****

"Pi, gimana?" Radion turun dari tangga rumahnya. Menghampiri Alfred yang sedang duduk di meja makan dengan segelas kopi di hadapannya. Ayahnya masih bekerja, padahal ini sudah jam sembilan malam.

"Duduk dulu!"

"Papi udah bilang ke Pak Arthur, kan?"

"Duduk dulu!" Perintahnya lagi.

Radion pun berjalan menghampiri meja makan, lalu duduk di hadapan Alfred.

"Papi udah bilang ke Pak Arthur, tapi dia tetep bersikeras kasih hukuman skors buat temen-temen kamu. Kamu masih diberikan kesempatan sama Pak Arthur. Katanya, kamu anak beprestasi dan dia percaya kamu nggak seperti yang lainnya," jelas Alfred.

Radion mengernyit setelah mendengar itu. "Jadi, Papi nggak bisa bantuin Radion?"

"Pak Arthur nggak mau memberikan kamu skors. Papi udah maksa dia, tapi dia tetep nggak mau. Papi udah belain temen-temen kamu, bikin Pak Arthur sendiri ngerti, kalo masalah kemarin bukan salah kalian. Tapi, Pak Arthur tetep memberikan hukuman itu buat temen-temen kamu."

Radion berdecak kesal. "Papi gimana, sih?Percuma Pi kalau Papi orang terpandang, bodyguard sama pelayannya banyak, tapi Papi sendiri nggak bisa bikin Pak Arthur nurut sama Papi!"

Kebisingan itu mulai menggema di lantai bawah rumahnya yang sepi. Setelah mendengar suara putranya yang kembali berkoar-koar, Marissa memutuskan untuk keluar dari kamar lalu menghampiri suami serta putranya itu.

"Radion, jangan bentak-bentak Papi kayak gitu! Kamu nggak pernah bentak Papi sebelumnya." Radion mengalihkan tatapannya malas.

Ia memang tidak pernah membentak Alfred sebelumnya. Berbicara dengan nada tinggi saja pun tidak pernah. Karena Alfred selalu mengerti dirinya dan memberikan apa yang ia inginkan. Tetapi sekarang, Alfred tidak dapat memberikan apa yang Radion mau.

"Besok Radion nggak bakal masuk sekolah. Persetan sama omongan Pak Arthur kalo Radion anak yang berprestasi." Lelaki itu meninggalkan meja makan begitu saja.

Bahkan ia sama sekali tidak peduli dengan kedatangan Marissa di sebelahnya. Rasa kesal kembali melanda dirinya.

Mungkin bagi teman-temannya yang lain, tidak masalah mereka dapat hukuman skors karena mereka memang sudah tercatat murid terbandel sedari dulu.

Tetapi mulai sekarang, Radion tidak mau teman-temannya menjadi pengecut dengan menerima segala hukuman, padahal mereka tidak melakukan kesalahan.

Lelaki itu masuk ke dalam kamarnya yang dingin. Mengambil kunci motornya yang ada di atas meja.

"Mau ke mana, Rad? Ke markas? Udah malem kayak gini," ujar Zean yang tengah tiduran sambil bermain game. Fokusnya masih tertuju ke layar ponselnya tanpa melihat raut wajah Radion yang sudah berubah kusut.

"Mau cari angin sebentar."

"Mau gue temenin nggak? Tapi satu game lagi, nih."

"Nggak usah, Ze. Gue lagi mau sendiri."

Zean menatap kepergian Radion sambil geleng-geleng kepala. "Tuh anak kalo udah badmood susah banget di hiburnya."

RADIONWhere stories live. Discover now