Prt 42

55 4 11
                                    

Happy Reading
━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━

Pilihannya jatuh kepada skinny jeans, yang kemudian tanpa berpikir atau memilih-milih lagi, Aila langsung mengambil kaus polos yang ukuranya nyaris pas di tubuhnya, kemudian ia balut menggunakan kemeja flanel bermotif kotak-kotak—ukurannya over size dan panjangnya setinggi paha. Gadis itu membiarkan kemejanya terbuka, memperlihatkan kaus polos berwarna putihnya.

Seharusnya outfit tak harus ia pikirkan sehingga menyita waktu sampai lebih dari dua jam. Namun, sebenarnya bukan soal itu yang membuat Aila mengulur waktu. Sejujurnya sejak tadi gadis itu merenung. Merenung untuk keseratus kalinya, membayangkan bagaimana jalannya hari ini, dan renungan itu Aila alihkan menjadi kedok memilih baju.

Tiga hari sudah berlalu semenjak Aila menjenguk Zaen seorang diri tempo hari yang lalu. Aila ingin menjenguk. Namun keadaan dan posisinya seakan tak memantaskan Aila untuk datang menjenguk Zaen. Seperti Aila bukanlah siapa-siapa  yang harus menjenguk lebih dari tiga kali dalam seminggu. Bahkan Aila belum pernah melihat Zaen semenjak itu.

"Ajak Zikra kali ya?" tanya Aila mencoba mencari solusi agar kedatangannya terlihat sedikit lebih pantas.

"Eh, tapi kalau gue dateng ke sana, terus di sana kebetulan lagi ada yang jenguk gimana ya. Kan, ngga boleh banyak-banyak yang jenguk," lanjut Aila.

"Tapi, padahal, kan, gue belum pernah dikasih kesempatan buat masuk liat Zaen," lanjutnya lagi.

Lantas Aila bersandar pada lemari bajunya. Ia terduduk dengan raga tidak berdaya. Selama Zaen masuk ke rumah sakit, dan semenjak tiga hari yang lalu itu, Aila hanya mendapat kabar tentang perkembangan kondisi Zaen dari Zikra. Cowok itu tak absen selalu memberi pesan tentang keadaan Zaen yang masih di ruang ICU. Namun, beberapa jam yang lalu Zikra mengabari Aila bahwa ada perubahan kondisi Zaen. Cowok itu katanya mengerakkan jarinya, tapi masih belum membuka mata juga. Hal itulah yang membuat jiwa Aila meronta ingin segera menemui Zaen di rumah sakit.

Tetapi, ada hal yang membuat kaki Aila terasa berat meninggalkan rumah untuk menuju rumah sakit. Baru membayangkannya saja Aila merasa tak akan dibukakan pintu di sana—bukan secara harfiah—semacam pintu tak kasat mata yang menghalangi Aila untuk masuk ke dalam sana, dan hanya bisa menatap orang-orang lain yang berlalu lalang masuk ke dalam dengan mudahnya.

Chat seperlunya aja
| Lo boleh ke sini, Nad. Nggak papa

Aila membaca pesan dari Zikra yang baru saja ia terima. Ada sedikit perasaan lega setelah ia menerima pesan itu. Namun, tetap saja Aila masih merasa ragu, pasalnya bukan Zikra masalah utama dalam keraguan Aila. Andai saja yang memberinya pesan itu bukan Zikra, tapi Tante Widya. Andai saja...

"Anak tetangga masuk rumah sakit, Ai?"

"Astagfirullah!" Aila mengelus dadanya karena terkejut, tiba-tiba Kak Lila membuka pintu kamarnya dan bertanya dengan intonasi tanpa aba-aba.

"Iya, mau jenguk?" tanya Aila. Sekelebat ia terbesit pemikiran, jika Kak Lila ingin menjenguk, Aila bisa ikut dan itu jauh lebih baik. Kelihatannya. Ada alasan untuk Aila ke sana lagi.

"Gimana ya. Agak nggak kenal gitu. Bakal sungkan nggak sih? Tapi mereka sering ngasih makanan ya. Itu artinya kita deket nggak sih?"

Lila justru semakin menambah kebingungan Aila. Sungguh demi apa pun Aila merasa hubungan dirinya dengan Zaen memang tidak jelas. Tidak jelas dalam segala hal. Bahkan untuk mengakui tetangga dekat saja ia masih bingung, pun dengan kakaknya juga yang merasakan hal yang sama. Lalu ini bagaimana?

"Jenguk orang sakit, kan, termasuk kebaikkan, Kak. Apa lagi kita tetangga depan rumahnya pas, mereka lebih dari tiga kali ngasih makanan, terus sering senyum, salam, sapa kalau papasan. Ya kali masih nggak seharusnya jenguk?" tanya Aila menjelaskan pemikirannya.

Fake Girlfriend [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang