8. Saran Alena

3.7K 262 12
                                    

Gadis membolak-balikan tubuhnya di atas ranjang sejak semalam. Ingin rasanya ia marah namun tidak bisa setiap kali mengingat permintaan suaminya padanya. Benar dugaannya, Pradipta memintanya untuk merawat kedua orangtuanya di Surabaya. Meksipun awalnya Gadis menolak, namun kala Pradipta mengungkit-ungkit bakti anak kepada orangtua, maka akhirnya Gadis setuju merawat kedua orangtua Pradipta dengan catatan bahwa ada seorang perawat lansia yang akan membantunya.

Deringan telepon membuat Gadis mau tidak mau bangun dari posisi tidurnya. Nama Pradipta muncul di sana yang membuat Gadis menghela napas panjang. Segera saja Gadis menjawabnya karena takut ada sesuatu yang penting.

"Hallo, Mas?"

"Hallo, Dis. Kamu sudah bangun?"

"Sudah. Kenapa, Mas?"

"Bisa kamu jemput aku di rumah sakit sekalian bawakan koperku sekarang?"

Gadis sedikit terkejut dengan permintaan Pradipta ini. Pradipta baru menyusulnya dua hari lalu ke Surabaya dan itupun selama dua hari ini mereka tidak pernah menghabiskan waktu berdua sekedar untuk melepas kerinduan satu sama lain. Gadis paham jika suaminya memilih untuk menggantikan tugasnya merawat sang Mama di rumah sakit, tapi kenapa Pradipta benar-benar terasa dingin padanya? Apakah normal jika laki-laki yang sudah jauh dari istrinya lebih dari dua minggu tidak meminta jatah nafkah batinnya sama sekali?

"Memang kamu mau ke mana, Mas?"

"Balik ke Kalimantan."

Gadis langsung menutup kedua matanya selama beberapa saat. Saat ia yakin jika dirinya bisa lebih sabar menghadapi Pradipta, Gadis baru membuka matanya kembali.

"Mas, baru dua hari kamu di Surabaya. Kok cepat sekali kamu mau pulang?"

"Maunya lama di sini, tapi kamu tahu sendiri, Dis kerjaanku enggak bisa ditinggal lama-lama. Jatah cuti sudah habis kita pakai buat honeymoon awal tahun kemarin."

Meskipun ingin berdebat, namun Gadis memilih menahan dirinya. Ia tidak bisa egois kali ini. Jika sampai Pradipta dipecat, maka yang rugi adalah dirinya karena otomatis rumahtangga mereka tidak memiliki pemasukan sama sekali. Jangan sampai demi menghidupi rumahtangganya dengan Pradipta, ia harus mengeluarkan uang dari tabungan daruratnya. Selama ini dirinya tak pernah menyinggung masalah uang darurat ini dari suaminya karena memang uang ini sudah ia sisihkan sebanyak 5 persen setiap bulannya sejak awal mulai bekerja hingga terakhir kali ia bekerja di bank. Nominal yang lumayan karena ia menyimpannya pada reksadana obligasi.

"Ya sudah, Mas satu jam lagi aku sampai di rumah sakit."

Setelah mengatakan itu, tanpa menunggu respon dari Pradipta, Gadis langsung menutup sambungan teleponnya. Ia segera bangkit berdiri dari atas ranjang dan menuju ke kamar mandi. Tidak lama Gadis bersiap-siap hingga akhirnya ia sudah siap untuk menuju ke rumah sakit dengan koper cabin size milik suaminya.

Sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit, Gadis terus memikirkan semua keputusannya ini. Bukankah lebih baik ia bekerja di perusahaan Om-nya atau perusahaan keluarganya yang selama ini dipegang oleh sang Papa, daripada ia mengurus mertuanya seperti ini? Bukannya tidak berbakti, namun andai orangtuanya tahu jika ia diperlakukan seperti ini di keluarga suaminya, bisa-bisa mereka merasa kasihan padanya. Pilihannya dulu untuk bekerja di sebuah bank swasta besar di negara ini menjadi salah satu bentuk pembuktian jika dirinya bisa hidup tanpa bayang-bayang nama keluarga. Ia bersyukur karena Papanya tidak memberikan nama keluarga di belakang namanya yang membuat orang-ornag tidak langsung tahu siapa dirinya.

Gadis menghela napas kala melihat jalanan di depan begitu macet. Sejak tinggal di Surabaya, ia harus membiasakan dirinya dengan yang namanya cuaca panas dan macet yang sering ia jumpai.

From Bully to Love MeWhere stories live. Discover now