Part || 35

13.7K 1.9K 50
                                    

"....kenapa cepat sekali hilangnya?!"

Alarick sedikit kesal. Jelas Damien hanya pergi beberapa waktu lebih dulu darinya, namun bagaimana bisa pemuda berambut hitam itu kemudian hilang begitu saja tanpa jejak? Merasa perlu mengatur emosinya, Alarick berhenti di tempat dan menghela napas panjang.

Apa gunanya dia mengejar Damien? Bukankah akan lebih baik jika ia pergi mencari Evelyn? Dia tidak tahu sudah berapa lama Evelyn berada di sini. Mau tak mau dirinya berpikir, apakah gadis itu merasa kebingungan atau kesepian?

Alarick yang niat awalnya mengejar Damien akhirnya memilih menyerah. Ia berbalik hendak kembali ke kantornya. Namun perasaan urgensi tiba-tiba menyerangnya. Perasaan tak nyaman hingga membuat  dirinya sakit dan jantungnya berdetak kencang.

Evelyn!

Pikiran pertama yang melintas di benaknya adalah Evelyn. Saat Alarick melihat ke samping, dirinya terkejut melihat pilar cahaya yang tiba-tiba muncul di suatu tempat. Perasaannya semakin tak enak saat melihat cahaya putih keemasan tersebut. Menebak jaraknya, itu haruslah menjadi salah satu hutan yang ada di dekat Akademi Regal.

Alarick tidak berpikir dua kali. Ia langsung melesat ke arah datangnya cahaya secepat yang ia bisa. Pemuda itu memaksakan dirinya untuk tenang dan mendinginkan kepalanya sedingin mungkin. Tenang. Kali ini, ia tidak akan gagal lagi.

'Tidak lagi!'

Alarick mempercepat gerakannya. Jas yang ia sampirkan dan tersemat oleh bros berhiaskan permata merah di pundaknya berkibar liar mengikuti gerakannya. Pemuda itu mencengkeram tepi jasnya, berusaha menghilangkan rasa kekhawatiran yang membanjiri hatinya.

Kewarasan Alarick seolah akan menghilang saat ia sampai di tempat kejadian. Di tengah danau dalam cahaya putih keemasan, sosok gadis berambut indigo melayang dengan kristal di antara tangannya tanpa menyadari bahaya di sekitarnya. Puluhan ular besar melompat keluar dari sungai menargetkan gadis itu. Alarick merasa tali kewarasannya putus.

"Hancur!" serunya.

Sambaran petir tiba-tiba muncul dan menyambar beberapa ular di dekat gadis itu. Alarick sendiri mengeluarkan pedang entah dari mana. Saat berikutnya ia bergerak, ia mendapati dirinya berada di tengah-tengah monster ular itu dan menggunakan pedangnya untuk bergerak cepat menebas mereka dan menghancurkan mereka dengan elemennya.

Alarick tidak tahu berapa lama waktu berlalu hingga ia menghabisi semua monster ular tersebut. Yang ia tahu, pemandangan di sekitarnya sangat kacau dan udara dipenuhi oleh aroma amis yang tak sedap. Namun selain itu, ia tahu kalau gadis yang diselimuti cahaya dan melayang beberapa meter di atas permukaan danau itu baik-baik saja.

Saat Alarick berbalik, cahaya yang menyilaukan meledak dan menyebar. Saat itu juga, gadis itu membuka matanya, memperlihatkan sepasang netra berwarna pink cerah. Alarick menyimpan pedangnya laku melayang ke arahnya untuk mengamati gadis itu lebih dekat.

Begitu mereka bertatapan muka, Alarick secara tak sadar melembutkan ekspresinya sementara gadis di depannya menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Matanya memerah dan air mata perlahan turun membasahi pipinya. Alarick merasa hatinya sakit. Ini pertama kalinya ia melihat gadis itu menangis untuk mengekspresikan semua emosinya. Pemuda berambut keperakan itu mengulurkan tangannya, menangkup pipi Evelyn dan menghapus air mata di pipinya.

"Ell--"

"Sst, jangan menangis, Evelyn. Aku di sini, jangan menangis," ucap Alarick.

Alarick tak bisa menahan diri untuk tidak memeluk Evelyn. Ia mendekap erat gadis yang pernah hampir hilang dari hidupnya sementara Evelyn tak bisa menghentikan tangisannya di pelukan Alarick. Ia mengucapkan nama Elliot berkali-kali hingga Alarick mulai merasa tenggorokannya tercekat.

"Eve, aku di sini. Jangan menangis, Sayang," bujuk Alarick.

Keduanya berpelukan dalam bayangan cahaya putih keperakan yang hangat. Alarick akhirnya bisa merasakan perasaan lega. Mereka akhirnya bertemu setelah penundaan dari pihaknya. Ia mengedipkan matanya beberapa kali menahan air mata yang mendesak keluar. Perasaan saat sesuatu yang penting yang direngut darinya dan akhirnya kembali memenuhi hatinya.

"Senang bertemu lagi denganmu," gumam Alarick sambil mencium puncak kepala Evelyn.

Setelah beberapa waktu, Alarick akhirnya melepaskan pelukannya. Tirai cahaya masih terus menyebar. Alarick tidak memperhatikan itu sama sekali. Sebaliknya, ia memilih memperhatikan sosok gadis di hadapannya. Tangannya merapikan rambut Evelyn yang kusut sementara tangannya yang lain bertumpu di pinggang Evelyn.

"Eveku masih secantik biasanya," ucap Alarick dengan senyum di bibirnya.

Evelyn diam tak membalas. Sebaliknya, ia menatap Alarick dengan tatapan menuduh dan penuh keluhan. Alarick merasa hatinya seolah akan meleleh kapan saja di bawah tatapan Evelyn yang seperti itu. Jadi ia mengulurkan tangannya yang bebas untuk menutupi mata Evelyn.

"Aku capek sekali," ucap Evelyn tiba-tiba.

"Kalau begitu tidurlah," balas Alarick lembut.

Tanpa mengatakan kata tambahan, ia kembali memeluk Evelyn dan membiarkan gadis itu bersandar sepenuhnya pada dirinya. Senyum lega kembali terlihat di bibirnya.

Itu bagus. Mereka akhirnya berkumpul kembali.



***



"Teman Evelyn?" tanya Alarick begitu menatap dua gadis yang berdiri tak jauh darinya.

"Ya," jawab keduanya bersamaan.

Alarick menatap mereka sejenak dan merenung. Satu adalah putri Duke Maxon, Elicia de Maxon dan satu lagi putri Duke Eigler, Adelia de Eigler. Ia tidak akan mengomentari teman Evelyn, tapi bukan berarti ia akan percaya begitu saja pada mereka. Namun Alarick sudah melihat bagaimana interaksi mereka bertiga. Baik putri Duke Maxon maupun putri Duke Eigler, keduanya sangat dekat dengan Evelyn.

Dekat sebagai teman tanpa niat untuk memanfaatkan.

"Apa yang kalian lakukan di tengah hutan tanpa pengawasan?" tanya Alarick dengan sorot mata tajam.

"Kami--"

"Hah??"

Ketiganya serentak melihat ke arah suara dan menatap dua sosok pemuda berambut hitam yang baru saja datang. Elicia seketika gugup begitu tatapan pemuda yang lebih muda menyapu ke arahnya dan tapa sadar ia menundukkan kepalanya.

"Elicia? Ada apa denganmu?" tanyanya kaget saat melihat bercak darah di seragam gadis itu.

"Se-senior Edgar, a-aku tidak apa-apa," jawab Elicia berusaha menekan kegugupannya. Adelia yang menyadari itu dengan tenang melirik temannya.

"...."

Baiklah, dirinya cukup paham.

"Alarick? Dan Eve!! Ada apa dengannya?!"

Edgar seketika berlari ke arah Alarick yang masih menggendong Evelyn dengan tenang disusul oleh Damien. Di tempatnya berdiri, Elicia merasa hatinya kosong saat melihat raut muka Edgar yang cemas akan keadaan Evelyn. Tanpa sadar, gadis itu mencengkeram ujung roknya.

Dia pasti gadis yang jahat dan egois karena tidak ingin Edgar khawatir pada siapapun.

Adelia menatap mereka sejenak sebelum mengangkat tangannya untuk menepuk Elicia. Elicia yang merasakan tepukan di bahunya tentu langsung menoleh kaget. Saat ia bertemu dengan tatapan Adelia, ia hanya tersenyum lalu mengalihkan perhatiannya.

Apa yang ia pikirkan? Keselamatan Evelyn tentu lebih penting!







***







Hemm, gimana nih kira-kira hubungan Evelyn dan Elicia ke depannya? Semoga tetap bertahan lah ya

Btw, tumben nih Thor double up ^^

Selamat menikmati and see you next part~~

I Refused to be a Non-Brained AntagonistWhere stories live. Discover now