Part 37

55 6 15
                                    

Happy Reading
━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━

Pukul sembilan malam, Zaen yang baru saja berdiam diri di kamarnya lantaran mengistirahatkan ototnya yang belum lama ini telah terkuras—sehingga kini Zaen merasakan pegal-pegal. Namun, berkat tidur sore sampai beberapa menit yang lalu—zaen terbangun—ia sudah tidak merasa sepegal tadi, dan cowok itu kini sedang mengeledah isi kulkasnya.

Dengan pencahayaan remang-remang, Zaen mulai membuka sebotol coca-cola, lalu menenggaknya beberapa kali. Setelah itu, Zaen kembali menghampiri isi kulasnya yang pintunya belum Zaen tutup. Dengan posisi menunduk, cowok itu mulai menelisik seisi kulas guna mencari makanan yang bisa langsung ia makan tanpa dimasak terlebih dahulu.

"Lagi ngapain kamu, Zaen?" tanya Widya. Mama Zaen itu baru saja pulang bekerja, karena lembur.

Lalu Zaen yang terkejut sempat berjengit kaget hingga kepalanya terantuk pintu kulkas sempat mengaduh kesal. Kemudian, Zaen menoleh mendapati mamanya yang masih berdiri di samping meja makan. Dan Widya yang bisa melihat kondisi wajah Zaen membiru meski pencahayaan tidak terlalu terang pun menghela napas berat.

Melihat ekpresi mamanya yang seakan kesal begitu melihat wajahnya pun membuat Zaen menundukkan kepalanya, menatap keramik dapur yang terasa sangat dingin malam itu.

"Maaf, Ma," ucap Zaen masih dengan kepala menunduk. Nadanya dingin dan datar.

"Ngerasa lebih baik kamu, setelah kaya gitu?" tanya Widya. Ada nada sarkas yang bisa Zaen dengar dari intonasinya.

"Khilaf," jawab Zaen beralasan. Ia tak mendongak dan menatap mamanya sekali pun.

Widya kembali menghela napas berat. Lekas, wanita paruh baya itu melangkahkan kakinya menuju kulkas yang sejak tadi tak ditutup pintunya sehingga menciptakan udara dingin begitu Widya berjarak sekitar lima puluh senti dari kulas. Kemudian, ia mengambil puding sisa yang masih tersimpan di kulkas, lalu ia taruh di atas meja, dan tak lupa ia menutup pintu kulkas kembali, setelahnya ia mengambil sendok seraya mendorong puding itu agar lebih dekat dengan Zaen yang tengah duduk di kursi.

"Jangan lama-lama ngebiarin kulkas kebuka," peringat Widya memberi pesan kepada Zaen sebelum wanita paruh baya itu melenggang pergi menuju kamarnya sendiri.

Sedangkan Zaen mulai menyendok puding itu dan memakannya dengan tenang. Luka yang ia dapat tak separah malam itu, sehingga Zaen tak merasakan sakit di bagian wajahnya yang tadi sempat terkena bogeman Bintang.

Sementara tangannya sibuk menyuapkan puding ke dalam mulut dan mulut sibuk mengunyah, Zaen tak membiarkan isi otaknya kosong begitu saja. Duduk sendirian di malam hari dengan pencahayaan temaram membuat Zaen terhanyut memikirkan Aila. Gadis itu. Sedang membuat Zaen rindu.

Zaen menaruh sendoknya di atas meja, lalu tubuhnya mulai bersandar pada kursi yang ia duduki. Cowok itu menyungar rambutnya ke belakang dengan perasaan yang mencoba untuk tenang, karena saat ini hati Zaen begitu gundah dan risau. Gundah bagaimana ia merindukan Aila dan risau betapa ia tak ingin kehilangan gadis itu, pun tak mau jauh darinya. Namun, apa boleh buat? Untuk mengungkapkan perasaannya saja Zaen tidak berani.

Tidak berani bukan karena ia pengecut. Namun, karena Zaen takut pengakuannya akan berdampak buruk untuk Aila. Semacam bagaimana jika Aila juga suka padanya? Lalu dengan Zaen mengungkapkan perasaannya membuat Aila menjadi lebih berharap dan lebih merasakan sakit saat sama-sama sadar mereka tidak bisa bersama. Jadi, untuk saat ini Zaen membiarkan Aila tidak mengetahui perasaannya, agar gadis itu memiliki kesempatan untuk membuka hati kepada orang lain. Orang lain yang sesuai dan yang dianjurkan oleh hukum agamanya untuk dijadikan pasangan hidup yang soleh-wasolehah—kata mama.

Fake Girlfriend [END]Where stories live. Discover now