Part || 14

23.4K 2.8K 22
                                    

Ctik!

Satu jentikan jari dan gerakan para perampok terhenti di tempatnya. Kulit mereka pucat seketika. Evelyn kaget namun akhirnya menyadari kalau seseorang berhasil menyelinap di belakang punggungnya. Dengan elemen anginnya, ia menghempaskan orang itu agar menjauh darinya lalu mengurus orang lain yang tersisa.

Selesai mengurus para perampok, Evelyn mulai melihat sekeliling. Level orang ini jauh lebih tinggi dari pada dirinya. Siapa dia? Apakah dia membantunya, atau ingin melukainya?

Namun pada akhirnya, Evelyn tidak menemukan bayangan orang lain di sekitarnya. Ia berkedip sejenak sebelum memutuskan untuk kembali ke akademi.

"Terima kasih," ucapnya sebelum memacu Black untuk berlari ke akademi.

***

Angin malam berhembus, membawa udara dingin yang cukup menusuk tulang. Seorang pemuda berpakaian serba hitam dengan rambut silver yang duduk di dahan pohon dengan salah satu kaki menjuntai ke bawah menatap kepergian Evelyn. Angin malam menyampaikan ucapan Evelyn padanya dan membuatnya tersenyum.

"Yah, itu memang dia," bisiknya.

Setelah Evelyn pergi cukup jauh, pemuda itu turun dari pohon dan menapak dengan indah di tanah. Dengan tenang, ia menatap tiga belas orang yang sebelumnya mencari masalah dengan Evelyn. Di bawah sinar bulan, netra keemasannya berkilau dengan cahaya dingin.

"K-k-kau...." pria botak tergagap saat melihat pemuda di hadapannya.

Rambut silver dan mata emas adalah orang yang sangat mereka hindari. Terutama di malam hari. Bagaimana ceritanya mereka malah jatuh ke tangan monster lain setelah lepas dari monster sebelumnya itu?! Geng perampok merasa ada konspirasi di antara kedua orang itu.

"Kalian sepertinya sudah mendengar gosip tentangku?" pemuda itu membuka mulutnya untuk berbicara.

Suaranya indah, pria botak itu mengakui dengan sepenuh hati. Namun, suara indah itu seperti bisikan dari malaikat kematian, membuat tubuhnya dingin dalam sekejap. Pria botak itu tanpa halangan merasakan punggungnya basah oleh keringat dingin.

"K-kau, apa yang ingin kau lakukan?" tanya si pria botak sambil menjaga suaranya agar tetap tenang. Sayangnya, tubuhnya yang gemetar mengkhianati usahanya.

"Bukan apa-apa," jawab pemuda berambut silver itu.

"Kalian harus tahu tempramenku, bukan? Sayang sekali, kalian masih memprovokasiku," lanjutnya saat senyum dingin terbit di bibirnya.

Otak pria botak itu kosong seketika. Dalam waktu selanjutnya, ia menyaksikan dengan nata terbelalak saat pemuda di hadapannya mengeluarkan pedang dari udara kosong.

"Tahu konsekuensinya, bukan?"

Lolongan serigala bergema di hutan dan kepalanya sayap kelelawar yang menjauh terdengar di sekitar. Bau amis darah terbawa oleh angin, mengundang predator-predator yang tersembunyi di kedalaman hutan. Dengan tenang, pemuda berambut silver itu membersihkan pedangnya lalu menyimpannya kembali.

"Aku bukan orang yang baik," ucapnya lalu menghilang dari tempatnya, menyisakan pemandangan berdarah yang mengerikan atas tiga belas anggota geng perampok tadi.

.

.

.

Malam akhirnya memudar saat matahari mulai menampakkan diri dari sisi timur. Cahaya yang dipancarkannya tanpa sengaja menembus tirai kamar seseorang. Kebetulan, jendela kamar itu mengarah langsung ke tempat tidur, membuat cahaya yang berhasil menyelinap masuk itu mengganggu tidur seseorang di atasnya.

Gadis yang terbaring di atasnya perlahan membuka mata, menampilkan sepasang mata ungu yang menawan. Ia menguap malas sejenak sebelum menyelimuti dirinya dengan selimut lagi. Namun beberapa detik kemudian, gadis itu akhirnya terbangun dengan mantap.

Ah, lupa. Dia tidak di dunianya sekarang.

Dengan malas, Evelyn turun dari tempat tidurnya lalu meregangkan tubuhnya sambil berjalan ke arah jendela yang masih tertutup tirai. Ia membuka tirai tebal itu dengan mata setengah tertutup. Setelah menyesuaikan matanya dengan pencahayaan, barulah ia membuka matanya.

Udara pagi biasanya sangat segar. Evelyn mendorong jendela hingga terbuka dan membiarkan udara segar masuk. Sambil merasakan hembusan angin pagi, matanya melirik jam antik di sebelah lemari.

Jam 6.35 pagi.

Gadis berambut indigo itu berkedip sejenak sebelum berjalan ke lemari untuk mengambil satu set pakaian. Karena ini kamar tunggal, tentu disediakan kamar mandi di dalamnya. Evelyn masuk ke kamar mandi setelah mengambil handuk di gantungan samping lemari.

Selang tiga puluh menit kemudian, gadis itu akhirnya keluar dengan seragam pagi membungkus tubuhnya. Kemeja putih dan rompi hijau lembut tanpa lengan membungkus tubuh bagian atasnya sementara rok putih selutut membungkus tubuh bawahnya. Dasi pita berwarna hijau juga dengan indah tergantung di kerah kemejanya.

Evelyn menatap dirinya di depan cermin besar dan mengangguk puas. Ia suka dengan model pakaian ini. Bentuknya hampir mirip dengan seragam tempat ia sekolah dulu. Hanya saja, model seragamnya saat ini dibuat dengan menyesuaikan mantra sekaligus sudah terpasang dengan sihir perlindungan.

Evelyn menyisir rambutnya dan menguncirnya ke belakang dengan ikat rambut pita berwarna hijau lembut. Setelahnya, ia mengambil blazer hijau lembut dan stocking putih panjang dari dalam lemari lalu memakainya. Tak lupa, ia juga mengambil kacamata dari laci meja rias.

Gadis berambut indigo itu menatap kaca mata di tangannya sejenak. Kalau boleh jujur, ia kurang nyaman memakai kaca mata ini. Tapi apa boleh buat? Penampilannya sebagai Eve terlalu mencolok. Evelyn tidak bisa menerima kalau lagi-lagi ia akan disamakan dengan Eve.

Pada akhirnya, sambil menghela napas, gadis itu mengenakan kacamata di tangannya. Setelah itu, ia memakai salah satu sepatu putih yang tersusun rapi di rak sepatu di samping pintu.

Jam 7.20.

Masih ada sepuluh menit untuk Evelyn pergi ke kantin dan sarapan. Tanpa ragu lagi, gadis itu keluar dan mendorong pintu kamarnya lalu bergegas ke kantin setelah memastikan pintu kamarnya sudah terkunci. Setiap kali ia melewati lorong dengan jendela kecil, cahaya yang menembus jendela dan mengenainya selalu membuat gadis itu terlihat lebih cantik dan bersinar. Di tambah dengan cincin penyimpanan permata ungu yang melingkar di jari manisnya. Warna yang sama dengan warna matanya.

Beberapa murid yang baru keluar dari kamar mereka terpesona saat melihat Evelyn berjalan melewati mereka. Pipi dan telinga para pemuda yang terpesona merona merah seketika. Sementara para gadis terbengong dengan kecantikan dan keanggunan Evelyn.

Namun, selama apapun mereka memandangnya, mereka tidak bisa menebak identitas gadis itu. Dan dilihat dari dirinya yang tinggal di lantai lima, keluarganya jelas bukan keluarga tanpa latar belakang yang kuat.

Jadi, apakah ini murid yang baru mendaftar tahun ini? Mereka tidak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya, terutama saat melihat umur gadis itu berkisar antara lima belas tahunan.







***







Akhirnya Evelyn mulai menjalani hari baru di akademi!

Btw, kira-kira Evelyn bosan nggak ya karena harus sekolah lagi???


See ya~~~🌿

I Refused to be a Non-Brained AntagonistDär berättelser lever. Upptäck nu