23. Hati ke Hati (1)

Mulai dari awal
                                    

Ra menghapus riasannya selama menunggu, tetapi tidak melepaskan wig. Kini Shou bisa membedakan bagaimana wajah Ra dengan wig tanpa riasan perempuan—konturnya lelaki, tetapi masih saja menawan.

Canggung, Shou duduk di samping Ra. Kekasih prianya menyambut dengan senyum. Diam-diaman sesaat, Shou menatap jendela dan melihat kacanya diburamkan rintik air. Malam ini akan hujan lagi.

"Mau lanjut?" Ra bertanya, sambil mengusapkan jemari ke leher belakang Shou yang lembap. "Atau tidur?"

"Maaf, agak ... aneh ya suasananya? Haha." Shou menggaruk tengkuk.

Ra membantu garuk. Garukan yang sensual. Garukan yang membuat Shou kembali bergeletar.

"Umm, Pak?"

"Ra," balas Ra, terkekeh. "Kenapa manggil saya 'Pak' terus? Padahal saya masih pakai wig. Masa dipanggil 'Pak'."

"Ah ya, maaf suka lupa." Ia ikut terkekeh canggung.

Sejenak, keduanya diam.

Perlahan Shou menggeser duduknya, mendekat lagi. Setelah menunaikan salat, selalu rasanya ia dapatkan kepercayaan diri. Ia berbisik riuh rendah.

"Boleh ... elus?"

Ra menatap. "Mau sentuh saya?"

Shou mengangguk. "Boleh?"

"Hmm." Ra menyentuh pipi Shou dan menangkupnya. "Kalau Akang kepengin sentuh saya, silakan, tapi—"

Kata-kata Ra terhenti, sebab Shou sudah menyentuhnya.

Shou menyentuh mulai dari siku lengan Ra.

Perlahan-lahan naik, mengelus sepanjang lengan Ra.

Semakin ke atas, mencapai pundak yang tajam. Jemari Shou yang hangat namun gugup mengusap Ra pada leher. Di sana, jari tersebut berhenti untuk menekan lembut perpotongan antara leher dan bahu yang sensitif.

Selama disentuh, Ra hanya diam menatap. Matanya menyipit setiap kali jari Shou bergerak. Pasti Ra merasakan sesuatu. Mungkin sensasi semeriwing, mungkin panas dingin.

Tiba-tiba Ra menoleh ke samping, sedikit mengekspos leher, sehingga Shou bisa menatap sentuhan jarinya sendiri pada kulit putih tersebut. Merupakan undangan, atau tantangan dari Ra, untuk disentuh lebih.

Shou mendekatkan wajah, mengecup lembut pipi itu. Ia berbisik rendah di telinga, "Ra ..."

Ra menyipitkan matanya lagi.

Sapuan jari Shou pada leher berpindah ke tengkuk. Di sana, Ra berpejam mata, tampak menikmati setiap sentuhan itu.

Sebuah jari Shou menyelip masuk ke bawah rambut palsu Ra. Dan tak menunggu respons atau apa pun, Shou melepaskan kaitan wig, dan mencopotnya.

Ra membuka mata, terkejut.

Rambut Pak Rayyan terlihat, agak berantakan dan sedikit lembap karena seharian berkutat di bawah tempurung rambut palsu. Shou menatap lekat-lekat wajah itu pada tempat tidurnya. Ra. Rayyan Nareswara. Ia asli. Kekasihnya. Ia duduk di ranjang Shouki Al Zaidan tanpa riasan dan rambut yang dipanjangkan seperti perempuan. Kini wig sudah tidak lagi menutupi leher Ra yang jenjang. Semakin lama dilihat, membuat Shou semakin tak tahan. Rasanya ia ingin menempelkan bibir ke leher itu.

Bergairah, Shou tersenyum menyeringai. "Aku lebih suka begini."

Masih terkejut, Ra meraba rambutnya sendiri, dan menyisirnya dengan jari. "... ah?"

Shou terkekeh. "Bapak tampan. Maksudku—Ra. Kamu tampan."

Kembali Ra menatap Shou diam, tatapannya kini sebagaimana Pak Rayyan yang biasa. Kalem, menyembunyikan tiap keterkejutan dengan sorotan mata yang seperti mengetahui segalanya.

GEBETANKU BANCI ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang