Chapter 14 : Lie.

Mulai dari awal
                                    

Sebenarnya Jiyeon hendak menolak tawaran atasannya dengan dalih lokasi halte hanya beberapa ratus meter dari rumah ini, namun tatapan ibu Jimin membuatnya tidak kuasa mengeluarkan kata-kata.

"Biarkan Jimin mengantarmu. Kau itu wanita, tidak baik pulang sendirian malam-malam."

Jiyeon hanya bisa tersenyum menanggapi ibu Jimin. Laki-laki itu sendiri melesat masuk ke kamarnya untuk mengambil kunci mobil, sementara Jiyeon dan ibu Jimin berdiri di depan teras.

"Kau gadis yang baik, Jiyeon-a. Aku akan sangat senang jika kau mau mengunjungiku lagi lain waktu. Kau tahu, sangat membosankan menjadi satu-satunya perempuan di keluarga ini. Tidak ada yang bisa kuajak memasak atau bahkan berkebun bersama," kata ibu Jimin sendu dan menggenggam tangan Jiyeon.

Jiyeon tersenyum manis, membalas genggaman tersebut kemudian berkata, "saya akan berkunjung kemari lain waktu, nyonya."

Mudah bagi Jiyeon untuk mengiyakan permintaan ibu dua anak yang memasuki kepala lima. Entah kenapa, bersama ibu Jimin dia bisa mengobati kerinduannya pada sang ibu.

"Saya permisi dulu," ujar Jiyeon setelah melihat Jimin berjalan kearahnya.

***

Sebulan seharusnya waktu yang cepat. Semakin cepat waktu berlalu, semakin cepat pula dia bisa terlepas dari pria rubah bertopeng kelinci disampingnya.

Sudah seminggu sejak mereka membuat kesepakatan bodoh itu, dimana Jungkook akan menceraikan Eunha dalam kurun waktu sebulan jika gadis itu bisa menjaga kuasanya.

Sudah tujuh hari. Tinggal dua puluh tiga hari lagi. Oh, Eunha tidak sabar untuk cepat-cepat berpisah dari Jungkook dan berlibur ke Bora bora island untuk merayakan kebebasannya.

Untuk label janda, Eunha tidak pusing-pusing memikirkannya. Pasalnya, jikapun Eunha janda, dia akan tetap eksis diselamatkan oleh umur dan karirnya yang gemilang.

'Uhh~ sabar Kim Eunha. Hanya tinggal lima ratus lima puluh dua jam lagi. Kebebasanmu di depan mata, yeah.'

Eunha tersenyum puas dan menendang-nendang selimutnya saat membayangkan laut bora-bora memanjakan matanya.

"Kau gila atau kerasukan?"

Itu suara Jungkook. Eunha spontan diam dan menyingkap selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Jungkook disana, di dekat lemari. Pria itu membuka jas dan menggantungnya, kemudian melonggarkan ikatan dasi serta menyingsingkan lengan bajunya. Jungkook menjatuhkan bokongnya ke sofa bulat di dekat kasur, mengambil botol air mineral diatas nakas dan melepaskan dahaganya hingga air di salam botol kandas setengah.

Eunha merengut. Apapun yang Jungkook lakukan tampak menyebalkan dimatanya. Sangat menyebalkan.

"Cih," cibir Eunha seraya bangkit dan berjalan ke arah pintu, menarik kopernya ke depan lemari. "Bukan urusanmu."

"Masukkan bajuku juga."

"Malas. Masukkan sendiri."

"Kau tahu aku ini pria, 'kan?"

Eunha menghela napas. Dia menatap Jungkook jengah. Kenapa pria sering kali menjadikan gender sebagai alasan? Memangnya yang bisa memasukkan baju ke dalam lemari itu hanya wanita?

Baru saja Eunha membuka mulutnya dengan kekesalan yang sampai di ubun-ubun, Jungkook langsung menjawab cepat. "Baiklah, baiklah. Biar ku masukkan sendiri."

Eunha mengernyit heran. Oh, seandainya saja Jungkook bersikap patuh setiap hari. Eunha yakin dia akan terbebas dari penyakit darah tinggi.

Setalah menelan tegukan terakhir air di dalam botol, Jungkook berdiri dan mengambil kopernya. Membawa koper yang lumayan besar itu ke samping Eunha dan duduk di bersila di samping istrinya.

Chain In The Dark .BTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang