Arc3 Chapter 19

1.3K 264 25
                                    

Disaat pertempuran di atas permukaan terus berlangsung, situasi aneh mulai terlihat.

Monsternya berkurang?

Kapten Ordo Kesatria menatap dengan penuh tanda tanya pemandangan di depannya.

Mereka telah bertempur tanpa henti selama berjam-jam.

Tidak peduli berapa banyak monster yang mereka jatuhkan, monster-monster ini terus berdatangan.

Namun ... situasi telah terbalik.

Sekarang, para monster mulai berkurang.

Para kesatria yang bertarung juga menyadari hal tersebut.

Sedikit harapan terbesit di benak mereka.

Mereka tidak tahu apa yang terjad, namun ... jika ini akan berakhir bahkan untuk sementara waktu, itu jelas akan disambut baik.


"KELEMPOK DEPAN MUNDURLAH PERLAHAN! TIDAK PERLU LAGI MENDESAK MAJU!!"


Salah satu komandan unit memerintahkan pasukannya untuk tidak perlu lagi menekan para monster dengan agresif.

Dengan situasi pertempuran saat ini, akan lebih baik membentuk formasi  garis diagonal dengan titik terdekat pada tembok sebagai pusatnya.

Mereka akan perlahan mundur, sampai seluruh pasukan benar-benar terpusat di satu titik.


"Kapten Artos, bagaimana menurutmu?"


Komandan yang memberikan perintah tadi menghampiri Kapten Artos untuk meminta pendapatnya.

Artos merenungkannya sejenak, lalu dengan tegas memberikan perintah sebagai komandan tertinggi di tempat itu.


"Setelah semua pasukan ditarik, perintahkan yang terluka untuk berhenti bertempur dan dirawat. Sisanya akan bersiaga di balik tembok. Para komandan unit akan berkumpul untuk membahas langkah selanjutnya."


Para komandan dan utusan yang mendengar itu segera menerimanya dan kembali ke unit mereka masing-masing.

Kapten Artos lalu melihat kejahuan, di mana Dungeon berada.

Ia berharap jika semuanya akan baik-baik saja setelah ini.

**

"Gggaghh..."


Olivia jatuh berlutut sambil menutup mulutnya.

Sesuatu yang kental dengan warna merah terlihat memaksa untuk keluar.


Ini bukan main.


Bahkan jika ia masih bisa mempertahankan ekspresi tenangnya, tubuhnya berkata lain.

Itu menjerit kesakitan karena dampak dari tindakan yang ia ambil sebelumnya.

Olivia tidak menyesal telah mengambil pilihan itu.

Sekali lagi, ia lebih memilih membuang masalah yang mungkin akan merepotkan dirinya nanti secepat mungkin, bahkan jika bayarannya adalah sesuatu seperti ini.


Ia lalu berjalan dengan langkah gontai, menatap ke depannya yang sekarang masih diselimuti warna putih.

Neither heroine nor villainous, Just Olivia!Where stories live. Discover now