Part || 12

24.4K 3.1K 48
                                    

Setelah selesai dengan seragam, Evelyn duduk di tempat tidurnya dengan sebuah buku berisi peraturan akademi di tangannya. Gadis itu mengulurkan tangannya dan menyalakan lampu. Cahaya redup dari luar mendadak digantikan oleh cahaya terang lampu kamar. Evelyn membolak-balik buku itu sebentar sebelum membacanya.

Tidak butuh waktu lama bagi Evelyn untuk menyelesaikan buku itu dan memahami isinya. Hanya saja, ia menatap buku di tangannya dengan tatapan heran. Lebih dari setengah dari peraturan yang tertulis di dalam buku kira-kira sama dengan peraturan akademi di dunia aslinya. Evelyn jadi bertanya-tanya, apa Duke Emanuel juga sama seperti dirinya? Atau ini hanya kebetulan saja, mengingat penulis novel juga hidup di tempat yang sama dengannya?

Evelyn menggelengkan kepalanya. Ia menyimpan buku peraturan itu ke dalam laci meja di samping tempat tidurnya lalu berbaring di tempat tidur sejenak. Ingin rasanya dirinya tidur sekarang. Namun dia tidak bisa. Beberapa hal memenuhi pikirannya sebelum dengan tegas diusir pergi olehnya.

Gadis bersurai indigo itu bergumam kesal lalu bangun setelah berbaring dengan pikiran kosong selama lebih dari satu jam. Ia mengambil satu set pakaian di lemari. Setelahnya, ia pergi ke kamar mandi. Malam ini dia perlu pergi ke rumah lelang untuk mengambil perlengkapan sekolah yang telah dijanjikan kemarin.

Evelyn menyalakan kran air hangat lalu menuangkan sabun. Sambil menunggu air memenuhi bak mandi, gadis berambut indigo itu melepas kacamatanya lalu menggelung rambutnya ke atas. Setelah bak mandinya hampir penuh, Evelyn mematikan kran air. Ia melepas semua pakaiannya lalu masuk berendam.

Air hangat sepertinya merilekskan tubuh gadis itu. Ia menghela napas tanpa sadar sambil bersandar di tepi bak mandi. Saat ini, barulah Evelyn ingat. Ia masih belum bertemu dengan Lilia. Apa jalan ceritanya akan berubah?

Evelyn tidak peduli. Novel itu novel sementara hidup itu hidup. Baginya saat ini, ia tidak hidup di dalam novel, melainkan di suatu dunia yang tidak ia ketahui. Evelyn kemudian membuang semua pikirannya menjauh. Dia bisa bertemu Lilia kapan-kapan.

Puas berendam, Evelyn keluar dari bak mandi dan berdiri di bawah pancuran. Masih air hangat, mengingat Evelyn tidak bisa terkena air dingin lama-lama. Gadis itu menghela napas penuh penyesalan namun masih menikmati guyuran air hangat. Air hangat pun juga menyenangkan.

***

Waktu berlalu. Saat jam menunjukkan pukul sepuluh lewat, Evelyn yang sejak tadi sudah terbalut dalam pakaian serba hitam akhirnya berdiri. Ia mengeluarkan jubah dan topeng dari cincin penyimpanan lalu memakainya. Oh, dia juga tidak lupa menguncir rambutnya dan ngomong-ngomong, ia menggunakan salah satu pakaian olahraga malam di dalam lemarinya.

Menunggang kuda dengan rok sangat menyusahkan. Evelyn harus membeli beberapa celana panjang nanti. Atau mungkin, beli saja pakaian berkuda langsung?

Evelyn mengendikkan bahu. Pertama, pergi saja ke rumah lelang dulu. Evelyn menarik tudung jubah untuk menutupi kepalanya lalu keluar dari kamarnya.

Asrama saat ini sudah sangat sepi. Dengan hati-hati, Evelyn berjalan ke lantai satu. Oh benar. Kamarnya berada di lantai enam. Kamar tempat para anak-anak keluarga bangsawan tinggal, dengan kata lain, kamar tunggal. Evelyn jujur kalau ia suka kamar seperti ini.

Begitu sampai di bawah, Evelyn berlari ke kandang kuda di halaman belakang. Ia melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada yang mengawasinya sebelum menarik Black keluar dari kandangnya.

"Ayo pergi," ucapnya. "Dan jangan berisik," lanjutnya.

Black mendengus pelan sambil menggerakkan kepalanya ke tangan Evelyn. Evelyn mengelusnya sejenak lalu menarik Black pergi ke tempat di mana ia masuk pagi ini.

"Kupikir aku tidak bisa pergi menggunakan kuda," ucap Evelyn. Dia sangat bingung sekarang. Jika Black benar-benar pergi bersamanya, kepergian mereka akan sangat berisik. Itu mungkin menarik perhatian yang tidak diinginkan.

Mungkin merasakan betapa rumitnya pemikiran tuannya itu, Black mendengus dan mengarahkan kepalanya ke satu arah, berharap Evelyn bisa memahami apa yang ingin ia katakan. Untungnya, Evelyn memenuhi harapannya. Evelyn memahami maksud gerakan kuda hitam yang ia bawa dari kediaman Carlisle.

"Kau tahu jalan lain? Ayo pergi," ucap Evelyn.

Gadis itu naik ke atas pelana kuda lalu menepuk leher Black. "Jalan, jangan berisik."

Black segera berjalan ke arah kandang tempat ia menetap pagi ini. Ia kemudian terus berjalan ke arah pepohonan. Tak lama setelahnya, bangunan tua yang unik masuk ke bidang penglihatan Evelyn. Yang lebih menyenangkan, sebuah gerbang besi kecil yang sudah berkarat.

"Mengejutkan," gumam Evelyn.

Black mendengus seolah bangga, namun Evelyn tidak memberikan perhatiannya sedikitpun. Dengan sedih, kuda hitam itu berjalan ke arah gerbang besi dan mendorongnya dengan kepalanya.

Derit besi di buka terdengar cukup mengejutkan di tengah malam. Untungnya, tempat ini jauh dari asrama yang tidak akan menyebabkan keributan apapun. Begitu gerbang terbuka, Evelyn menarik tali kekang kuda dan membuat Black berlari kencang ke arah perkotaan.

***

Sementara Evelyn memacu kudanya ke arah kota, seorang pemuda berambut silver tengah duduk di salah satu dahan pohon. Dengan tenang, ia memperhatikan Evelyn yang sekarang sudah menghilang di balik pepohonan. Sejak awal, sejak Evelyn mengambil kudanya dari kandang, pemuda itu sudah memperhatikan dalam diam.

Sepasang netra kuning keemasannya menatap Evelyn tajam seolah seekor hewan tengah menatap mangsanya. Saat Evelyn menghilang dari pandangannya, pemuda itu menarik napas dalam-dalam. Saat ia membuka matanya lagi, ekspresinya kembali ke ekspresi dingin yang normal.

"Eve, Evelyn. Apakah itu Evelyn?"

.

.

.

Sesampainya di kedai kopi, Evelyn turun dan menyerahkan kudanya pada pelayan di sana. Ia masuk dan kemudian langsung bertemu dengan pemilik rumah lelang. Pria paruh baya itu tersenyum saat melihat Evelyn dan seperti kemarin, ia kembali membawa Evelyn ke ruang kerjanya.

"Nona, ini barang yang Anda inginkan," ucapnya sambil menyodorkan sebuah cincin penyimpanan dengan permata ungu.

"Apa yang ada di dalamnya?" tanya Evelyn.

"Buku, kartu, mantra, dan semua barang lain yang Anda butuhkan sudah tersedia di dalam sana," jawab pria paruh baya itu.

Evelyn mengangguk puas. Ia memasukkan cincin itu ke dalam cincin penyimpanannya lalu mengeluarkan setumpuk pakaian lainnya dari cincin penyimpanan miliknya. Evelyn juga mengeluarkan beberapa mutiara malam lain sebagai tambahan.

"Lelang ini," ucapnya.

Kali ini, tanpa mengatakan apa-apa, pria paruh baya itu mengangguk semangat. Hei, ini mutiara malam yang langka dan set pakaian ekslusif, bagaimana mungkin ia menolak harta yang ditawarkan ke depan pintu rumahnya?





.

.

.

.





Nah, let's guess. Who's the man with silver hair upon the tree???

I Refused to be a Non-Brained AntagonistWhere stories live. Discover now