25. Tentang sebuah rahasia

4.2K 369 22
                                    

Gavriel keluar dari ruang perawatan Gadis untuk melihat siapa yang meneleponnya. Ia menghela napas kala melihat nama Rachel muncul di sana. Beberapa saat Gavriel berpikir apakah ia akan mengangkat panggilan itu atau tidak hingga akhirnya ia memilih menjawabnya karena dirinya penasaran dengan apa yang akan Rachel katakan kepadanya.

"Hallo, Hel?"

"Hallo, Gav."

"Tumben lo telepon gue. Ada apa?"

"Apa lo masih di Bontang."

Senyum tipis mengembang di bibir Gavriel. Ia yakin jika Rachel sudah tahu tentang keberadaan dirinya di tempat ini dari rekaman CCTV yang kemungkinan besar tetap di-backup sebelum dihilangkan untuk selamanya.

"Memangnya kenapa lo kepo banget tentang keberadaan gue?"

"Karena Dipta bilang dia lihat lo masuk ke rumahnya lewat rekaman CCTV."

"Oh, iya gue masuk ke rumah dia sama Alena karena mau nolongin Gadis. Gue yakin lo juga sudah tahu semua ini."

"Gue mau nolongin Gadis tapi Dipta seret gue buat pergi dari rumah itu."

Gavriel benar-benar merasa muak dengan pembicaraan yang ia lakukan dengan Rachel ini.

"Rasa berperikemanusiaan lo sudah mati. Enggak usah standar ganda jadi orang, Hel. Gue kenal lo bertahun-tahun, karena itu gue cuma mau bilang, lebih baik lo pikirin lagi kalo mau meneruskan hubungan lo sama Dipta. Kalo Dipta bisa memperlakukan Gadis seperti itu, enggak menutup kemungkinan dia juga bisa melakukan hal yang sama ke lo."

Merasa tidak mau membahas masalah ini, karena bukan ini tujuannya menelepon Gavriel, Rachel akhirnya memilih tidak menanggapinya.

"Gav, lo mau balik ke Jakarta kapan?"

"Belum tahu."

"Sebenarnya gue mau bareng karena Dipta enggak ngijinin gue balik. Sekarang dia malah ngajak gue ke salah satu rumah yang gue enggak tahu ini di mana. Gue takut, Gav. Lo bisa jemput gue enggak?"

"Sorry, Hel. Gue enggak bisa. Lebih baik lo telepon polisi langsung aja bair Dipta sekalian ditangkap."

Setelah mengatakan itu, Gavriel segera menutup sambungan teleponnya. Ia tidak mau peduli dengan apa yang Rachel alami. Apa yang Rachel alami kini adalah salah satu akibat yang harus ia tanggung karena memilih menjalin hubungan dengan suami orang.

Di waktu yang sama dan tempat yang berbeda, Pradipta sudah menatap Rachel dengan tatapan penuh harap. Tahu maksud tatapan Dipta itu, Rachel hanya menggelengkan kepalanya.

"Gavriel enggak mau, Dip." Ucapan Rachel ini sukses membuat Pradipta memegang keningnya yang tiba-tiba merasa pusing.

"Gue harus gimana sekarang? Banyu besok siang sampai di sini. Kalo gue enggak bisa ketemu dan bujuk Gadis, posisi gue enggak bakalan aman di kantor."

Rachel mengernyitkan keningnya. Ia heran melihat bagaimana paniknya Pradipta kali ini.

"Apa hubungan posisi kamu di kantor dengan urusan rumahtangga kamu sama Gadis?"

Pradipta menghela napas panjang lalu ia menatap Rachel dengan tatapan serius.

"Okay, aku akan ceritakan semuanya ke kamu."

Rachel menganggukkan kepalanya. Melihat Rachel sudah siap mendengar pengakuannya, akhirnya Pradipta mulai bercerita tentang semua ini yang sebenarnya hanya menjadi rahasianya dengan sang mertua, Sudibyo Bimantara.

"Kamu tahu jabatanku ketika aku belum menikah dengan Gadis?"

"Iya, kamu manager dulu. Sekarang sudah jadi direktur."

Pradipta menganggukkan kepalanya. "Kamu tahu kenapa aku bisa naik jabatan secepat ini?"

Rachel menggelengkan kepalanya. Meskipun dulu ia sempat heran dan bertanya-tanya, namun ia tak pernah mengutarakannya kepada Pradipta. Ia mencoba berpikir positif tentang semua ini. Ia beranggapan kenaikan jabatan Pradipta dalam jangka waktu kurang dari 3 tahun ini karena ia memang memiliki kinerja yang baik di perusahaan.

"Aku bisa naik jabatan karena Papanya Gadis membeli sepuluh persen saham perusahaan ini tanpa sepengetahuan anak-anaknya."

"What?"

"Iya, Hel. Kamu enggak salah dengar. Demi anaknya agar hidup terjamin, Papa mertuaku menginvestasikan sebagian kekayaannya di perusahaan ini. Memang ia sudah mendapatkan deviden yang besar belum lagi kenaikan nilai investasinya yang setiap tahun lebih dari sepuluh persen. Sedikit banyak hal itu membuat aku naik menjadi direktur."

Rachel hanya bisa terdiam. Otaknya sibuk menghitung besaran nilai investasi yang ditanam Sudibyo di perusahaan menantunya bekerja selama ini. Nilai per lembar saham yang sudah menyentuh angka diatas 18.000 membuat Rachel menggelengkan kepalanya.

"Posisiku bisa terancam kalo Gadis mengadu ke keluarganya terlebih Papanya."

"Aku yakin Gadis bukan tipikal wanita seperti itu."

"Kamu enggak kenal Gadis. Gadis itu pendendam. Dia bisa melakukan apapun jika ia sudah merasa tersakiti."

"Jangankan manusia, anjing saja pasti melawan jika tersakiti."

Setelah mengatakan itu, Rachel memilih keluar dari mobil. Ia langsung berjalan menuju ke arah lobby hotel berada. Tanpa Rachel sadari sosok Alena sudah menanti kedatangannya sejak tadi. Ia memilih menunggu dengan duduk di sofa yang ada di lobby. Ia menyembunyikan wajahnya di balik majalah yang sedang ia baca.

Saat melihat Rachel sudah mengambil kunci dan berjalan menuju ke arah lift, Alena memilih untuk menuju ke arah tangga. Sambil berjalan ke arah tangga, ia mencoba menelepon Gavriel. Untung saja temannya itu langsung mengangkatnya.

"Gav, si Rachel balik lagi ke hotel. Gue beneran enggak balik ke rumah sakit malam ini. Tolong jagain Gadis."

"Wait, wait, wait. Lo serius?" Tanya Gavriel karena tadi Rachel meneleponnya untuk meminta bantuan 'dilepaskan' dari jeratan Pradipta.

"Percuma juga gue bohong sama lo. Ini gue sambil naik tangga. Enggak mungkin gue ikutin dia lewat lift."

"Okay, kalo gitu biar gue yang jagain Gadis, tapi besok siang gue mesti balik ke Jakarta."

"Cariin gue tiket juga. Gue belum siap jadi pengangguran."

Setelah memberikan titahnya pada Gavriel, Alena segera menutup sambungan telepon. Untung saja dirinya cukup sering berolahraga sehingga ia masih kuat dan tidak terlalu ngos-ngosan ketika harus menaiki tangga hingga lantai di mana kamarnya berada. Ketika ia sampai di sana, tiba-tiba ia melihat sosok Pradipta yang baru saja keluar dari lift. Cepat-cepat Alena membalikkan tubuhnya. Beberapa saat kemudian, ia mulai celingukan. Merasa aman, ia mencoba pelan-pelan mengintip ke arah lorong kamar berada. Handphone yang ada di tangannya dengan sigap merekam momment di mana Pradipta mulai mengetuk pintu kamar. Beberapa saat menunggu akhirnya Rachel membukakan pintu.

"Lebih baik kamu pulang, Dip."

"Aku belum selesai dengan penjelasan yang tadi."

"Aku rasa sudah cukup. Akhirnya aku tahu bahwa apa yang kamu dapatkan sekarang itu tidak lepas dari peran keluarga Gadis terutama Papanya."

"Papanya Gadis itu investor besar. Dia membeli saham perusahaan bukan hanya karena aku bekerja di sana, tapi memang karena perusahaan itu juga memiliki prospek yang baik ke depannya."

Bibir Alena langsung terbuka lebar kala mendengar perkataan Pradipta. Ia bahkan masih setia memasang telinga serta kamera handphone miliknya. Jangan sampai ada satu hal yang penting terlewat.

"Tetap saja tanpa keluarga Gadis kamu tidak bisa memiliki semua ini."

Suara bantingan pintu membuat Alena kembali menapaki realitas. Bibirnya juga langsung tertutup rapat. Ia segera menyudahi acara merekam kejadian itu dan berjalan cepat ke arah tangga darurat kembali. Dari balik pintu tangga darurat, ia bisa mengintip Pradipta yang mulai berjalan lalu menunggu di depan lift. Kali ini lebih baik ia sudahi acara mengikuti Rachel. Karena ia sudah mendapatkan suatu informasi besar yang cukup penting dan kemungkinan besar Gadis sendiri tidak mengetahui hal ini sampai saat ini.

***

From Bully to Love MeWhere stories live. Discover now