Part || 54

5.8K 754 15
                                    

Permukaan tanah seutuhnya membeku di bawah mantra Alarick. Tanpa diduga, serangan defensif seperti itu cukup berguna. Dalam hati Alarick berdecak kesal, kenapa dia tidak memikirkan ini dari awal? Jika seperti ini kan kekuatan mereka tidak akan terbuang percuma.

"Aku akan menghabisi mereka," ucapnya dengan senyum yang menahan kesal.

"Jangan!" cegah Damien dan Edgar disaat bersamaan.

Dengan tatapan bingung, Alarick menatap keduanya seolah menanyakan 'kenapa' dengan tampang tak berdosa. Dia hanya ingin melampiaskan kekesalannya, kenapa tidak boleh coba?

"Kalau kau membunuh mereka, bukankah mereka akan muncul lagi?" ucap Charles rasional. Agak jarang tapi tidak masalah karena bagaimanapun juga, sebagai putra mahkota, Charles tidak sebodoh itu.

"Aku tahu kau kesal, tapi untuk sekarang tahan dulu. Kita masih belum menemukan cara lain untuk mengakhiri mereka," bujuk Damien.

Alarick, "....ck."

Charles, '....' Tanpa diduga, Grand Duke muda itu punya sisi kekanakan seperti itu?

Merasa lega karena Alarick batal membelah semua makhluk aneh itu, kali ini Damien dikejutkan dengan kekuatan angin yang dengan mudahnya mengenai semua monster yang tertahan. Disaat bersamaan, belasan kerucut es juga menyusul menusuk monster yang tersisa. Ekspresi Damien seketika tenggelam saat ia mencari pelakunya.

"Orang bodoh mana yang menyerang monster itu?!" tanya Edgar refleks karena kesal.

"Aku. Ada masalah?"

Keempatnya menoleh ke asal suara dan terdiam mendapati sosok gadis berambut hitam keluar dari hutan. Di belakangnya mengikuti sosok gadis berambut tosca. Yah, dua sosok yang sangat dikenal. Siapa lagi kalau bukan Adelia dan Elicia yang mendadak hilang entah ke mana tadi?

Edgar, "....."

Pemuda berambut hitam itu mengumpat dalam hati mengingat kata-kata ketusnya tadi. Sial, bukankah dia mencari kematian? Dia baru saja memarahi pujaan hatinya secara tak sengaja!

Edgar seketika menyesal telah mengucapkan kalimat tadi.

"Nona-nona, kami berterima kasih atas bantuan kalian, tapi sebaiknya kalian tidak menyerangnya," ucap Damien berusaha sabar mengingat kedua gadis di sana adalah teman adik perempuannya.

"Oh? Kenapa?" tanya Adelia datar. Sebenarnya sudah tahu kenapa, hanya saja ia merasa sayang jika tidak mengikuti penampilan mereka.

"Monster itu tidak bisa dibunuh dalam sekali serangan dan akan muncul yang baru jika yang lama mati," jawab Damien menjelaskan secara singkat.

"Kami tahu," ucap Elicia mengangguk dengan tangan bersidekap dada.

"?"

"Karena kami tahu, maka dari itulah kami menyerangnya," lanjutnya.

Flash!

Semburan api tiba-tiba menyebar dari bawah kaki Adelia begitu Elicia selesai dengan perkataannya. Yang mengejutkan, api itu melelehkan es Damien dan disaat bersamaan membakar monster tersebut. Suara retakan sesuatu mulai terdengar, namun jumlah monster yang menyerang tidak berkurang banyak.

"Sepertinya mereka ditempatkan khusus ke sini," ucap Elicia saat melihat sekeliling mereka yang penuh dengan Pentagon melayang.

Seperti kata Evelyn, istana ini sudah terkepung.

"Sekali lihat juga aku tahu," angguk Adelia setuju.

"Apa yang kalian lakukan?!" tanya Charles kesal.

Begitu es meleleh, mereka langsung dikelilingi oleh monster-monster itu lagi. Bagaimana mungkin ia tidak kesal? Setidaknya saat monster tadi membeku, ia masih memiliki waktu untuk mendapat kabar dari ayahnya.

I Refused to be a Non-Brained AntagonistWhere stories live. Discover now