"Istirahatlah, gue mau balik kamar." Risa hendak pergi namun di tahan Revan.

"Ris, gue minta maaf." Revan menatap Risa sendu.

"Udahlah Van, semua udah terjadi, kita memang punya jalan masing-masing, gue--"

Perkataan Risa terhenti karena tiba-tiba Revan menarik tubuhnya dan memeluknya. Risa terdiam. Jantungnya berdetak lebih kencang. Ia ingin memberontak tapi tubuhnya tak mau bergerak. Gue kenapa? Mau menjauh tapi malah mendekat gini, batin Risa.

Menit berlalu, mereka masih bertahan di posisi yang sama, tak bersuara sepatah kata pun.

"Udah Van, gue ngantuk." Risa melepas pelukan Revan.

Revan tak membiarkan Risa berdiri, ia menarik tubuh Risa lagi, mendekatkan wajahnya pada wajah Risa dan menyatukan bibir mereka.

Risa terkejut, ia membulatkan matanya. Risa hanya diam tidak berusaha melepas atau menolak. Revan menuntut lebih tapi Risa tak membalas, ia masih merapatkan bibirnya. Revan menarik tengkuk Risa, berusaha memperdalam ciuman mereka. Risa bingung harus bagaimana, ia hanya menutup matanya pasrah.

Merasa tak mendapat balasan, Revan melepas tautan bibirnya. Risa merasa lega, tapi tak berselang lama ia merasakan bibir Revan sudah beralih ke lehernya.

Apa-apaan ini? Kenapa gue gak bisa nolak? Shit, batin Risa.

Satu tanda

Dua tanda

Revan beralih ke leher kanan Risa, ia ingin membuat tanda lagi namun tubuhnya di dorong kuat oleh Risa.

"Cu.. cukup, gue mau tidur." Risa beranjak dari kursi dan meninggalkan Revan di sofa.

"Ini gila, gue benar-benar gila. Risa ayolaah, tadi lo mau menjauh dari Revan, dan barusan lo pasrah aja di cium Revan. Ini gue kenapa sih?"

"Oke tenang Ris, luruskan niat, lo harus bisa sesedikit mungkin berinteraksi dengan Revan." Risa mengatur debaran di dadanya.

🍃🍃

Risa menatap kaca, ia melihat lehernya yang diberi tanda oleh Revan. Ia mengambil cushion yang diberikan Nadia dan mengolesnya ke tanda merah itu.

"Daripada gak gue tutupin, bisa-bisa Vanya nyerocos gak berhenti nanya ini itu," monolog Risa.

Risa keluar kamar, ia bersyukur tak bertemu Revan. Ia segera keluar rumah untuk menunggu bus.

Risa sebisa mungkin menghindari bertemu Revan di sekolah dan sesedikit mungkin berinteraksi di rumah. Dan sialnya saat istirahat ia justru sering bertemu Revan. Jika ia tahu Revan atau Blue Devil satu tempat dengannya, Risa segera pergi dari tempat itu. Begitu pula di rumah, saat tau Revan di ruang keluarga, ia memilih berdiam diri di kamar. Capek juga menghindar terus, batin Risa.

"Lo kenapa sih Ris, setiap ada Revan lo langsung pergi?" tanya Vanya saat mereka makan di kantin.

"Oh, masak sih? Kebetulan aja kali Nya." Risa tertawa garing.

"Lo gakpapa kan Ris?" Arsen menatap khawatir pada Risa.

"Gue gakpapa Ar." Risa tersenyum.

"Karena kejadian itu?" tanya Arsen.

"Jujur saja iya, toh pelakunya yang neror Rindi waktu itu belum ketemu," jawab Risa.

"Lo gak usah khawatir Ris, Rindi kan udah baik-baik saja, lagian udah gak ada yang neror dia lagi. Kalau medsos sih masih katanya, fans fanatik Revan kan banyak." Galih menenangkan Risa.

Risa mengangguk.

"Kita bakal bantuin lo kok." Arsen tersenyum dan mengusap rambut Risa.

"Ah elah, kalian pacaran aja deh, muak gue lihat Arsen sweet banget ke lo Ris." Vanya manyun.

"Lo mau di usap juga Nya? Sini gue usap rambut lo." Galih mengulurkan tangannya yang di tepis oleh Vanya.

"Ogah, jangan jadi pahlawan kesiangan lo, males." Vanya mengerucutkan bibirnya.

Beberapa saat kemudian Blue Devil dan Rindi duduk di meja samping Risa. Revan sudah mulai berani ngobrol dan mengajak Rindi bertemu di kelas atau di kantin.

"Aduh perut gue mules, gue ke toilet ya? Hehe." Risa berlari kecil ke toilet. Vanya, Arsen dan Galih saling menatap. Mereka yakin Risa memang menghindari Revan.

Revan menatap Risa menjauh. Entah kenapa hatinya sedikit hampa saat ia tak mendengar lagi cerewetnya, keanehannya atau sekedar teriakannya. Revan tersenyum miris. Ia rindu dengan Risa.

"Lo gakpapa Van?" Rindi memperhatikan raut muka Revan yang berubah setelah Risa pergi dari kantin.

"Eh, gakpapa Rin, lo udah pesan?" Rindi menggeleng.

"Kalian mau makan apa? gue pesenin." tanya Kevin.

"Gue bakso, Daffa air kobokan." Deo tertawa.

"Sialan lo!" Daffa menyentil dahi Deo.

"Oke, lo sama Rindi, Van?"

"Bakso aja," jawab Revan.

"Gue Nasi uduk loh Kev, bukan air kobokan. Deo ganti aja sama air bekas cuci piring satu ember." Daffa mendengus kesal.

"Lo tega banget bambang!" Deo menjitak kepala Daffa.

Rindi tertawa melihat kelakuan teman-teman Revan. Revan tersenyum melihat Rindi tertawa lagi.

"Udah ah, gue pesenin air kobokan dua nih, berisik banget!" ucap Kevin.

"Ampun lord Kevin," ucap Daffa dan Deo kompak.

Deo melirik ke meja Vanya, ia melihat gadis itu sedang bercanda dengan Galih dan Arsen.

"Lo cemburu ya? Tuh lihat Vanya lagi dekat sama Galih." Daffa menepuk bahu Deo.

"Apaan sih, gue gak cemburu, jangan asal ngomong lo." Deo menatap tajam Daffa.

"Lo kalau gak cepet ya gitu, di dahuluin orang lain, coba lo lihat, Galih aja natapnya beda ke Vanya, dia pasti suka sama Vanya, " ucap Kevin.

Deo menatap ke meja Vanya. Revan juga menatap ke arah yang sama. Revan memperhatikan Arsen, kemudian ia tersenyum miris. Kevin benar, batin Revan.






Tbc

Halo, aku buat cerita baru judulnya ARGHINATA bisa dibaca yaa..jangan lupa vote dan comment. Makasih.

My Cool Enemy (END)Where stories live. Discover now