18. Para Pengabdi Micin

Mulai dari awal
                                    

Arian menoleh dari samping. "Bang? Lu ngomong sendiri barusan?"

"Enggak."

"Jadi lo sudah tahu apa yang lo mau, Bang?" pancing Arian lagi. "Ingin menyusu atau disusui? Pilihannya cuma dua itu."

Shou tertawa. "Apaan sih. Diem lo."

Mereka sedang di kelas. Ada dosen favorit Shou pagi ini sedang mengajar. Pagi ini Shou sedang lapar-laparnya sebab persediaan stok mi instan dan saset di kosan habis. Cukup melihat wajah sang dosen, sudah bisa membuat Shou kenyang. Sasetan bisa dibeli lagi, tetapi wajah pak dosen tak terganti.

Pun, Shou harus menyembunyikan senyum gugup setiap kali Pak Rayyan tak sengaja menoleh. Agak susah, sialnya. Coba lihat bagaimana barusan Pak Rayyan menatap ke arah Shou sambil tersenyum kecil ganteng. Aduh, Pak, kenapa harus pakai senyum. Jantung Shou rasanya seperti dipicu.

"Tugas menggambar praktik untuk hari ini di luar kelas," terang Pak Rayyan. "Fokus menggambar ekspresi wajah dan anatomi tubuh. Kalian boleh menggambar di sekitaran kampus. Bisa di kantin atau di halte, tempat yang banyak orangnya."

Setelah itu kelas bubar. Mahasiswi fans pak dosen sudah pasti mengekor ke mana dosennya pergi, biar supaya belajar gambarnya mudah. Pak Rayyan, bisa ditebak, memilih mangkal di kantin. Shou juga, selain karena perut lapar, tergerak sendiri kakinya untuk pergi ke kantin. Arian cabut pergi entah ke mana. Tora dan Aky kompakan tidak masuk karena sakit hari ini. Lagi musim flu.

Maka, di kantin ini Shou duduk sendiri. Ia memilih tempat duduk tak jauh dari Pak Rayyan, yang sedang duduk bersama beberapa mahasiswi dan kucing-kucing kantin. Shou memesan makanan favoritnya, nasi ayam goreng mentega lunak yang disiram dengan kuah kental gurih, dan minumnya es teh manis. Sambil menunggu makanan datang, Shou melirik-lirik wajah dosen yang ia senangi, seraya menulis sebuah nama di sampul buku sketsanya.

Rayyan Nareswara.

...

Shou tersadar baru saja menulis nama itu di kover buku sketsanya, lalu menggaruk pipinya, salah tingkah.

Ia buka buku sketsa mulai dari lembar yang pertama. Memang, sebagian besar wajah cantik yang ia gambar adalah si perempuan jagung rebus.

Kamu gambar perempuan ini lagi. Saya lihat di buku sketsamu, kamu paling sering menggambar perempuan ini. Baguslah, jika kamu sudah punya perempuan yang kamu suka.

Ketika Pak Rayyan berujar begitu, Shou hanya tersenyum.

Satu hal yang harusnya Pak Rayyan tahu, proses jatuh hati seseorang tidak sesederhana itu. Lembar paling tua buku sketsanya tidaklah sama dengan lembar yang terbaru. Pak Rayyan seharusnya melihat.

Akan tetapi, mungkin wajar jika Pak Rayyan berpendapat demikian. Shou sendiri adalah lelaki yang terkadang kurang peka dengan beberapa hal di sekitarnya. Misalnya, tentang fakta bahwa ia sebenarnya cukup populer. Sejak dulu banyak yang menyukainya. Para gadis, dari yang syar'i sampai yang buka-tutup atas bawah. Shou tak banyak membuka hati, sebab itulah sekalinya jatuh cinta ia begitu setia. Shou juga luput menyadari keberadaan seorang perempuan, yang beberapa hari terakhir sering memperhatikannya di kampus.

Perempuan itu berjalan mendekati Shou yang duduk menggambar sendirian. Parasnya manis dan gaya jalannya selalu penuh percaya diri. Dulunya perempuan ini begitu tomboi dan ke mana-mana selalu membawa gitar, tetapi begitu masuk kuliah ia beralih feminin dengan memanjangkan rambut. Wajah bentuk hatinya berpotongan poni, lengkap dengan riasan cantik.

Kebetulan saja gayanya mirip dengan si waria pujaan hati yang sering digambar oleh Shou.

Perempuan ini menyapa, "Hei. Kamu Shou, kan?"

GEBETANKU BANCI ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang