Part || 08

25.7K 3.3K 45
                                    

Evelyn pernah berurusan dengan hal semacam ini beberapa kali sebelumnya. Namun saat itu, ada Elliot yang membela dan melindunginya. Tapi di sini, Evelyn hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri. Tidak ada lagi Elliot yang akan menjaganya seperti biasa. Tidak ada lagi Elliot...

"Kamu sebaiknya tidak mencampuri hidupku," ucapnya tenang.

"Kau--"

Brak!

"Eve Cordelia Carlisle!"

Suara gebrakan meja membuat Evelyn menoleh ke arah Count. Ia berkedip bingung saat melihat Count Carlisle marah. Apa yang salah?

Detik berikutnya, Evelyn menyadari apa yang salah.

Eve selalu patuh di hadapan ayahnya, bahkan perintah pelayan juga ia ikuti. Evelyn menggelengkan kepala tak setuju dalam hatinya. Itu Eve, bukan dia. Dia tidak akan membiarkan orang lain berurusan dengan kehidupan pribadinya.

"Kau masih berani membuat kekacauan?" tanya Count dingin.

Eve biasanya takut saat mendengar nada dingin ayahnya, namun Evelyn yang bisa dikatakan mati rasa dan tidak pedulian tidak takut dengan nada itu. Ia sudah sering berhadapan dengan orang bernada sama seperti Count Carlisle.

"Membiarkan pelayan mengangkat tangan di hadapan tuannya, Count, Anda benar-benar sesuatu," ucap Evelyn setelah berpikir merangkai kata untuk sesaat.

Count Carlisle bukan ayahnya. Evelyn tidak akan memanggilnya ayah. Terutama tidak saat pria itu hanya diam menyaksikan putrinya ditindas.

Count tersentak dalam hatinya saat mendengar panggilan Evelyn padanya. Bukan ayah, tapi Count. Pria itu akhirnya yakin kalau putri yang di depannya ini berbeda dengan yang ia kenal. Namun, Count Carlisle tetap kesal saat aura seorang anak kecil jauh melampaui dirinya.

"Kau belajar menentangku? Kau mungkin tidak memerlukan uang lagi untuk kehidupanmu? Aku ingin lihat bagaimana caramu bisa bertahan di luar sana," ucap Count kejam.

Evelyn terlalu malas untuk menanggapi. Belum lagi, jika ini diteruskan, ia akan terlambat untuk menghadiri upacara pembukaan. Evelyn tidak punya kebiasaan untuk terlambat di hari pertama sekolahnya. Jadi, gadis itu berbalik tanpa jejak dan berjalan tenang ke arah pintu.

"Saya tidak akan kembali," ucap Evelyn sebelum melangkahkan kakinya melewati ambang pintu.

"Anda bisa tenang, tidak akan ada kekacauan lain di luar ke depannya," lanjut Evelyn.

Menghadapi kata-kata Evelyn yang formal juga elegan dan tenang, Count mendapati dirinya tidak bisa merespon dengan baik. Alhasil, ia hanya bisa melihat Evelyn pergi. Pada akhirnya, kekesalannya membuat pria itu menggebrak meja untuk kedua kalinya.

Bagaimana anak itu tiba-tiba berubah?

.

.

.

Evelyn berjalan ke arah kandang kuda. Ia memakai jubah hangat lalu menyimpan koper berukuran menengah ke dalam cincin penyimpanannya. Saat bertemu tatap dengan kuda hitam yang ia kendarai kemarin, kuda itu meringkik girang seketika.

"Kenapa kamu terlihat bersemangat??" Evelyn heran.

Tentu saja kuda hitam itu sangat bersemangat. Sudah lama sekali sejak ia berlari cepat seperti kemarin. Kuda mengatakan kalau ia sangat menyukai gadis di depannya yang bisa berpacu di tengah hutan tanpa ragu-ragu.

"Karena kamu milikku sekarang, aku harus memberi nama," gumam Evelyn. Kendaraan sangat ia perlukan. Satu-satunya yang ada hanya kuda ini.

"Kalau begitu namamu Black," ucap Evelyn mengangguk yakin.

Jdar!!

Bagai petir menyambar di siang hari bolong, kuda itu menatap kosong pada gadis di depannya. Gadis yang sangat cantik dan pemberani, bagaimana estetika penamaannya sangat buruk?!?!

Evelyn tidak mengetahui kerumitan pikiran kuda hitam-Black di hadapannya itu. Ia dengan lihai melompat naik ke atas kuda lalu menarik tali kekangnya.

"Ayo."

Kuda itu meringkik sesaat sebelum melompat melewati pagar pembatas. Setelahnya ia berlari cepat menuju gerbang kediaman Carlisle. Setelah keluar dari kediaman Carlisle, Evelyn menyentak tali kekang kuda itu untuk memacunya agar berlari semakin cepat.

"Ayo, atau aku akan terlambat."

"Nghiiiikk!"

.

.

.

Sebuah lingkungan yang dipenuhi dengan bangunan mewah terlihat ramai lagi itu. Hanya saja, yang menjadi topik pembicaraan mereka bukanlah hal yang menyenangkan untuk di dengar. Terutama jika Evelyn ada di sini saat ini.

"Tahukah kamu? Kudengar Putri Count Carlisle melompat ke danau istana karena ditolak oleh pangeran mahkota!"

"Ah? Maksudmu yang bernama Eve itu?"

"Ya! Kalau bukan dia, siapa lagi?"

"Eh, tapi kudengar, ada putri Marques Henry juga di sana saat itu."

"Lilia Henry? Apa yang ia lakukan bersama Eve?"

"Entahlah. Kupikir Eve mungkin menindasnya."

"Atau Eve ingin menjebak Lilia? Seingatku Lilia cukup dekat dengan pangeran mahkota."

"Tentu saja. Gadis baik seperti dia, tidak heran pangeran mahkota tertarik."

"Yah, kuakui kamu benar. Walau aku merasa iri padanya sih."

Benar. Topik yang menjadi bahan perbincangan para murid akademi itu adalah Eve. Akademi Regal, seperti namanya, adalah akademi yang diperlukan bagi orang-orang golongan atas. Rakyat biasa yang bisa masuk ke akademi ini hanya sedikit, itupun dengan syarat bahwa mereka memiliki kemampuan dan keahlian yang sangat baik.

Sementara di halaman dan kelas akademi ribut, di hutan belakang akademi, suara tapak kaki kuda yang berlari di tanah terdengar jelas. Di atas kuda itu, seorang gadis dengan rambut indigo berkibar yang tak lain adalah Evelyn itu tampak menikmati hembusan angin, walaupun tangannya sesekali membenarkan sweaternya.

Saat melihat gerbang belakang akademi yang tak berjarak jauh darinya, Evelyn mengulurkan salah satu tangannya ke bawah. Sinar biru lembut muncul di sekelilingnya dan dataran es tiba-tiba muncul di setiap langkah kaki kuda. Setelah memperhitungkannya dengan cermat, Evelyn mengarahkan sihirnya untuk membentuk jalan menanjak.

Sejak awal, ia tidak punya niat untuk masuk lewat gerbang depan. Karena itu ia memilih melewati hutan belakang yang akan berakhir di gerbang belakang akademi yang sepi. Karena tidak ada pintu masuk, tentu Evelyn hanya bisa membuat kudanya melompati gerbang itu. Inilah awal mula datangnya ide membuat jalan menanjak dengan es.

Setelah mendapati jarak yang ia perhitungkan, Evelyn menghentikan sihirnya dan dengan cekatan langsung menarik tali kekang kuda. Dengan lihai, gadis berambut indigo itu membuat kuda hitam yang tak lain adalah Black itu melompat melewati gerbang. Namun naasnya, mereka malah bertemu dengan seorang pemuda yang kebetulan tengah duduk tepat di depan mereka.

'...gawat,' pikir Evelyn.

Sementara pemuda yang tengah memegang buku di kedua tangannya itu tampak terkejut, Evelyn sekali lagi membuat kuda itu melompat untuk kedua kalinya. Koordinasi Black yang tepat membuat Evelyn puas. Ia jadi bisa mengendalikan gerak Black dengan sempurna dan tanpa ragu-ragu. Pada akhirnya, mereka mendarat tepat beberapa langkah di belakang pemuda yang tertegun tadi.

Evelyn menghela napas lega diam-diam. Huh, untung saja.



.


.


.


.


.


.






Next~~

Jangan lupa tinggalkan jejak~~

I Refused to be a Non-Brained AntagonistWhere stories live. Discover now