15. Sebelum Liburan (1)

2.4K 176 32
                                    

Aku harus bisa mengembalikan keadaan seperti sebelumnya, karena aku tahu kita tidak akan pernah bisa menjadi lebih dekat

Clarisa & Revano

🍃🍃

Hari-hari berikutnya, Risa dan Vanya di sibukkan dengan tugas Sejarah. Mencari buku di perpustakaan dan mengerjakan tugas di kafe terdekat menjadi rutinas mereka setelah pulang sekolah.

Saat ini mereka sedang di Albana coffee. Risa membuka lembar demi lembar buku yang baru saja di pinjamnya dari perpustakaan pagi tadi, sementara Vanya menggerakkan jarinya di tombol-tombol berderet huruf abjad pada laptopnya.

"Hasil sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945---"

"Berhenti dulu ya Ris, gue haus, tangan gue juga udah keriting nih." Vanya mengibaskan tangannya. Mereka sudah satu jam di kafe mengerjakan tugas.

"Oke, minum dulu, istirahat, lanjut besok gakpapa deh." Risa menutup bukunya dan mengambil minumnya yang tinggal setengah gelas.

"Ahhh, seger, mata gue ya ampun, capek banget di depan layar mulu, butuh vitamin see nih Ris, coba ada cowok-cowok ganteng kesini." Vanya menutup laptopnya dan mulai berhayal.

"Tuh ada cowok." Risa menunjuk ke salah satu meja yang agak jauh dari meja mereka.

"Sialan!" Vanya mendengus kesal, yang ditunjuk Risa adalah om-om berumur sekitar 45 tahun dan sedang duduk sendiri menikmati secangkir kopi. Risa cekikikan melihat ekspresi kesal Vanya.

Tak lama kemudian pintu kafe terbuka, ada beberapa orang yang akan masuk ke dalam kafe. Vanya tampak semangat.

"Vitamin see Ris," ucap Vanya semangat.

Risa menoleh memperhatikan siapa yang masuk ke kafe.

"Sialan." Vanya mendengus kesal mengetahui Blue Devil yang masuk ke dalam kafe. Risa memperhatikan Revan, padangan mereka bertemu, namun Risa segera memalingkan muka. 4 orang itu duduk tak jauh dari meja Risa dan Vanya.

"Hah, kenapa mereka lagi, jengah gue." Vanya mencebikkan bibirnya.

"Yaudah gak usah perduliin mereka." Risa memandang ke arah lain.

"Psssttt.. Ada Risa dan Vanya." Deo sedikit berbisik.

"Ngapain coba bisik-bisik." Daffa menghela napas.

"Gakpapa sih, ada mereka jadi pengen gue gangguin, udah lama kayaknya gak lihat muka juteknya si Vanya." Deo tersenyum miring. Kevin baru datang dari memesan minuman.

"Udah biarin aja De, gak usah bikin ricuh," Ucap Revan dengan ekspresi datarnya. Deo mengangguk.

"Eh De, lo kemarin jadi deketin anak kelas 10 itu?" Daffa tiba-tiba teringat Deo yang mengincar anak kelas 10.

"Jadi, cantik sih cuma agak jutek, gue suka kok." Deo meringis, memperlihatkan deretan giginya yang putih.

"Jangan aneh-aneh lo De, anak kelas 10, masa depannya masih panjang jangan lo rusak, kasihan." Kevin tertawa mengejek.

"Anjir, gue apain dah, gue gak ngapa-ngapain, orang kenalan doang, mana berani gue.. Ah sudahlah." Deo mengambil minum yang baru saja di antar pelayan kafe.

"Noh, pikirannya kemana-mana." Daffa memukul pundak Deo.

"Gue masih polos kale, gue kan anak baik, manis, gak sombong, pintar menabung, rajin berdoa pula, ya Tuhan ampuni dosa-dosa sahabat eike yang suka bully eike tapi eike sayang Aamiin." Deo meniru gerakan berdoa.

My Cool Enemy (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang