"Aku tahu kau sangat khawatir kepada Roxanne. Tapi jangan sampai seperti ini, Cale. Kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri. Kau hanya akan menambah beban pada pikiranmu sendiri," tutur Steven. Mengelus-elus surai Calista lembut, lalu mencium puncak kepalanya.

"Jangan pernah berpikir lagi untuk jadi pendonor jantung bagi Roxanne. Masih ada cara lain, Cale. Tidak perlu mengorbankan dirimu. Bukan hanya mengorbankan dirimu sendiri, kau juga akan mengorbankan orang-orang yang menyayangimu, termasuk diriku."

"Aku hanya takut kalau Roxanne tidak segera mendapatkannya, Steve ...."

"Dapat. Pasti dapat. Aku berjanji padamu."

Mendengar janji Steven, Calista bisa bernapas sedikit lebih lega. Dia kini membalas pelukan Steven lebih erat. Menenggelamkan wajahnya yang basah pada dada pria itu yang terbalut kaus rumahan.

"Terima kasih, Steve," ucap Calista.

Gadis itu mendongak, memandang wajah Steven, bibirnya membentuk senyum yang dibalas oleh Steven dengan senyum juga.

"Tapi omong-omong, kau kini sedang berada di toilet wanita," beri tahu Calista.

"Aku tidak peduli," balas Steven tersenyum miring.

"Aku penasaran rasanya making out di toilet rumah sakit. Hm, wanna try?" tanya Steven dengan tampang mesumnya.

Bisa-bisanya di saat seperti ini Steven malah menggoda Calista.

"Gila!" cibir Calista sambil mendorong dada Steven hingga mundur dan keluar.

Kaki Calista melangkah, ikut keluar dari toilet, lalu berlalu meninggalkan Steven yang masih berdiri di tempatnya.

"Bercanda, Cale. Ya ampun."

÷÷÷

"Excuse me, Sir!" teriak Lalice mencoba mengalahkan dentuman yang menggema di penjuru Classic Papillon.

Mengetahui itu, Nuel mendengus kasar.

Bocah itu akhir-akhir ini sering ke tempatnya. Berakhir menemuinya. Mengganggunya.

Omong-omong, Lalice sudah mendapatkan ID Card-nya beberapa hari lalu, tepat setelah ulang tahunnya yang ke tujuh belas tahun. Maka dari itu kini ia bebas keluar-masuk ke kelab ini, tanpa harus ditanyai oleh pria tua menyebalkan yang setia menjaga di depan kelab.

"Siapa?" tanya William setelah menenggak minumannya hingga tandas. Matanya melirik pada gadis yang kini berdesakan dengan orang-orang di dance floor, hendak menuju ke tempat mereka berdua.

"Makhluk toxic yang akhir-akhir ini jadi benalu di hidupku."

"Sepertinya aku pernah melihatnya, tapi lupa di mana."

"Dia sepupu Steven."

Mendengar nama Steven disebut, raut wajah William berubah. "Serius?"

"Hm."

Lalice berhasil mendekat pada kedua pria itu. Manarik napas, lalu mengeluarkannya. Bibirnya membentuk senyum khas yang ia tujukan kepada Nuel, sang pujaan.

"Kau sepupu Steven?" tanya William.

"Eh?" Lalice baru menyadari kalau ada seseorang lagi yang sedang bersama Nuel. Matanya menyipit, melihat dengan jelas wajah William yang tampak familiar. Setelah ingat, Lalice menjentikkan jari dan berseru, "Kau pria cabul yang pernah membawa Calista masuk kamar dan hendak melakukan tindakan asusila kepadanya, kan?"

"Apa?"

"Kau!—" ucapan Lalice tidak berlanjut karena tangannya ditarik oleh Nuel hingga tubuhnya terjatuh di atas sofa, di samping lelaki itu.

Sebelah tangan Nuel merangkul pundak Lalice, menariknya untuk lebih dekat, lalu bertanya, "Ada perlu apa lagi denganku?"

Otak Lalice mendadak blank saat Nuel menatapnya seintens ini. Wajah keduanya amat dekat, membuat Lalice harus menahan napasnya untuk sejenak. Namun ia juga tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk memandangi wajah Nuel selagi berada tepat di hadapannya. Mata kelabu lelaki itu tampak bercahaya tersorot banyak lampu. Rambutnya yang panjang terkuncir rapi itu membingkai wajah tampannya dengan sangat sempurna. Lalu bibirnya ..., bibir yang selalu diselipkan sebatang rokok itu kini bersih mengkilap, membuat Lalice memusatkan perhatiannya ke bibir itu lama.

"Aku sudah tujuh belas tahun," beri tahu Lalice.

"So?"

"Sudah bisa bebas keluar-masuk tempat ini dan boleh meminum alkohol bersamamu, sepuasnya."

"Berita yang bagus, Child. Tapi sayangnya aku tidak peduli, sama sekali," ujar Nuel seraya melepaskan rangkulannya pada pundak Lalice.

"Hei, katakan padaku, bagaimana keadaan Steven dan Calista saat ini?" tanya William kepada Lalice yang tengah cemberut.

"Kenapa bertanya? Tentu saja, mereka berdua baik-baik saja."

"Boleh meminta nomor Calista yang baru?"

"Nomor apa?"

"Nomor sepatunya," balas William sedikit kesal. "Tentu saja nomor teleponnya," lanjutnya.

Alis Lalice terangkat, "Buat?" tanyanya curiga.

"Kau mempertanyakan hal yang tidak perlu dipertanyakan," sahut Nuel.

"Bukan begitu. Maksudku, untuk apa dia menghubungi Calista padahal jelas-jelas dia hampir memperkosa Calista waktu itu?"

"Sepertinya kau salah paham," sahut William.

"Aku tidak seberengsek itu sampai-sampai mau memperkosa seseorang," tambah William.

"Oh, oke," singkat Lalice. "Tapi aku tetap tidak bisa memberimu kontak Calista."

William mendengus pelan, "Oke. Tapi Calista benar-benar baik-baik saja, kan?"

"Sangat baik bahkan."

William jadi bernapas lega mendengarnya. Beberapa saat kemudian dia bangkit, mengambil sebatang rokok milik Nuel lalu menyelipkannya pada bibir. Dia ingin keluar mencari udara segar.

"Mau ke mana?" tanya Nuel.

"Ke mana saja asal tidak mengganggu kencan kalian." Lalu melangkah untuk keluar.

Mendengar itu, Nuel hendak protes, namun ia urungkan. Sementara Lalice hanya senyum-senyum seperti orang gila sambil sesekali menatap Nuel di sampingnya.

"Kenapa kita tidak berpacaran saja?" tawar Lalice.

"Sudah kukatakan berkali-kali, aku tidak berniat untuk berpacaran. Apalagi dengan bocah sepertimu."

"Oke, mari kita lihat sejauh mana kau mempertahankan komitmenmu itu. Sejauh mana kau bisa menolak pesonaku."

Nuel mengedikkan bahu tidak peduli.

"I promise, I'll make you mine."

-


𝐂𝐫𝐚𝐳𝐲 𝐋𝐨𝐯𝐞 𝐰𝐢𝐭𝐡 𝐂𝐫𝐚𝐳𝐲 𝐁𝐎𝐒𝐒Donde viven las historias. Descúbrelo ahora