Part || 66

2.4K 218 8
                                    

"Menemukan informasi baru?" tanya Adelia saat melihat Elicia keluar dari ruang bawah tanah. Elicia menggelengkan kepalanya dan Adelia merespon dengan helaan napas pelan. Dua tahun penyelidikan dan tidak ada hasil pasti, baiklah pria satu ini memang target yang cukup sulit.

"Ke mana selanjutnya?" tanya Elicia.

"Sebuah toko pakaian di timur," jawab Adelia sambil melebarkan gulungan kertas di tangannya sesaat.

"Ayo pergi."

Keduanya menggunakan artefak dan berteleportasi ke hutan terdekat. Hanya saja begitu mereka membuka mata, mereka menemukan hutan tersebut dikelilingi kabut. Terbiasa dengan bahaya selama tiga tahun terakhir, Adelia langsung memasang sikap waspada dan mengamati sekelilingnya dengan kritis.

"Aku yakin hutan di sini harusnya tidak berkabut," bisik Elicia dengan suara yang memungkinkan Adelia untuk mendengarnya.

"Seingatku juga begitu," balas Adelia. Dia sudah pernah mengunjungi hutan ini sebelumnya dan dia yakin penampilan hutan timur harusnya tidak seperti ini. Apa koordinat teleportasi mereka salah? Namun Adelia ingat jelas kalau koordinat ini diperiksa beberapa kali oleh mereka bertiga sebelum digunakan hari ini.

Jika tidak ada kesalahan pada koordinat teleportasi, maka masalahnya hanya bisa terjadi pada hutannya.

Kulitnya sedikit pucat saat ini karena hawa dingin nan menyeramkan yang merayap di punggungnya tidak terasa seperti pengingat palsu. Ini hampir sama seperti saat ia dan Evelyn berhadapan dengan pria aneh itu setiap saat. Walau auranya saat ini tidak semenyeramkan seperti sebelumnya, Adelia sama sekali tidak merasa santai dan tidak menurunkan kewaspadaannya sedikitpun.

"Berhati-hatilah," bisiknya pada Elicia. Jika yang mereka hadapi sekarang adalah orang itu, Adelia tidak yakin ia bisa menjaga Elicia.

Elicia belum pernah berhadapan secara langsung dengan pria itu, ia hanya mendengarkan pengalaman mereka. Namun Adelia tahu betul seberapa kejam dan menakutkannya pria itu. Jika bisa memilih, Adelia sama sekali tidak ingin bertemu dengan pria itu sekarang.

"Aku mengerti," balas Elicia mengangguk patuh. Melihat seberapa tegang Adelia, ia tahu mereka mungkin tidak berada dalam situasi yang baik saat itu.

Srak...srak...

Suara daun kering terinjak secara otomatis membuat kedua gadis itu meningkatkan kewaspadaan mereka. Hingga sosok manusia muncul di antara kabut, keduanya menatap bingung.

"Senior Edgar?" Elicia bingung sementara Adelia berjaga di sampingnya dengan waspada. Ia memang tidak pernah bertemu dengan musuh yang muncul menggunakan penyamaran. Tapi Edgar di depan mereka ini, apakah Edgar yang asli atau tidak?

"Elicia? Dan Adelia? Apa yang kalian berdua lakukan di tempat ini?" tanya pria muda berambut hitam itu.

"Kami—"

"Kami sepertinya tersesat saat mengejar seekor rubah." Adelia dengan cepat memotong ucapan Elicia. Elicia tentu mengerti dan dengan senang hati ia mengangguk cepat untuk bekerja sama.

"Rubah?" Edgar bingung.

"Ya. Itu seekor rubah putih berekor dua. Senior, apa kamu melihatnya? Aku berniat menangkapnya untuk dipelihara," jelas Elicia berbohong tanpa berkedip.

Adelia di samping memasang ekspresi kusut dan memutar mata jengah seolah ia ditarik ke dalam kekacauan ini secara paksa oleh Elicia. Kenyataannya, ia dalam hati menghela napas lega. Elicia memang cocok menjadi Elicia. Gadis penyuka rumor ini dapat dengan mudah mengarang cerita untuk mereka berdua dalam waktu singkat.

"Sayang sekali, aku tidak melihat rubah apapun," jawab Edgar menyesal.

Elicia menghela napas murung. "Yah, tidak masalah. Kami akan pergi mencarinya," ucap gadis berambut tosca tersebut.

I Refused to be a Non-Brained AntagonistWhere stories live. Discover now