3. R A i s y o

Mulai dari awal
                                    

Sebuah invitasi. Jantan, Shou pun duduk di seberang meja barnya.

Mereka berpandangan lagi dalam diam. Shou melihat dada Raisyo naik turun kalem, dan masih tersengal sedikit napasnya. Menggairahkan. Namun, pembawaan Raisyo begitu tenang. Dia tampak seperti perempuan matang. Kelihatan dari caranya membusungkan dada dan menyentuh saksama gelas-gelas kaca. Tinggi Raisyo semampai, hampir sejajar dengannya. Jaket hitam menutupi lengan Raisyo, yang dari jarak dekat, terlihat cukup berotot. Tipikalnya sebelas dua belas dengan tubuh Wonder Woman, tetap seksi kok!

Dari fasad luarnya, wajah Shou sendiri teramat kalem, padahal dadanya berdebar tidak keruan seperti baru maraton keliling lapangan tembak. Inilah saatnya mereka berbicara, bukan lewat chatting, tetapi dari mulut ke mulut. Shou akan segera mendengar suara merdu Raisyo untuk kali pertama.

"Mau minum apa?" tanya perempuan idamannya. "Akan saya buatkan."

Suara Raisyo ternyata—lumayan ngebas.

Jauh sedikit dari bayangan, tetapi tak mengapa. Banyak perempuan bersuara berat, berani sumpah desahan mereka seksi bukan main. Shou pun memutuskan mulai hari itu ia menyenangi tipe suara perempuan seberat Raisyo.

"Minum—apa saja yang tidak mengandung alkohol," jawab Shou.

Tepi bibir Raisyo naik. Sikap Raisyo seperti seorang perempuan yang cool. Baik di atas maupun di luar panggung, dia tampak kalem dan memikat. "Air putih?"

"Air apa pun boleh," ujar Shou tenang. "Asal tidak bikin mabuk."

Raisyo mengerling wajahnya sebentar. Tanpa melihat, ia bawa jemarinya mengukir tepian gelas bening. Shou merasakan seolah-olah sentuhan jari itu tengah mengusap kulitnya. Dua botol bening Raisyo tuang menjadi satu, sampai berbuih putih lalu dikocok di dalam botol shaker perak. Sembari mengocok, Raisyo tak memutus kontak mata mereka.

Ini pemandangan yang menakjubkan.

Shou berusaha kalem membalas tatapan Raisyo ketika mengocok botol. Jemari Raisyo yang bermanikur, usap botol naik turun. Pundak bergoyang. Berbunyi. Botol itu mungkin tak rapat dikunci, dan cepat lambat cairan putihnya bisa saja menciprat wajah Raisyo. Bila itu terjadi—

Sebentar. Izinkan Shou ingin tarik napas dulu sebelum ada yang meledak.

Suara tuangan cecair ke dalam gelas renyah di telinga. Raisyo mendorong gelas kecil minuman buatannya.

"Selamat menikmati."

"Terima kasih." Shou meremas gelas itu. "Apa ini?"

"Susu dicampur vanila. Harusnya enggak bakal membuat Akang mabuk," kata Raisyo yakin. Perempuan itu bahkan sedikit mengangkat dagu seolah-olah dia pakar minuman.

"Kalau ternyata mabuk gimana?"

Raisyo terkekeh berat. Kekeh yang—ya, ngebas sedikit—tetapi seksi bukan main. "Saya akan bawa Akang pulang. Maksudnya saya mengantar Akang pulang."

"Jangan sampai merepotkan Eneng—maaf, Mbak Raisyo." Shou berucap secara santun. "Kalau boleh aku panggil siapa?"

Mimik cantik Raisyo berubah saat itu. Matanya berputar ke samping, dia berpikir sejenak. "Mmm, saya punya banyak nama," katanya.

Bartender gempal berotot yang sebelumnya datang. Dan, agak mengejutkan, suara si bartender malah lebih gemulai ketimbang Raisyo. "Ra, dipanggil lagi tuh. Disuruh ngisi panggung di ujung. Cuss gih."

Ra? Shou merekam nama panggilan itu dalam benaknya yang terdalam. Ra. Ra...

"Hmm." Raisyo angkat bahu dengan gaya genit tapi cool. "Benterong. Si Yono dimandul? Itu panggung dia."

Raisyo ternyata bisa bahasa banci juga. Shou menahan tertawa.

"Himalayang! Katanya kebelet kencana, terus enggak nongol lagi sampai sekarang. Beranak dalam kubur kali."

"Mabores lagi si Yono."

"Emm! Jijay markicay tu perawan kutil sebiji." Bartender mulai nyerocos sambil memukul-mukulkan serbet kotak-kotak caturnya. "Capcus gih. Kika urus pelanggan." Sekarang Shou dipandanginya penuh makna. "Duh, cakrabirawa deh masnya—maksudnya cakep banget. Mau minum apa, Mas?"

"Udah. Sudah kok." Shou buru-buru angkat gelas, melirik kepada Raisyo. "Udah malem. Aku pamit dulu ya, Mbak Rai—"

"Ra," ucap perempuan idamannya. "Panggil saya Ra."

Shou mengangguk. "Kita lanjut ngobrol lewat, um, Facebook?"

"Boleh, kalau Akang kesepian, ping ping aja saya."

"Memangnya di Facebook bisa nge-ping?"

"Ping itu bahasa sopan buat nyundul, Kang. Atau Akang lebih suka nyundul?"

"Mau—eh, ya begitu. Maaf. Nanti aku ping di Facebook."

Dengan sedikit tatapan mengerling seksi, Raisyo beranjak dari balik meja bar. Shou curi pandang ke arah lekuk perempuan itu sebentar. Menjamahi pinggang yang dibebat sempit kemudian bokongnya yang berkurva bagaskara (maksudnya bagus). Sedetik saja kok. Tidak dosa, kan?

Keluar dari Firefly, genjotan motornya di jalan berbatu membikin Shou ketar-ketir. Kampret. Ternyata isi celananya memang sudah penuh. Shou ingin buru-buru pulang ke kosan, mandi junub, sembahyang, kemudian tidur memimpikan R A i s y o.

Tengah malam, ada pesan masuk dari Facebook. Shou hampir meloncat burungnya—eh, gulingnya.

RAisyo: Makasih ya udah ngunjungin saya malam ini

RAisyo: Lain kali ritsleting celananya dirapetin ya, Kang ❤️

RAisyo: Tadi agak kebuka sedikit. Kesempitan apa gimana?

RAisyo: 😘

RAisyo: Sampai ketemu besok ❤️

GEBETANKU BANCI ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang