mencegat di depan pintu.

Shou tersenyum, menyodorkan sebungkus rokok yang sebelumnya terjatuh di kelas.

"Ini yang kamu cari?"

Raisyo tenang.

Pada pantulan bulat kacamata hitam Raisyo, Shou melihat pantulan wajahnya sendiri yang tengah berdebar. Dia berusaha menembus lapisan kaca itu untuk bisa menangkap mata Raisyo, ingin bisa menghipnotis, tetapi malah terhipnotis.

Raisyo mengangkat jemari. Sengaja perempuan jejadian ini mengusapkan telunjuknya ke punggung tangan Shou sebentar, sebelum diambilnya kotak rokok tersebut.

"Wah, makasih rokoknya, Kang." Raisyo menelengkan kepala. Cantik sekali senyumnya. "Nemu di mana, Kang?"

"Di kelas."

"Dari mana Akang tahu ini punya saya?"

"Karena kamu yang menjatuhkannya?"

"Ooh, masa saya menjatuhkannya?"

Tegas, Shou maju sedikit ke depan, agak nyosor. "Ya. Yang saya lihat seperti itu."

Raisyo, kelihatan sudah ahli sosor-menyosor, memajukan wajahnya juga. "Apa yang Akang lihat?"

Shou terdiam. Napas tertahan, dia melihat wajah Raisyo begitu lekat. Dia bisa melihat sedikit sidik jari di tangkai kacamata Raisyo. "Saya—melihat apa yang saya lihat. Kamu keluar dari kelas dengan terburu-buru, tidak sengaja—atau mungkin sengaja—menjatuhkan rokokmu."

Raisyo tersenyum. Cool, dia mundurkan wajahnya sedikit.

Ketika Raisyo mundur, insting lelaki Shou seperti disentil. Ingin dia memajukan diri sampai jejadian cantik ini melekat punggungnya pada pintu toilet. Sebelum itu terjadi, Raisyo sudah berjalan ke samping. Caranya berjalan tidak seperti ketika pak dosen mengajar di kelas. Kalau Pak Rayyan melangkah cukup lebar, Raisyo melangkah seperti seorang model yang menapakkan kaki ke depan satu garis lurus. Pahanya jadi bergesekan ketika ia berjalan seperti itu, dengan suara gesekan antara kain jeans yang seperti menggoda telinga Shou.

"Jadi? Mau ke mana kita hari ini?"

Shou mengikutinya dari belakang. Curi-curi pandang ke arah punggung ke bawah. "Um, ke kantin?"

"Kita mau kencan di kantin?" tanya Raisyo, bulu matanya terangkat.

"Yeah. Maaf, saya ini cuma anak kosan."

Raisyo tertawa. Shou terkejut karena tawanya barusan jantan sekali.

"Jujur, saya lebih suka makan di restoran berbintang," kata Raisyo. "Tapi, ngesot di kolong jembatan sekalipun saya enggak keberatan, asalkan ada Akang Shou di sisi saya."

Shou putar mata. "Yeah, kalau saya sudah lulus kuliah dan bisa cari uang sendiri, saya juga mau ajak kamu pergi ke restoran yang kamu suka."

"Jangan hamburkan duit Akang untuk orang seperti saya, enggak pantes."

Oh, pantesnya Bapak yang bayar ya? "Memangnya kenapa? Kita teman, kan?"

Raisyo menoleh. "Kita teman?"

GEBETANKU BANCI ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang