Part || 01

40.9K 3.7K 34
                                    

Evelyn Annelise, putri keluarga Graham yang tidak di akui oleh ayahnya hanya karena ia dibesarkan oleh ibunya di luar Keluarga Graham selama tiga tahun. Sayangnya, ibunya harus pergi untuk selamanya dan ia harus kembali ke keluarga ayahnya. Demi diakui oleh ayahnya juga membatasi dirinya dari urusan keluarga Graham, Evelyn memfokuskan seluruh perhatiannya untuk belajar hingga terkenal sebagai mahasiswi program magister paling muda di usianya yang baru tujuh belas tahun.

Hanya satu kekurangan Evelyn, emosinya lemah. Sembilan dari sepuluh pemikirannya selalu didasarkan pada data dan fakta dengan pemikiran yang logis. Sangat jarang bagi Evelyn unyuk menunjukkan perasaannya pada orang lain. Hal ini membuat keluarga Graham selalu menyebutnya sebagai gadis tanpa hati.

Namun, nyatanya tidak. Evelyn memahami emosinya. Ia hanya tidak tahu bagaimana cara mengeluarkan emosi tersebut. Hal ini membuat Evelyn merasa sedih dan tertekan. Ia kemudian memutuskan untuk melakukan studi sendiri tentang bagaimana cara agar ia bisa memperlihatkan emosinya. Beragam drama dan novel dibaca oleh Evelyn, namun ia masih tidak bisa bersikap terbuka.

"Kamu masih melanjutkan penelitianmu?"

Evelyn mendongak saat mendengar suara pria yang sangat ia kenal. Ia menatap pria di depannya sejenak lalu mengangguk sebagai jawaban, sekaligus sebagai sapaan.

Pria itu tidak lagi bertanya. Ia hanya duduk di samping Evelyn dan memperhatikan gadis yang kembali membaca buku dalam diam itu. Sejauh yang ia tahu, sejak ia mengenal Evelyn lima tahun yang lalu, gadis itu selalu pendiam dan cuek pada lingkungan sekitarnya. Namun ingatan gadis itu sangat bagus. Ia bisa mengingat berbagai hal yang notabenenya tidak bisa diingat oleh kebanyakan orang.

"Lihat, Eve. Tokoh ini memiliki nama panggilan yang sama denganmu. Tidakkah kamu tertarik untuk membaca ulang?" tanya Pria itu saat matanya tidak sengaja mendarat pada salah satu buku yang kebetulan menampilkan sinopsis di belakangnya.

Evelyn menggelengkan kepalanya. "Tidak. Tokoh itu terlalu bodoh."

Jawaban Evelyn membuat pria itu tersenyum samar tak berdaya. Evelyn yang ia kenal selalu berbicara berdasarkan fakta, hal itu tidak akan berubah.

"Bukankah kata-kata itu kurang tepat? Kita membahas ini minggu lalu," ucap Pria itu.

Evelyn terdiam. Ia menatap pria yang duduk di sampingnya itu dengan tatapan bingung. Evelyn akui, pria ini banyak membantunya dalam mempelajari segala hal tentang emosi dan perasaan. Evelyn tidak keberatan jika pria itu dikatakan sebagai tutor pribadinya.

"Um, maksudku, tokoh itu terlalu mengikuti perasaan," ucap Evelyn setelah berpikir untuk beberapa saat.

Pria itu tersenyum. Ia mengulurkan tangan untuk mengacak rambut gadis yang duduk di sampingnya itu. Evelyn tidak beraksi untuk beberapa saat sebelum sebaris kalimat pendek akhirnya keluar dari mulutnya.

"Jangan mengacak rambutku," ucapnya.

"Apa kamu merasa kesal?" tanya pria itu mengabaikan ucapan Evelyn.

"Aku kesal," jawab Evelyn jujur.

"Kalau begitu, marahlah padaku," ucap pria itu.

Evelyn terdiam sebelum menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa."

Pria itu menghela napas saat mendengar jawaban Evelyn. Ia akhirnya berhenti mengacak rambut gadis itu. Sebagai gantinya, ia meminta Evelyn untuk menatapnya.

"Tidakkah kamu ingin mencoba cara belajar yang lain?" tanya Pria itu.

"Apakah ada?" Evelyn balik bertanya.

"Ada," jawab pria itu tersenyum.

Perhatian Evelyn sepenuhnya terfokus pada pria itu.

"Misalnya, mempelajari emosi di antara sepasang kekasih," ucap Pria itu. "Mau mempertimbangkannya?" tanyanya kemudian.

I Refused to be a Non-Brained AntagonistWhere stories live. Discover now