Part || 31

15.9K 1.9K 46
                                    

"!!!"

"Apakah sakit?" tanya Damien cemas.

"....tidak apa-apa," jawab Evelyn berbisik.

Damien menghela napas panjang dalam hati. Memandangi lebam di pipi Evelyn, amarah mulai berkobar dari dalam hatinya. Pria sialan itu berani melayangkan tangannya pada adik perempuannya? Seringai dingin muncul di sudut bibirnya tanpa sepengetahuan Evelyn. Pria itu sudah selesai.

Setelah mengompres pipi Evelyn dengan air es dan mengoleskan salep, tanda merah di pipi Evelyn akhirnya memudar. Damien entah bagaimana menghela napas lega dan tanpa sadar mengangkat tangannya untuk mengusap kepala Evelyn.

Evelyn, "??"

"Guru?" panggilnya ragu.

"Tidak apa-apa," ucap Damien.

"Ayo ke kantor dulu," lanjutnya.

Evelyn mengangguk patuh. Dibantu Damien, dia berdiri dan kedua orang itu pergi ke kantor dengan urusan masing-masing. Satu untuk melapor sementara yang lain untuk menanyakan tugas.


***


"Tugasmu sudah terkumpul kemarin," ucap Mr. Park sambil menyesap tehnya.

"Benarkah?" tanya Evelyn ragu.

"Hm. Seorang pemuda mengirimnya. Ia mengatakan kalau ada hal mendesak di sisimu kemarin sehingga dia membantu mengirimkan tugas," jawab Mr. Park. "Ada apa?" tanya pria itu kemudian.

Evelyn menggelengkan kepalanya. "Tidak ada. Aku hanya memastikan apakah sudah terkirim aray belum," jawabnya.

"Hhh, kamu, Nak," Mr. Park menghela napas. "Apa kamu tidak bisa percaya padanya?"

Evelyn memiringkan kepalanya bingung. Pertanyaan apa itu? Melihat tanda tanya di mata muridnya, Mr. Park berpikir tak yakin. Tidak mungkin...., kan?

Benar saja. Detik berikutnya, pertanyaan Evelyn menegaskan pikiran Mr. Park.

"Aku tidak dekat dengannya. Kenapa aku harus percaya?" tanya Evelyn, bingung.

Mr. Park, "....." Logika macam apa itu??

Dalam pikiran Evelyn, kepercayaan tidak bisa diberikan sembarangan pada siapapun. Satu-satunya orang yang ia percaya hanyalah Elliot. Dan saat ini-orang itu tidak ada. Salah. Dia yang tidak ada. Dia yang membuat mereka tidak bisa lagi bertemu.

Evelyn menghela napas singkat. Dia benar-benar merasa dirinya mulai bergantung pada Elliot. Ini tidak baik. Namun Evelyn tidak bisa menghentikan perasaan ketergantungan itu. Jujur, perasaan di mana kamu bisa bersandar pada seseorang itu begitu indah.

"Ada apa, Nak?"

"Tidak ada," jawab Evelyn tanpa sadar.

Mr. Park memperhatikan raut muka Evelyn. Suram, eh? Seolah-olah ia sedang menghadapi masalah berat saja.

Mr. Park sudah membaca tugas Evelyn semalam. Itu bagus-sangag bagus. Pria itu mengangguk puas dalam hati. Itulah murid kebanggaannya. Entah bagaimana, Mr. Park benar-benar menganggap Evelyn sebagai murid kebanggaannya. Dan apapun yang mengganggu muridnya, dia pasti akan membantu menyelesaikannya.

"Jika ada masalah, kamu bisa mengatakannya padaku, tahu?" ucap Mr. Park.

"Um," Evelyn mengangguk patuh.

"Baiklah, baiklah. Sekarang pergi. Aku tidak akan menahanmu," ucap Mr. Park sambil melambaikan tangannya.

Evelyn mengangguk singkat dan melangkah pergi keluar dari kantor. Pikirannya saat ini tidak bisa berjalan jernih. Tidak sampai ia tanpa sadar berpapasan dengan seorang pemuda yang baginya membawa aura yang familiar.

I Refused to be a Non-Brained AntagonistWhere stories live. Discover now