66. Menginterogasi Gavriel

Start from the beginning
                                    

"Gue bisa memahami kenapa Hanna begitu," Ucap Gavriel sambil mengikuti Wilson yang memilih duduk di sofa ruang tamu.

"Lo ini sebenarnya yang paling peka dan pintar memahami perasaan seseorang daripada kita bertiga. Karena itu lo bisa memahami Gadis dengan baik meskipun Gadis sendiri enggak bisa melakukan hal itu buat dirinya sendiri."

"Apaan sih, Wil."

"Serius, Gav. Meskipun dulu nih Adit bilang 'kalo bukan dengan Hanna maka tidak dengan yang lainnya' ternyata sih bullshit. Itu lebih pantas  buat lo yang bisa mempertahankan semua perasaan lo meskipun Gadis sudah nikah sama orang lain."

"Gue enggak sesetia itu. Lo tahu gue dulu gimana."

"Setidaknya lo sudah puas nakalnya, nanti pas nikah lo enggak akan kaya suamimya si Gadis."

Pembicaraan Gavriel dan Wilson terhenti kala Elang datang bersama Adit yang tampak berantakan. Melihat itu, Gavriel segera mengajak tiga laki-laki itu menuju ke ruang keluarga.

"Seneng gue kalo ke rumah lo, Gav," Ucap Elang sambil membuka dus berisi serabi yang ada di meja.

"Kenapa?"

"Soalnya kalo ke sini makanannya banyak. Enggak pernah minta dibawain tentengan pula."

Adit memilih duduk di sofa tanpa berbicara apa-apa. Kini ia menghidupkan TV sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Beberapa saat ia fokus pada tayangan televisi yang nyatanya tidak ada yang menarik hingga akhirnya ia mencoba memecah keheningan suasana malam ini dengan pertanyaan ringan agar ketiga temannya tidak sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.

"Gimana sidang perceraian Gadis sama Dipta, Gav?" Tanya Adit sambil lalu. Matanya tetap terfokus pada layar televisi di depannya seakan tidak peduli dengan kedua temannya yang sedang menikmati serabi.

"Rumit." Hanya itu yang terucap dari bibir Gavriel. Namun kata-kata itu justru membuat ketiga laki-laki yang duduk di sekitar Gavriel menatapnya seakan menuntut penjelasan lebih.

"Rumit gimana? Mereka enggak pakai pengacara 'kah?" Tanya Elang yang berhasil menyuarakan isi kepalanya lebih dulu daripada ketiga temannya.

"Justru karena pakai pengacara. Karena semakin banyak orang yang ikut campur masalah kita, bukannya cepat selesai, yang ada malah makin rumit."

"Pengacara itu penasihat hukum, Gav. Dia akan memperjuangkan hak kita sebgai client dan meminimalisir terjadinya kesalahan saat pengambilan keputusan apalagi yang berkaitan dengan hukum. Enggak semua orang paham hukum dan perundang-undangan." Ucap Wilson sambil mengelap tangannya dengan tisu setelah menghabiskan dua serabi rasa original.

"Iya tapi kalo kasus perceraian menurut gue enggak perlu pakai asal pasangan ini sudah sepakat berpisah sejak awal."

"Menang jadi arang, kalah jadi abu. Begitu 'kan maksud lo?" tanya Elang sambil membuka satu botol softdrink yang ada di depannya.

"Ya kurang lebih begitu. Belum lagi itu buang-buang waktu dan tenaga."

Melihat jam yang sudah menunjukkan pukul satu dini hari  Gavriel segera menuju ke dapur dan menyiapkan oleh-oleh untuk ketiga sahabatnya. Selesai memasukkan intip, ampyang dan serabi ke dalam paper bag, Gavriel membawanya ke ruang keluarga.

"Nih, satu-satu buat lo semua. Enggak usah rebutan, isinya sama."

"Lo perhatian banget sama kita-kita. Beli oleh-oleh sampai banyak bener."

"Gue enggak beli. Emaknya Gadis yang bawain. Tuh, masih tiga kardus di dapur. Besok pagi gue bagi ke anak-anak di kantor sesuai sama amanahnya."

Meskipun awalnya ingin segera pulang, tapi karena jawaban Gavriel ini, Elang, Wilson dan Adit kembali duduk dan berisap menyimak cerita Gavriel.

"Kok bisa? Gimana ceritanya?"

Kini Gavriel mulai menceritakan kejadian di rumah Gadis yang membuat ketiga temannya melongo. Namun saat tiba dibagian Gavriel menceritakan tentang perihal kesalahpahaman Mama Gadis pada sosok Leander, Elang langsung tertawa terbahak-bahak. Gavriel yang jengah dengan tawa laknat temannya itu langsung melemparkan bantal sofa ke arah Elang.

Ngguingg....

Bugg....

Bantal itu tepat jatuh di wajah Elang sehingga membuat softdrink yang baru ia minum tumpah.

"Yah, Gav... basah ini baju sama celana gue," ucap Elang sambil menaruh botol softdrink lalu mengambil tisu wajah yang ada di meja untuk mengelap baju serta celananya.

"Itu belum sebanding sama penderitaan gue tadi siang. Gue disangka duda satu anak sama Emaknya Gadis. Tambah pusing kepala gue waktu Emaknya Gadis ngebet ingin ketemu Leander."

Elang menggelengkan kepalanya. Sepertinya ia tidak perlu khawatir jika Leander kehilangan kasih sayang kakek dan nenek karena orangtua Gadis siap mengambil peran itu.

"Terus lo langsung setuju?"

"Ya enggak awalnya. Gue enggak yakin emaknya Gadis bakalan bisa memperlakukan Lean dengan baik. Lo 'kan tahu sendiri gimana ponakan lo itu."

"Pupus sudah harapan gue sebelum berkembang."

Wilson langsung melirik Elang dengan tatapan sengit. "Jangan bilang lo bakalan gebet si Gadis demi memberikan keluarga utuh buat Lean. Ingat, haram hukumnya! Sudah di indent Gavriel itu."

"Kagak. Gadis sama sekali bukan tipe ideal gue. Gue cuma berharap kalo Lean bakalan bisa merasakan lagi kasih sayang dari kakek dan nenek andai Gavriel mengijinkan dia buat kenal keluarga Gadis. Tahu sendiri 'kan lo kalo hubungan gue sama keluarga besar Mama apalagi Papa enggak bagus."

Gavriel menghela napas panjang. Ia benar-benar sering merasa kasihan pada Elang yang dituding mau merawat dan membersarkan Leander hanya karena Leander adalah pewaris bisnis keluarga besar dari sang Mama yang sebelumnya dipegang oleh sepupunya yang tidak lain adalah orangtua Leander. Padahal saat ini saja Elang sama sekali tidak ikut turun tangan menangani bisnis itu. Ia fokus pada bisnis tempat karaoke serta merawat Leander saja. Dalam circle pertemanan mereka berempat bahkan Elang adalah orang yang paling tidak ambisius dalam mengejar karier. Ia terlihat tidak mau menyaingi kakak tirinya yang menginginkan menjadi pewaris sang Papa dikemudian hari. Padahal dari apa yang terlihat beberapa tahun lalu sebelum Elang memutuskan untuk hengkang dari perusahaan keluarga Papanya, ia memiliki kemampuan diatas kakak tirinya. Sayangnya Elang memilih mengalah dan pergi dari keluarga besar Papanya itu. Menurutnya, ia masih bisa hidup dengan layak menggunakan kemampuan otaknya dalam berbisnis. Meskipun awalnya bisnis karaoke yang dijalankan olehnya banyak dicibir serta diremehkan keluarga, namun nyatanya bisnis yang ia miliki kini sudah banyak memiliki cabang di beberapa kota besar di negara ini. Dari situlah Elang bisa menjadi investor di beberapa sektor bisnis. 

"Lo tenang aja, Lang. Besok sewaktu acara piknik warga kompleks ini, Emaknya Gadis sudah bilang kalo dia ingin ketemu Lean."

"Lo beneran serius mau ngajak Lean ke Solo?"

Gavriel menganggukkan kepalanya. Ini sudah cukup membuat Elang tersenyum lebar.

"Yakin lo enggak bakalan kuwalahan urusin dia?"

"Enggak. Ada Gadis yang bantuin. Sekarang kalian semua balik. Gue mau tidur."

Adit, Elang dan Wilson segera berdiri. Tidak lupa mereka mengambil satu buah paper bag yang sudah berisi oleh-oleh dari orangtua Gadis. Setelah itu Gavriel mngantarkan ketiga temannya ke arah pintu depan. Jika tidak diusir, ketiga laki-laki ini pasti akan mengajaknya begadang hingga pagi.

Sambil berjalan ke arah pintu, Wilson mengintip sebentar isi paper bag berwarna coklat itu. "Semoga ini enggak ada peletnya. Kalo ada bakalan berabe. Satu janda jadi rebutan empat perjaka."

Plak...

Tangan Adit langsung menepuk pipi Wilson yang berjalan di sampingnya. Seketika pipi Wilson terasa berdenyut-denyut dan panas karena tamparan tangan Adit.

"Au... Sakit, Dit!"

"Ada nyamuk tadi."

Gavriel memilih diam karena Adit sudah mewakili dirinya untuk memberikan peringatan kepada Wilson. Kini saat sampai di depan halaman rumahnya, Wilson segera memasuki mobilnya sedangkan Adit langsung masuk ke mobil Elang karena sejak kemarin dirinya mengungsi di rumah Elang.

***

From Bully to Love MeWhere stories live. Discover now