Part || 51

5.7K 754 11
                                    

Crack!

Tembok es Elicia tiba-tiba pecah dan kedua gadis itu sontak menoleh terkejut. Tanpa berpikir dua kali, Elicia berdiri di depan Adelia dan menyembunyikan gadis berambut hitam itu di belakangnya. Dengan sepasang netra birunya, ia menatap Chris dengan tatapan waspada.

"Lady Maxon, sebaiknya Anda tidak ikut campur dalam urusan kami," ucap Chris.

"Sebaiknya memang begitu, Tuan. Tapi karena Adel temanku, mau tak mau aku harus ikut campur," balas Elicia tersenyum.

Chris diam menatap Adelia yang berdiri di belakang Elicia. Gadis itu menundukkan kepalanya menolak untuk menatapnya. Ia tidak bisa meraihnya karena Elicia pasti akan langsung menyerangnya dan berakhir keduanya melarikan diri.

"Baiklah, aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi soal ini. Jadi tolong pulanglah bersamaku, Adelia," ucap Chris lembut.

Elicia mengerutkan keningnya saat mendengar ucapan Chris. Sebenarnya apa yang mereka bicarakan tadi hingga jadi seperti ini? Bahkan Adelia jarang melepaskan emosinya saat ia sengaja membuatnya kesal di akademi. Paling mereka hanya akan berakhir dengan adu mulut sebelum kembali ke urusan masing-masing.

"Aku tidak akan kembali bersamamu," tolak Adelia yang sedikit banyaknya cukup membuat Elicia terkejut.

Jelas saat itu hubungan mereka terlihat baik. Jadi masalah apa yang membuat keduanya menjadi seperti ini sekarang? Tapi itu tidak penting saat ini.

Elicia langsung membuat beberapa kerucut es di sekitarnya saat melihat Chris bersiap maju. Ia mundur perlahan bersama Adelia sementara kerucut es yang ia buat bergerak perlahan ke depan seolah kerucut itu akan melaju jika Chris sampai mendekati mereka.

"Dengar? Adel menolak pulang denganmu, jadi jangan memaksa," ucap Elicia dengan nada sedikit mencibir.

Ah, sekedar pengingat. Elicia paling benci pria yang suka memaksa seorang gadis.

"Kau--"

DUAR!!!

Ucapan Chris terpotong oleh ledakan tiba-tiba yang terjadi tak jauh dari mereka. Melihat perhatian Chris teralihkan, Elicia memanipulasi kerucut esnya dan mengubahnya menjadi dinding es untuk menghalangi jarak di antara mereka. Tanpa pikir panjang, gadis berambut tosca itu langsung menarik Adelia pergi dari sana.

"Ayo! Kita harus cari Evelyn!" ucapnya dan Adelia mengikutinya begitu saja.

Hal terakhir yang ia ingat sebelum memalingkan mukanya dari Chris adalah tatapan dalam pemuda itu yang tertuju padanya. Adelia merasa sesak di hatinya dan akhirnya memilih untuk memejamkan matanya. Ini pertama kalinya ia menentang Chris, dan ini pertama kalinya ia merasa hatinya terluka berat.

"Adel...." dan Chris hanya bisa melihat tunagannya pergi tanpa bisa mengejarnya.



***



"Hei, kau baik-baik saja?" tanya Elicia saat mereka berhenti tepat di bawah sebuah pohon.

"Aku baik-baik saja," jawab Adelia sambil menghapus riasannya. Toh riasannya juga sudah luntur karena air matanya.

"Terima kasih," gumamnya kemudian yang ditanggapi Elicia dengan dengungan. Jadi canggung juga kalau ia tiba-tiba mendapat ucapan terima kasih begini.

"Benar, apa kamu melihat Evelyn?" tanya Elicia yang mengingat tujuan awalnya.

"Aku juga sedang mencarinya," balas Adelia setelah menggelengkan kepalanya.

DUAR!!

Ledakan keras kembali terdengar untuk kedua kalinya dan orang-orang di aula pesta kini sudah berhamburan keluar. Termasuk Elicia dan Adelia, keduanya memilih untuk berbaur dengan kerumunan. Mereka menatap ke satu arah yang sama, yaitu hutan istana.

"Elicia!"

"!!!"

Elicia tersentak kaget dan langsung menoleh ke belakang saat seseorang tiba-tiba menarik tangannya yang bebas. Itu Edgar dan di belakangnya ada Damien dan Alarick. Dilema karena tidak tahu harus bereaksi seperti apa, Elicia akhirnya hanya menundukkan kepalanya.

"Apa kamu baik-baik saja? Di mana Evelyn?" tanya pemuda berambut hitam itu.

Deg!

Elicia merasa jantungnya terenyuh. Ia memaksakan senyum saat menatap Edgar sementara Adelia di sampingnya diam. Benar, dia lupa mengatakan hal itu pada Elicia.

"Kami--"

"Kami sedang mencarinya," sela Adelia sebelum Elicia bisa menyelesaikan ucapannya.

"Adel??"

"Ke mana kalian mencarinya? Ah, tidak! Tetap di sini dan biarkan kami yang mencarinya." Pertanyaan Edgar berubah menjadi perintah di tengah jalan. Namun Adelia tidak berniat mematuhi ucapan pemuda itu saat ini.

"Maaf, Senior. Aku tidak bisa mematuhi ucapanmu," ucapnya lalu menarik Elicia untuk melarikan diri dari sana.

"Tunggu!!"

Keduanya akhirnya berlari ke arah hutan, tepatnya ke arah asal ledakan namun melalui jalan memutar di samping aula. Sedikit menyesal karena sebelumnya memilih berbaur dengan kerumunan untuk menghindari Chris. Edgar yang berusaha mengejar kehilangan jejak mereka karena keadaan yang kacau.

"Sial!" umpatnya kesal.

"Dinginkan kepalamu. Kita akan mencari mereka sekarang," ucap Damien sambil menepuk pundak adiknya itu.

"....maaf," ucap Edgar singkat.

Damien menghela napas singkat. Ia mengerti perasaan Edgar karena ia tahu kalau adiknya itu punya perasaan pada gadis bernama Elicia tadi. Setelah Evelyn hilang tiba-tiba disusul kekacauan seperti ini, tidak mungkin ia tidak merasa panik. Belum lagi Elicia tadi bersikeras pergi mencari Evelyn.

Asap hitam membumbung dari tengah hutan dan api berkobar besar tiba-tiba muncul. Sosok makhluk hitam dan menyeramkan memunculkan diri di tengah kobaran api. Makhluk itu mengaum ke arah langit dengan suara yang memekakkan telinga.

Gadis-gadis di sekitar memekik ketakutan. Beberapa menutup telinga dan memejamkan mata mereka, sementara yang lain berkumpul menjadi beberapa kelompok. Damien berdecak kesal dan menghunus pedangnya sementara Alarick di sampingnya membuat bola cahaya kecil dan meledakkannya.

"Berhenti membuat keributan," ucap Damien dingin.

Perhatian kerumunan akhirnya teralihkan pada mereka. Melihat pedang di tangan Damien dan tatapan dingin sang penerus Grand Duke Tresillian tersebut, keributan akhirnya sedikit mereda.

"Semua yang memiliki elemen dengan sifat serangan jarak jauh, maju ke depan dan yang memiliki elemen bersifat pertahanan berbaris di belakang. Yang membawa senjata, ikut aku."

Semua orang saling bertatapan dengan rasa ragu tersirat di mata mereka. Melihatnya, Alarick berdecak kesal. Ia ikut mengeluarkan pedangnya lalu menatap orang-orang di sekelilingnya.

"Takut? Lalu bersiaplah mati," cibirnya dengan seringai dingin. Maklum, Evelyn hilang dan sekarang ia harus mengurus kekacauan akibat penyerangan mendadak seperti ini. Bagaimana mungkin pemuda satu ini tidak kesal?

"Siapa yang takut mati?!" protes seseorang disusul suara pedang yang keluar dari sarungnya.

Beberapa orang mulai bergerak dan yang lain menyusul. Alarick hanya mendengus melihat hal tersebut sebelum perhatiannya kembali teralih ke arah makhluk hitam besar yang kini berjalan ke arah mereka. Pemuda itu mengeluarkan pedangnya dari sarungnya dan aura keemasan seketika mengelilingi dirinya.

"Kau akan maju seperti itu?" tanya Damien sedikit terkejut. Entah kenapa rasanya suasana hati Alarick memburuk setelah ia menceritakan tentang masa lalu mereka.

"Aku butuh pelampiasan," balas Alarick dengan senyuman di sudut bibirnya lalu melesat ke arah makhluk itu.

"Dasar...."

Menghela napas, Damien akhirnya menyusul pemuda itu dengan bersamaan dengan aura merah pekat mengelilingi dirinya.









***







Wah, author nggak terlalu jago bikin scene aksi, jadi ayo nikmati dengan hiperbola di kepala kita ^^

Btw, pisah sama ayang ternyata bukan hal yang baik, yah 😏

I Refused to be a Non-Brained Antagonistحيث تعيش القصص. اكتشف الآن